Solopos.com, SOLO –– Perseteruan dua kubu Kerabat Keraton Solo semakin memanas, Senin (26/8/2013) siang. Dua massa sempat terjadi keributan yang berujung aduk fisik.
Informasi di lapangan, sekitar pukul 12.25 WIB, KRMH. Satrio Hadinagoro meminta para abdi dalem pro Dwi Tunggal Keraton [Hangabehi-Tedjowulan] yang duduk-duduk di depan Sasana Nalendra untuk pindah ke tempat lain. Atas perintah itu, puluhan abdi dalem meninggalkan lokasi.
Tak berselang lama, pukul 12.30 WIB situasi sempat memanas karena massa pendukung Tejowulan dan Hangabehi yang mengatasnamakan warga Kelurahan Baluwarti merasa tidak terima atas pembubaran yang dilakukan oleh Satryo Hadinagoro. Saat itu pula, KRH. Bambang Pradotonagoro mempertanyakan pembubaran para abdi dalem tersebut.
“Ini atas perintah siapa? Mereka di sini menunggu Sinuhun.”
Advertisement
Ia menambahkan, Satryo tidak mempunyai wewenang membubarkan abdi dalem karena yang bersangkutan hanya anak menantu PB XII.
KRMH Satrio Hadinegoro sempat berdiskusi dengan KRH. Bambang Pradotonegoro, namun karena ada prajurit keraton yang membawa senjata tajam berupa parang dan mengacungkan ke arah massa. Tidak hanya itu, kedua kubu sempat terjadi aksi pukul. Massa yang merasa dipukul lebih dulu tak terima. Mereka membalas dengan berteriak-teriak dan mengejar para prajurit berpakaian merah.
Puluhan massa dari arah Sasana Nalendra langsung memburu prajurit Keraton yang membawa parang. Spontan, aksi balas pukul tak bisa dihindari. Massa yang mengatasnamakan warga meminta prajurit tidak ada yang menggunakan senjata dan menyatakan bahwa Raja Keraton Solo adalah Hangabehi.
Satryo mengatakan pihaknya tidak berhasrat untuk perang. “Kami serahkan pada petugas keamanan, kami juga tidak memobilisasi orang,” timpal menantu PB XIII Hangabehi, K.P. Eddy Wirabhumi.
Meskipun demikian situasi tidak sempat berujung bentrokan berkepanjangan karena bisa diantisipasi oleh aparat kepolisian. Massa membubarkan diri, selanjutnya massa kembali berkumpul di depan Sasana Narendra.