Kolom
Selasa, 13 Agustus 2013 - 08:20 WIB

GAGASAN : Cantrik Mengenang Guru

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Cantrik Mengenang Guru Heri Priyatmoko heripri_puspari@yahoo.co.id Kolumnis Solo Tempo Doeloe

Cantrik Mengenang Guru
Heri Priyatmoko
heripri_puspari@yahoo.co.id
Kolumnis Solo Tempo Doeloe

“Gendéraku (mati) wis disiyapné durung?” Kalimat itu diucapkan Tri Darmani menirukan ucapan belahan jiwanya, Soedarmono, di hadapan saya saat saya menjenguk Pak Dar [panggilan akrab sejarawan Soedarmono di kalangan mahasiswa dan koleganya] di rumah sakit beberapa hari lalu.

Advertisement

Saya menangkap kesan sejarawan sepuh Kota Solo ini tidak sedang ngelantur ketika mengucapkan kalimat itu. Tampaknya jauh hari ia memang sudah merasakan tanda-tanda bakal dipundhut. Pada hari ini, 13 Agustus 2013, tiada acara pemotongan tumpeng, meniup lilin, atau tepukan meriah di rumah Pak Dar guna merayakan hari kelahirannya yang ke-64.

Kakek dua cucu ini telah dipanggil Sang Khalik tepat dua hari sebelum hari istimewa itu datang. Pak Dar meninggal di RSUD dr. Moewardi, Minggu (11/8). Setahun belakangan, kondisi kesehatan penulis buku Mbok Mase, Pengusaha Batik di Laweyan Solo Awal Abad 20 tersebut memang tidak stabil.

Bahkan, cuma untuk merekonstruksi peristiwa yang dia kerjakan kemarin ingatannya timbul tenggelam. Kemeriahan hari Lebaran kali ini tidak bisa dinikmati bersama keluarganya lantaran ia tergolek lemah dan dibantu alat pernapasan.

Advertisement

Kala menyaksikan bapak tiga anak ini dalam keadaan tak berdaya di ranjang, saya seperti memutar arah jarum jam. Bola matanya yang kadang melotot menjadi lorong waktu yang mengantarkan saya pada jalinan kisah hubungan erat cantrik-guru beberapa tahun silam.

Bermula dari sebuah seminar di Taman Budaya Surakarta (TBS) pada 2005, perkenalan saya dengan Pak Dar dan lembaran sejarah cantrik-guru dimulai. Kendati saya tercatat sebagai mahasiswa di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret (FSSR UNS) sejak 2003, namun hingga awal 2005 saya belum diajar beliau karena belum mengambil mata kuliah yang diampunya.

Kepakarannya soal budaya Jawa dan sejarah Kota Bengawan hanya bisa saya cecap lewat goresan pena yang dia umumkan di koran maupun panggung ilmiah. Selepas seminar malam itu, saya memberanikan diri bertanya bak jurnalis yang mengejar informasi dari narasumber seakurat mungkin.

Obrolan kamu lanjutkan di rumah Pak Dar hingga pukul 03.00 WIB. Seraya pamit, tanpa sungkan saya mengatakan ingin menjadi muridnya. Murid yang saya maksudkan adalah dalam wujud membangun relasi yang lebih dekat laksana gigi dan gusi.

Advertisement

Barangkali dari pembincangan itu Pak Dar menangkap kesan besarnya minat saya menekuni sejarah Solo. Walhasil lamaran saya diterima Pak Dar. Di luar dugaan, penulis buku Runtuhnya Kraton Alit ini menyebut saya dengan istilah ”cantrik”. Saya termangu, gagal paham. ”Kosakata cantrik jangan dimaknai negatif dan inferior,” ujar Pak Dar ketika itu.

Saat itu mungkin Pak Dar mengacu pada model pendidikan tradisional periode kerajaan. Cantrik cenderung mampu meresapi butiran ilmu yang diteteskan sang guru dan melakoni tempaan tanpa keluh-kesah walau kena semprot berulang kali. Spirit sinau seorang cantrik itulah yang saat itu harus saya tiru.

Larisnya tawaran menjadi pembicara mengantarkan Pak Dar menjadi intelektual publik yang disegani, kendati ”hanya” mengurusi sejarah lokal. Bahkan, nama Pak Dar melambung bak artis gara-gara di forum ilmiah ia tak jarang menabrak lawan bicaranya dengan argumentasi historis yang sering mengejutkan.

Ketajaman menganalisis suatu fenomena dan kelihaian beretorika acap kali memukau pendengar. Mendongeng masa lalu berbalut konsep-konsep ilmu sosial merupakan ciri khas yang melekat pada lulusan pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1987 dengan gelar akademis Sarjana Utama (S.U) itu.

Advertisement

Kejadian masa lampau dia sajikan begitu menawan dan tak menjemukan. Para penyimak seolah digiring memasuki gerbang waktu yang berlapis-lapis (kerajaan-kolonial-kemerdekaan-reformasi).Penulis skripsi bertema Pergolakan Politik Masyarakat Surakarta Menentang Pemerintahan DIS ini berpendapat peristiwa yang berlangsung sekarang ialah rentetan peristiwa yang terjadi di masa silam.

Benang merah sejarah diperhatikannya manakala menafsirkan kenyataan masa lampau untuk dicomot maknanya bagi kehidupan kontemporer sehingga tempo doeloe tampak selalu aktual. Aspek sebab akibat atau kausalitas dipakai untuk memberikan eksplanasi sejarah yang memukau dan kronologis, meski kadang terlalu berani berspekulasi sejarah tanpa berbasis data yang komplet.

Salah satu aspek “terlalu berani” itu tampak dalam tesis siklus konflik 15 tahunan yang menjadi andalannya itu. Menurut Pak Dar, kerusuhan dan kekerasan yang pecah belasan kali di Kota Solo adalah ekses dari tekanan ekonomi penguasa dan kaum pemodal terhadap wong cilik. Realitas wong cilik dipinggirkan serta tidak dikasih hak mengakses fasilitas perkotaan ditemukan sejak era kerajaan.

Di titik inilah, Pak Dar menyalakan alarm peringatan bahwa di Solo, kota tempat dia lahir, masyarakatnya menyimpan perilaku laten konflik. ”Itu mudah meledak bila kita sendiri tidak jeli dan berusaha menyiapkan tindakan preventif lewat bangunan harmoni sosial,” kata Pak Dar dalam berbagai kesempatan.

Advertisement

Pada puncak keemasan aktivitas intelektualnya, Pak Dar membawa berkah bagi saya selaku cantrik. Dalam proses pembuatan makalah dan artikel, termasuk untuk rubrik Lincak di harian Solopos, nyaris selalu melibatkan saya. Janji dibikin terlebih dahulu ketika kami bertemu di kampus atau melalui telepon.

Diskusi informal digelar sebelum Pak Dar menulis. Topik apa yang hendak diangkat dibicarakan sembari Pak Dar minta tolong kepada saya untuk memungut buku yang tersimpan di almari, persis di depan televisi. Buku dibaca beberapa saat, biasanya pada bagian inti atau temuan si penulis kemudian direnungkan barang sekejap.

Pengamatan saya selama mengawani Pak Dar “memasak” tulisan membuahkan kesimpulan bahwa strategi belajar yang diaplikasikan Pak Dar yaitu ”membaca itu berdialog dengan buku”. Pikiran kita bergerak dan buku pun menjadi hidup. Ibaratnya kita mempertanyakan banyak hal dalam setiap paragraf dan bab sebuah buku.

 

Praktik Dialogis

”Memamah” buku bagi Pak Dar—dan itu yang dia ajarkan kepada saya–merupakan praktik dialogis. Kita harus tetap awas mengajukan segudang pertanyaan dan merenungi arti suatu temuan. Di sinilah, daya kritis kita terjaga dan malah makin terasah.

Advertisement

Selepas topik yang dipilih dirasakan betul-betul matang dengan topangan konsep lalu proses mengetik dimulai. Bersandar di sofa dan sesekali ekor mata melirik tayangan televisi, Pak Dar ”ngoceh” dengan irama yang tertata sinambi klepas-klepus menikmati kepulan asap rokok.

Sedangkan, saya duduk manis di depan monitor mengikuti apa yang disampaikannya. Mungkin dari sekian proses ini jika dimaknai sekadar upaya melincahkan jemari pasti hanya kesia-siaan yang saya peroleh alias saya tak ubahnya tenaga pengetikan komputer.

Namun, saya beruntung karena dalam kegiatan intelektual di luar kampus ini, Pak Dar mengajak memahami realitas kelampauan dengan baik, mengulang perspektif historis agar masak di batok kepala, serta mengulasnya menjadi tulisan yang jernih. Selanjutnya, hasil ketikan saya dibacanya demi memastikan tidak ada kesalahan.

Proses mengetik biasanya berlangsung hingga malam menua. Jalanan di depan rumahnya mulai sepi pelintas. Energi terkuras dan perut kami keroncongan. Menjadi rutinitas, setelah selesai menulis kami berdua keluar ke Pasar Legi, Mojosongo, atau ke depan Stasiun Balapan berburu bakmi godok seraya ngobrol ngalor-ngidul menyambut datangnya pagi.

Tema sejarah dan budaya lokal lebih menghangatkan obrolan ketimbang ngrasani atau nggosip sesuatu yang tak jelas faedahnya. Kini, momentum menyantap bakmi godok tersebut tidak dapat diulang seperti idiom populer kaum historian: “sejarah berulang”, termasuk mengunyah camilan kegemarannya, yakni tempe keripik, buah tangan saya saat mudik ke Wonogiri.

Dalam suasana Lebaran beberapa hari lalu, tempe keripik itu hanya bisa saya taruh di sebelah ranjangnya saat ia tergolek di rumah sakit, Sabtu (10/8). Semua momentum itu tinggal kepingan kisah masa lalu yang sukar terhapus dari ingatan pribadi saya.

Publik pasti juga merasa kehilangan Pak Dar sebagaimana saya sebagai bekas cantrik. Pak Dar telah membaktikan hidupnya pada sejarah Kota Solo berikut ragam budayanya yang tak pernah habis digali. Sugeng kondur, Guru…

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif