Solopos.com, SOLO — Suasana berkabung tergambar jelas ketika peti jenazah sejarawan ternama, Soedarmono, SU, diangkat dari rumah duka di Jl. Yosodipuro, No. 163, RT 003/RW 006, Mangkubumen, Banjarsari, Solo saat dimasukkan ke ambulans, Senin (12/8/2013).
Sejumlah pelayat menitihkan air mata melepas kepergiaan Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS tersebut ke peristirahatan terakhir.
Ratusan pelayat mulai dari Wali Kota Solo beserta pejabat Pemkot, Civitas Akademika UNS, budayawan hingga masyarakat umum setia menunggu peti jenazah dimasukkan ke dalam ambulans.
Ratusan pelayat mulai dari Wali Kota Solo beserta pejabat Pemkot, Civitas Akademika UNS, budayawan hingga masyarakat umum setia menunggu peti jenazah dimasukkan ke dalam ambulans.
“Semoga bapak tenteram dialamnya,” ucap Tri Darmani, istri almarhum saat ditemui wartawan sebelum mengantarkan jenazah suaminya untuk dimakamkan di TPU Bonoloyo.
Sosok Soedarmono tak asing lagi bagi masyarakat Solo terutama para pemerhati sejarah. Komitmen putra ketiga dari lima bersaudara pasangan S. Mardiwijoyo-Magdalena tersebut terhadap pelestarian cagar budaya tak diragukan lagi.
“Kalau Benteng boleh bicara, yang paling sedih atas kepergiaan Pak Dar ya Benteng. Beliau berani keluar dari tim kajian UNS saat Vastenburg mau dijadikan hotel,” ungkapnya.
Bahkan, lanjut Sungkar, lulusan S1 jurusan Ilmu Sejarah UGM dan Magister Ilmu Humanoria itu menjadi orator saat demo menolak pembangunan hotel di Vastenburg digelar.
“Beliau menyampaikan kalau Benteng benar-benar akan didirikan hotel, maka akan kembali terjadi kerusuhan besar di Solo,” urainya.
Selain Vastenburg, Soedarmono juga diketahui berani menentang pembangunan hotel di bekas Pabrik Es Saripetojo.
“Di saripetojo beliau berani mengundurkan diri dari tim ahli di Jawa Tengah,” urainya.
Lantaran hal tersebut, pihaknya menilai Soedarmono layak mendapat penghargaan dari pemerintah atas jasa-jasanya selama ini mempertahankan benda cagar budaya di Kota Bengawan.
Wali Kota Solo, F.X Hadi Rudyatmo (Rudy), menuturkan pria yang pernah menerima tanda penghargaan dari Presiden RI berupa Satya Lencana Karya Satya itu memiliki idealisme tingga terhadap situs-situs sejarah di Kota Solo.
“Dari komunikasi terakhir kami berbicara soal Vastenburg agar kembali kepada negara dan itu tetap kami perjuangkan. Beliau agak putus asa karena Saripetojo itu,” terangnya.
Rudy menilai sosok Soedarmono mempertahankan bangunan bersejarah layak diteladani. Terkait penghargaan pemkot kepada Soedarmono, Rudy bakal mempertimbangkannya.
“Nanti kami koordinasikan dengan biorokrasi serta sesepuh di Solo,” katanya.
Sementara, Rektor UNS, Ravik Karsidi, mengungkapkan Soedarmono merupakan pengajar yang konsisten terhadap pelestaran situs-situs bersejarah di Solo.
“Terakhir itu berdiskusi tentang komitmennya terhadap Vastenburg. Kami sangat kehilangan sosok beliau,” urainya.
Soedarmono tutup usia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi, Minggu (11/8/2013), pukul 14.35 WIB. Pria kelahiran Solo, 13 Agustus 1949 meninggal dunia dua hari sebelum genap berusia 64 tahun. Dia meninggal setelah lima tahun berjuang melawan penyakit diabetes mellitus (DM) serta komplikasi yang dideritanya seperti stroke.