Foto
Senin, 5 Agustus 2013 - 13:40 WIB

Romantisme Kartu Lebaran Lewat Sentuhan Seni

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - JIBI/Harian Jogja/Gigih M. Hanafi Kartu lebaran

JIBI/Harian Jogja/Gigih M. Hanafi
Kartu lebaran

Perkembangan teknologi menyebabkan peminat kartu Lebaran menurun drastis. Kartu “legendaris” ini pun harus kalah populer dengan surat elektronik ataupun media sosial.

Advertisement

Kelompok seni rupa Munggur dari Institut Seni Indonesia (ISI) mencoba menghangatkan kembali kenangan romantisme kartu Lebaran lewat goresan seni mereka. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Kurniyanto.

Berderet kartu Lebaran terpampang di Kantor Pos Besar Jogja. Namun bukan bergambar masjid, beduk apalagi ketupat seperti biasanya. Melainkan kartu dengan lukisan tangan asli. Objek gambarnya pun benar-benar keluar dari pakem kartu lebaran “tempoe doeloe”.

Ada enam mahasiswa yang tampak serius melukis di atas kertas karton putih menggunakan spidol dan kuas. Ada yang melukis Tugu Jogja, Benteng Vredeburg, Maliboro, Kantor Pos Besar dan sebagainya. “Pokoknya segala gambar yang berkaitan dengan Jogja kami buat,” kata Heri Laksono, 22, Sabtu (3/8/2013), siang.

Advertisement

Heri laksono adalah salah satu dari anggota kelompok Munggur, kelompok seni rupa yang anggotanya adalah siswa dan alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR).
Dia bersama sejumlah kawannya diminta oleh kantor pos besar untuk melukis kartu lebaran. Pekerjaan tersebut sudah dilakoni sejak empat hari belakangan ini bersamaan dengan kian membludaknya jumlah pengunjung kantor pos.

Bermodalkan uang 100 ribu, Heri bersama sejumlah kawannya membeli peralatan melukis. Di antaranya kuas, spidol, kertas, lem, pensil dan cat aklirik. Dengan alat sederhana itu, mereka membuat kartu lebaran dan menghiasinya dengan lukisan landmark Jogja seperti Tugu Jogja, Malioboro, Kantor Pos Besar dan objek lainnya.

Untuk menyelesaikan satu kartu, mereka hanya membutuhkan waktu paling lama setengah jam. “Kalau gambar kartu lebaran pas dilihat sama pembeli enggak ada yang cocok. Mereka boleh request sama kami paling lama setengah gambar kartu lebaran itu jadi,” terang Heri.

Advertisement

JIBI/Harian Jogja/Kurniyanto
Melukis kartu lebaran

Heri bersama sejumlah anggota kelompok Munggur lainnya tertarik oleh ajakan pihak kantor pos membuat kartu lebaran karena prihatin dengan minimnya masyarakat menggunakan kartu lebaran.

Bagaimana tidak, dengan kecanggihan teknologi saat ini silaturahmi lebaran begitu mudah dilakukan dengan menggunakan jejaring sosial atau surat elektronik yang bisa diakses melalui Smartphone. “Dengan menggunakan media lukisan ini semoga masyarakat tertarik untuk menggunakan kartu lebaran,” kata pemuda asal Sewon, Bantul itu.

Cara unik yang dilakukan kelompok Munggur itu ternyata cukup memancing pengunjung kantor pos yang datang. Beberapa diantaranya banyak yang membeli kartu lebaran yang mereka buat itu. Dalam sehari mereka bahkan bisa menjual hingga 50–70 lembar kartu lebaran berbagai ukuran dengan pendapatan sebesar Rp100.000 hingga Rp200.000 per-hari.

“Satu lembar kartu lebaran bervariasi ada yang Rp3.000 – Rp7.000 tergantung lukisan dan ukuran kartu lebarannya,” jelas pemuda lulusan SMSR pada 2010 itu.

Menurut Heri, mereka yang datang membeli kartu lebaran sebagian besar adalah orang tua yang ingin bernostagia dengan kartu lebaran hingga turis mancanegara. Untuk turis, kata dia, sejauh ini adalah pihak yang paling loyal membeli kartu lebaran ciptaan kelompok Munggur.

“Bahkan belum lama ini, mereka borong hingga tiga puluh kartu lebaran. Mereka sepertinya suka sekali,” ujarnya sembari terkekeh. Sayang, dari pembeli kartu lebaran itu, ia nyaris tidak menemukan kalangan anak muda.

Ia menduga anak muda enggan membeli kartu lebaran karena lebih memilih memberikan ucapan lebaran dengan menggunakan jejaring sosial. “Sejauh ini kok jarang ya, anak muda yang membeli,” ungkapnya.

Kelompok Munggur punya perhitungan tersendiri bagaimana mereka mengelola pendapatan yang mereka peroleh dari hasil penjualan kartu lebaran. Jika dalam sehari mereka mendapatkan Rp 200 ribu, maka 100 ribu itu akan dibagi rata dengan para anggota kelompok Munggur. Sementara sisanya, akan dibuat untuk uang kas kelompok Munggur.

“Bagi kami uang bukan hal utama yang kami cari, tapi lebih kepada ingin berkarya dan mengajak pengunjung untuk kembali menggunakan kartu lebaran,” papar Ibnu Prastowo, salah satu anggota kelompok Munggur lainnya.

JIBI/Harian Jogja/Gigih M. hanafi
Kartu lebaran

Hargito, Manajer Penjualan Kantor Pos Besar, mengatakan upayanya untuk mengajak kelompok Munggur membuat kartu lebaran disebabkan karena ia percaya bahwa pengiriman kartu Lebaran masih ada peminatnya kendati saat ini ucapan bisa dilakukan di jejaring sosial.

Terlebih, kartu lebaran yang dibuat oleh kelompok Munggur ini berbeda dengan kartu lebaran yang beredar di pasaran selama ini di mana sebagian besar gambar yang tertera adalah cetakan. Berbeda dengan kelompok Munggur yang notabene adalah lukisan.

“Nah, dari keunikan inilah kami memancing pengunjung yang datang ke kantor pos besar menggunakan kartu lebaran ini. Saya pun masih berkeyakinan bahwa peminatnya masih ada,” ujarnya.

Lagipula ia melihat bahwa kartu lebaran tetaplah memiliki kekuatan yang tidak dimiliki jejaring sosial karena kartu lebaran bisa didokumentasikan. “Kalau lewat sms, atau BBM bisa saja hilang karena kehapus. Tapi kalau pakai kartu lebaran kan bisa disimpan apalagi kalau yang mengirim adalah orang yang dicinta,” ucapnya.

Sukijo, 50, salah satu pengunjung kantor pos besar yang pada kesempatan itu membeli sejumlah kartu lebaran ciptaan kelompok Munggur. Selain tertarik dengan lukisan yang muncul dalam kartu lebaran, Sukijo menilai bahwa kartu lebaran pun lebih santun digunakan untuk mengucapkan sepenggal kata permohonan mohon maaf lahir batin ketimbang menggunakan SMS, BBM, ataupun jejaring sosial lainnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif