Soloraya
Senin, 5 Agustus 2013 - 23:45 WIB

MUDIK LEBARAN 2013 : Andalkan Mata dan Telinga Jaga Perlintasan Mbah Ruwet

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kereta api (JIBI/Solopos/Dok.)

Penjagaan di perlintasan KA Mbah Ruwet, Klaten (Shoqib Angriawan/JIBI/Solopos)

Solopos.com, KLATEN — Suara peluit kereta api terdengar di sekitar perlintasan kereta api di Pokak, Ceper, Senin (5/8/2013). Dari kejauhan tampak sorotan lampu dari transportasi massal yang besar dan panjang.

Advertisement

Kemudian, Slamet, 50 dan Kismadi, 45, bergegas menutup perlintasan kereta api. Sejumlah kendaraan bermotor seperti sepeda motor, truk dan mobil pribadi pun berhenti setelah pembatas dari bambu sepanjang 5 meter (m) diturunkan.

Tidak berselang lama, dua kereta api dari arah utara dan selatan meluncur dengan kecepatan tinggi. Debu pun beterbangan saat kereta api itu melintasi kawasan tersebut.
Ya, begitulah sedikit gambaran tentang pintu perlintasan kereta api di Pokak, Ceper. Palang pintu perlintasan kereta api yang digunakan tidak dijalankan secara otomatis, melainkan dibuka dan ditutup dengan cara manual. Palang pintu itu terbuat dari sebilah bambu yang cukup panjang.

Pintu perlintasan kereta api tidak berpalang itu sering kali disebut warga dengan Mbah Ruwet. Entah bagaimana ceritanya sampai warga setempat menyebutnya dengan nama itu.
“Saya juga tidak tahu kenapa disebut Mbah Ruwet, mungkin karena banyaknya kecelakaan akibat tidak ada palang pintu perlintasan kereta,” jelas Slamet saat ditemui wartawan sambil menjaga pintu perlintasan di wilayah itu, Senin.

Advertisement

Pada awal 2013, pintu perlintasan kereta Mbah Ruwet resmi dijaga dan dikelola oleh Desa Pokak. Sebelumnya, pintu perlintasan kereta api itu dijaga oleh sukarelawan dari warga setempat. Kini, sudah ada sekitar empat warga yang bertugas menjaga pintu perlintasan kereta api Mbah Ruwet.

Pada hari biasa, pintu perlintasan kereta api itu dijaga dengan sistem dua shift. Namun, pada bulan Ramadan ini, penjagaan dilakukan dengan sistem tiga shift selama sehari. Masing-masing shift dijaga oleh dua orang. Pasalnya, saat Ramadan, terutama lebaran, pintu perlintasan kereta api itu cukup dipadati oleh kendaraan.

Slamet dan Kismadi rela dibayar Rp500.000 per bulan untuk menjaga pintu perlintasan kereta api itu.

Advertisement

“Bayarannya tidak seberapa, yang penting bisa mengamankan nyawa sesama,” ungkap Kismadi.

Kini, sejumlah fasilitas seperti pos sederhana dari bambu dan lampu sudah dilengkapi secara swadaya oleh masyarakat di sekitar pintu perlintasan itu. Sebelumnya, di lokasi itu sama sekali tidak dilengkapi penerangan maupun pos penjagaan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif