Kolom
Selasa, 30 Juli 2013 - 08:14 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Mahasiswa Tanpa Tradisi Berpikir

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Trimanto tri7_ready@yahoo.co.id Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka

Trimanto
tri7_ready@yahoo.co.id
Mahasiswa Jurusan
Ilmu Komunikasi
Universitas Terbuka

Pikiran termasuk salah satu anugerah besar yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia. Sebagai orang beriman, semestinya kita mensyukurinya. Salah satu cara kita untuk mensyukuri nikmat tersebut adalah membiasakan diri untuk mengoptimalkan kemampuan kita berpikir dalam ilmu dan kebaikan.

Advertisement

Dalam perspektif Islam, banyak firman Allah SWT yang mendorong kita untuk selalu berpikir. Salah satunya dalam Q.S. Ali ‘Imran: 191. Perintah lainnya seperti dalam kalimat afala ta’qilun (apakah kalian tak memakai akal?), afala yatadabbarun (apakah kalian tak menelaah?), atau afala tatafakkarun (apakah kalian tak berpikir?).

Di kalangan mahasiswa, kegiatan berpikir masih dianggap suatu pekerjaan yang berat atau hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Menurut sebagian di antara mereka, berpikir adalah pekerjaan para peneliti, filsuf, atau ilmuwan. Sebagian besar mahasiswa menganggap belajar hanya identik dengan mencatat materi dan kemudian membaca atau menghafalnya saat menjelang ujian.

Advertisement

Di kalangan mahasiswa, kegiatan berpikir masih dianggap suatu pekerjaan yang berat atau hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Menurut sebagian di antara mereka, berpikir adalah pekerjaan para peneliti, filsuf, atau ilmuwan. Sebagian besar mahasiswa menganggap belajar hanya identik dengan mencatat materi dan kemudian membaca atau menghafalnya saat menjelang ujian.

Pada saat diskusi baik di ruang kuliah atau pada acara-acara tertentu, mereka lebih suka berdebat dan beradu argumen daripada bertukar pandangan yang berasal dari pemikiran mendalam. Banyak mahasiswa hanya menangkap materi yang diberikan dosen tanpa berusaha memikirkannya. Secara fisik mereka berada di ruang kelas, ruang kuliah, tetapi pikiran mereka mengembara ke mana-mana. Mereka mencatat pelajaran, tapi sayang mereka tidak berusaha memahaminya.

Sangat sedikit yang mereka peroleh. Mereka hanya menghabiskan waktu dalam kebosanan di dalam ruang kuliah tanpa mendapatkan sesuatu yang bermakna. Coba kita perhatikan obrolan para mahasiswa saat di rumah, di tempat indekos, di kampus, atau di tempat publik lainnya. Topik pembicaraan selalu tidak jauh dari tema seputar pacaran, gadget, gosip artis, tempat nongkrong, dan tema remeh-temeh lainnya.

Advertisement

Dari sikap hidup keseharian pun, kebiasaan para mahasiswa masih didominasi oleh hal-hal mubazir dan tidak bermanfaat. Sebagian besar waktu dipergunakan untuk main telepon seluler, ketagihan game, nongkrong atau begadang, pergi ke mal, pacaran, dan sebagainya. Sementara itu, acara seperti seminar, kajian, diskusi, renungan, atau yang semacamnya kurang begitu diminati.

Lemahnya tradisi berpikir juga disebabkan pengaruh media dan teknologi komunikasi. Pesan yang dibawa media begitu kuat dan telah membawa perubahan perilaku audiensi. Akibatnya, gosip selebritas atau cerita sinetron lebih menarik bagi mahasiswa daripada berpikir tentang tema-tema keilmuan, pembentukan karakter, dan pengembangan diri. Skandal seorang selebritas lebih memikat hati mereka ketimbang persoalan-persoalan sosial atau ketidakadilan.

Sedangkan pengaruh teknologi komunikasi salah satunya sangat terlihat dalam pemanfaatan media sosial. Sebagian besar Mahasiswa lebih banyak bertindak sebagai konsumen informasi, bersikap pasif, dan tidak selektif dalam mengakses informasi. Status yang remeh-temeh, tidak berbobot, atau berbau pornografi lebih disukai dan banyak dikomentari dibanding status yang serius, perlu pendalaman, dan perenungan. Terlalu banyak bersosial media bisa mengakibatkan lemahnya konsentrasi dan rendahnya motivasi terhadap hal lain (Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Psikologi Komunikasi).

Advertisement

 

Melatih

Setiap pribadi manusia—terlebih mahasiswa–harus mampu menciptakan tradisi berpikir. Tradisi ini akan melipatkan kemampuan dan potensi diri. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk merangsang kemampuan berpikir. Pertama, penguatan diri (self reinforcing), yaitu segala sesuatu yang dapat menjadikan kita merasa nyaman dan puas sehingga kita lebih termotivasi untuk melakukan sesuatu.

Advertisement

Kedua, keterbukaan terhadap berbagai ide (openess to ideas), salah satu bentunya adalah rasa ingin tahu (curiousity). Ketiga, membentuk pola kebiasaan ilmiah. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak memberikan penilaian terhadap suatu gagasan sebelum menguji keabsahan argumentasinya; melihat suatu gagasan dari banyak sisi, memunculkan rasa ingin tahu yang tinggi; terbuka terhadap beragam gagasan; dan tidak pernah merasa puas terhadap ilmu yang diperoleh.

Keempat, mengelola emosi. Emosi sangat memengaruhi cara berpikir.  (Dwi Budiyanto; 2009: 214). Tulisan ini saya tutup dengan ungkapan Anis Matta (Presiden Partai Keadilan Sejahtera) bahwa kekuatan kepribadian kita akan terbangun saat kita mulai memikirkan pikiran-pikiran kita sendiri, memikirkan cara kita berpikir, memikirkan kemampuan berpikir kita, dan memikirkan bagaimana seharusnya kita berpikir.

Akar dari semua tindakan, perilaku, kebiasaan, dan karakter adalah pikiran kita. Pikiran akan membentuk kualitas kepribadian kita, dan kualitas kepribadian kita akan membentuk kualitas hidup kita. Untuk itu, marilah kita—para mahasiswa–mengevaluasi tradisi berpikir kita.

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif