Kolom
Senin, 29 Juli 2013 - 08:06 WIB

GAGASAN : Senja Kala Legitimasi Parpol

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anhar Widodo anhar_widodo@yahoo.com Peneliti dan Direktur Eksekutif Solo Young Leadership Forum

Anhar Widodo
anhar_widodo@yahoo.com
Peneliti dan Direktur Eksekutif
Solo Young Leadership Forum

Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) telah melahirkan praktik politik baru di masyarakat kita. Partai politik (parpol) yang seharusnya menjadi media artikulasi dan agregasi kepentingan politik konstituennya mengalami delegitimasi. Delegitimasi parpol itu berasal dari para pendukungnya.

Advertisement

Fenomena ini sebenarnya telah menggejala sejak Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 lalu, di mana Partai Demokrat sebagai bukan partai pemenang pemilu mampu mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Semula kita menganggap Partai Demokrat hadir sebagai partai tengah yang mampu mengatasi kebuntuan politik masyarakat kita dan dengan legitimasi masyarakat menjadikan SBY presiden. Fakta yang berkembang kemudian menunjukkan partai bentukan SBY ini menjadi besar justru karena faktor SBY, dan benar adanya bahwa partai ini memang hadir semata sebagai kendaraan politik SBY.

Advertisement

Semula kita menganggap Partai Demokrat hadir sebagai partai tengah yang mampu mengatasi kebuntuan politik masyarakat kita dan dengan legitimasi masyarakat menjadikan SBY presiden. Fakta yang berkembang kemudian menunjukkan partai bentukan SBY ini menjadi besar justru karena faktor SBY, dan benar adanya bahwa partai ini memang hadir semata sebagai kendaraan politik SBY.

Pilkada Kabupaten Karanganyar, juga daerah yang lain, menegaskan bahwa parpol sekarang ini memang sekadar menjadi tiket–bagi siapa saja—untuk maju memperebutkan posisi gubernur atau bupati/walikota. Selebihnya, kekuatan dukungan dan nama besar parpol yang direpresentasikan jumlah anggota di DPRD sepertinya memang hanya menjadi macan ompong. Kekalahan calon yang diusung partai-partai besar di basis kekuatan mereka sendiri beberapa waktu lalu menjadi tesis yang tidak terbantahkan bahwa masyarakat lebih percaya kepada nama seseorang dari pada partai apa yang mendukung seseorang tersebut.

Tentu kita masih ingat bagaimana Begug Purnomosidi (Wonogiri) dan Untung Wiyono (Sragen) di periode kepemimpinan mereka meraih posisi bupati dengan kemenangan telak dari lawan-lawan politik mereka, namun justru partai tengah dan partai kecil lainnya yang berkuasa kemudian. Kegagalan parpol mendapatkan mandat dari rakyat, disebabkan setidaknya oleh sejumlah alasan.

Advertisement

Kedua, masyarakat yang semakin paham hak dan kewajiban politik mereka secara individu dan kolektif menyadari bahwa mereka tidak bisa secara semena-mena hanya dijadikan stempel bagi kelangsungan kekuasaan elite politik. Rakyat selama ini dibutuhkan elite politik–dengan demikian mereka menjadi dekat dan paham dengan elite politiknya—hanya pada saat suara mereka dibutuhkan untuk kontestasi politik memperebutkan jabatan-jabatan politik tertentu.

Ketiga, parpol gagal membangun dirinya menjadi organisasi politik yang modern dan kompetitif. Proses kaderisasi yang cenderung asal-asalan dengan kurikulum yang belum terukur dan terencana, serta proses regenerasi yang sering diwarnai intrik politik yang tidak produktif menjadikan parpol tidak dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk bekerja melayani rakyat.

Sampai di sini kita akan bertemu dengan lebih banyak orang yang bekerja dari politik, dibandingkan mereka yang bekerja melayani politik. Keempat, parpol dengan demikian tidak lagi memperhatikan proses-proses edukasi politik dan transformasi gagasan kepada masyarakat luas secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Menjadi sangat normal, saat proses pilkada, ongkos program kampanye dan sosialisasi calon kepala daerah menjadi begitu mahal.

Advertisement

 

Jalur Kemenangan

Politik adalah bisnis kepercayaan. Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada parpol, membangun parpol yang modern dan kompetitif adalah sebuah keniscayaan. Demokrasi perwakilan semestinya menempatkan parpol sebagai satu-satunya representasi rakyat dalam kontestasi memperebutkan jabatan politik tertentu secara konstitusional.

Advertisement

Menjadi paradoks manakala kita bersepakat menggunakan sistem demokrasi perwakilan sebagai proses politik, namun pada tataran praktis rakyat masih gamang untuk memberikan mandat politik kepada parpol. Agar parpol kembali mendapatkan legitimasi dari konstituen, fungsi-fungsi kepartaian dalam sistem politik demokrasi harus dikembalikan dalam aturan-aturan normatif, setidaknya mendekati gambaran ideal para penggagas ilmu politik modern.

Parpol sebagai media saluran komunikasi politik antara rakyat dan elite seharusnya difungsikan secara optimal. Sayangnya, elite parpol kita banyak yang masih ambigu dalam membangun parpol sebagai jembatan komunikasi. Kasus recalling yang menimpa anggota DPR karena perbedaan sikap dan visi politik menjelaskan ambiguitas parpol. Pada satu sisi (kader) partai wajib membawa aspirasi (yang berkembang) di masyarakat.

Sementara pada sisi yang lain aturan-aturan normatif kepartaian wajib dijunjung tinggi setiap orang yang terlibat di dalamnya. ”Pembangkangan” pada kebijakan yang telah digariskan partai harus dibayar mahal. Secara lebih luas, konflik internal partai yang berkepanjangan berdampak secara signifikan pada kekuatan dukungan dari masyarakat yang semakin menurun.

Militansi dan loyalitas pendukung partai tidak mungkin dibangun dalam waktu yang singkat dan dengan sistem yang asal-asalan. Pembangunan citra partai juga tidak mungkin hanya mengandalkan iklan-iklan politik dan pemberitaan media massa. Masyarakat yang semakin sadar politik tidak akan serta-merta menelan mentah-mentah pesan-pesan politik yang dibangun partai. Mereka akan dengan sadar mencari opini kedua dan seterusnya untuk mengambil sikap dan menentukan pilihan politiknya.

Jika partai politik tidak mempunyai kesadaran untuk membangun sistem kepartaian yang lebih modern dengan standar transparansi dan akuntabilitas tertentu untuk mengimbangi kesadaran dan kecerdasan masyarakat, bukan tidak mungkin partai hanya akan besar dalam hitungan kertas saja. Selebihnya konstituen akan mulai mengalihkan dukungan dan suaranya kepada partai lain, atau mengambil sikap diam (menjadi golongan putih atau golput).

Saat transaksi politik antara rakyat dan parpol terjadi dalam sistem demokrasi politik yang seimbang–ada pemahaman, kesadaran, serta pemenuhan hak dan kewajiban—maka kemenangan politik adalah harga yang akan kita dapatkan. Proses membangun parpol yang mendapatkan legitimasi rakyat memang bukan semata-mata tanggung jawab negara dan partai.

Kelompok masyarakat yang bergabung dalam komunitas, media, organisasi, lembaga swadaya, maupun perguruan tinggi punya tanggung jawab yang sama untuk terlibat memikirkannya. Partai politik semestinya memang harus terbuka dengan kritik dan saran dari masyarakat. Dengan demikian saat rakyat menyerahkan mandat politik kepada partai tersebut telah ada ”nota kesepahaman” yang terbangun antara rakyat dan partai politik pilihan mereka. Partai yang demikianlah yang akhirnya terhindar dari delegitimasi politik dari konstituennya.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif