Jogja
Selasa, 23 Juli 2013 - 10:36 WIB

MERAPI BERGEMURUH: Kula Thenguk-Thenguk, Rasane Kados Jungkel-Jungkel

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - JIBI/Harian Jogja/Sunartono Sejumlah lansia saat mengungsi di Balai Desa Glagah Harjo, Cangkringan Sleman, Senin (22/7/2013).

JIBI/Harian Jogja/Sunartono
Sejumlah lansia saat mengungsi di Balai Desa Glagah Harjo, Cangkringan Sleman, Senin (22/7/2013).

Meningkatnya aktivitas Gunung Merapi membuat ribuan warga yang tinggal di lereng gunung tersebut mengungsi. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Sunartono.

Advertisement

Entah sudah berapa puluh kali Mbah Karyo Sumarto merasakan detik-detik proses evakuasi letusan Gunung Merapi. Ia sudah tidak mengingat lagi karena sejak kecil tinggal di kawasan lereng Merapi tepatnya di Dusun Kalitengah Kidul, Desa Glagahharjo Cangkringan Sleman.

Setelah erupsi 2010 silam, Senin (22/7/2013) pagi buta wanita berumur 90 tahun ini kembali merasakan hiruk pikuk dampak Merapi. Kepanikan itu sebenarnya bukan datang dari dirinya sendiri.

Advertisement

Setelah erupsi 2010 silam, Senin (22/7/2013) pagi buta wanita berumur 90 tahun ini kembali merasakan hiruk pikuk dampak Merapi. Kepanikan itu sebenarnya bukan datang dari dirinya sendiri.

Tanpa merasa sombong ia merasakan nyalinya sudah cukup kuat untuk menghadapi persoalan itu. Tetapi cucu-cucunyalah yang memaksa saat pagi buta kemarin memang harus mengungsi. Demi keamanan ia dibawa ke Balaidesa Glagahharjo, Cangkringan, Sleman. Karyo kumpul bersama sejumlah lansia lainnya.

Mbah Karyo masih sempat membawa sejumlah pakaiannya yang dibungkas dalam kain berwarna putih kemudian digendong. Bekal itu dibawa, kata dia, untuk mengantisipasi jika belum diperkenankan untuk kembali ke rumahnya di Kalitengah. Tetapi bersyukur sekitar pukul 08.00 WIB, BPBD Sleman menyampaikan bahwa situasi kembali aman dan menurut BPPTK Merapi dinyatakan masih Aktif Normal.

Advertisement

Kelopak matanya sayu, wajah yang keriput membuatnya tampak uzur dengan pelan mengunyah roti hingga ditelannya sampai kerongkongan kemudian minum air putih.

Mbah Karyo pun mulai bercerita kondisi kepanikan warga. Seperti malam-malam lainnya, ia jarang bisa tidur lelap dan lebih sering terjaga. Maklum kondisi usianya yang sudah tua menjadi faktornya. Apalagi saat Ramadan, anak dan cucunya puasa harus bangun sahur dan ia seringkali ikut bangun.

Saat di kamar sendiri sekitar pukul 04.00 WIB, Karyo Sumarto merasakan ada goyangan yang membuat tubuhnya seakan terjungkal. Gempa itu berkali-kali dan diiringi dengan suara gemuruh serta mirip sejenis mesin motor.

Advertisement

Lebih mudah lagi ia menamakannya seperti alat berat yang beroperasi di area penambangan karena seringkali nekat saat malam hari.

“Kulo thenguk-thenguk, rasane kados jungkel-jungkel [Saya duduk rasanya seperti menjungkal gempa]. Kroso kulo koyo bego [Terasa seperti ada backhoe, alat berat],” ungkapnya kepada Harian Jogja, Senin (22/7/2013).

Meski sudah memiliki firasat terhadap Merapi, tetapi mbah Karyo masih belum yakin jika suara dan gempa itu berasal dari gunung tersebut. Ia pun menanyakan kepada cucunya yang dijawab dengan melegakan karena dinilai sebagai suara motor.

Advertisement

Karena suara gemuruh itu terjadi secara terus menerus hingga lebih dari 15 menit, terdengar aneh dan tidak sewajarnya motor, cucunya Wawan saat itu memastikan keluar rumah.

Sembari bertanya ke tetangga cucunya merasakan ada hujan abu yang jatuh di depan rumah. Kondisi itu diiringi dengan banyak warga Kalitengah keluar rumah. Meski tidak sesangar saat erupsi 2010 tetapi rata-rata warga secara sadar untuk segera meninggalkan rumahnya menuju ke pengungsian.

Mereka pun larut dalam hiruk pikuk lalu lintas motor pedesaan terus bertambah melewati jalan rusak akibat penambangan di kawasan penambangan. Mereka semua sepakat menuju ke pengungsian balaidesa setempat. Mbah Karyo diminta oleh cucunya untuk segera keluar dari rumah.

“Bareng wes ndelok kahanan njobo omah,putuku omong, metu mbah, metuo mbah, aku metu langsung diangkat dicingklak nang dhuwur motor, lha ora iso munggah [Setelah melihat kondisi di luar rumah, cucuku berkata, keluar Nek, saya keluar langsung diangkat naik sepeda motor, karena tidak bisa naik sendiri],” ujarnya.

Ketika itu, lanjutnya, tidak hanya abu saja yang menghujani tetapi juga pasir tipis. Sementara gemuruh masih terus berlangsung hingga lebih dari 30 menit. Dengan diboncengkan cucunya bernama Wawan, Mbah Karyo menyaksikan lalu lintas yang padat di pedesaan akibat kepanikan warga.

Dalam batinnya, kata Mbah Karyo, semoga Merapi tidak meletus dan hanya menyeburkan abu biasa. Ia tak menginginkan di sisa-sisa hidupnya menyaksikan kembali korban erupsi Merapi seperti 2010 lalu. Karena itulah ibu satu anak dan tiga cucu ini terus berdoa.

Kisah serupa juga dirasakan Mbah Mitro, 85, warga Dusun Kalitengah yang juga diantar oleh cucunya saat dievakuasi. Sejumlah kendaraan petugas belum mencapai lokasi karena sebelumnya tidak melakukan antisipasi.

“Gludug-gludug meniko, lajeng putu kulo langsung ngajak mriki. Wes mbah ayo [Bergemuruh, lalu cucu saya langsung mengajak ke sini. Ayo Nek, katanya],” ucap Mbah Mitro, wanita lansia yang juga ikut mengungsi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif