Teknologi
Sabtu, 20 Juli 2013 - 05:00 WIB

PLTS Tak Optimal Karena Harga Baterai Terlalu Mahal

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi PLTS (JIBI/Solopos/Antara/Syaiful Arif)


Ilustrasi PLTS (JIBI/Solopos/Antara/Syaiful Arif)

Solopos.com, JAKARTA — Sebagai negara katulistiwa, Indonesia tentu saja bermandikan inar matahari. Namun, mahalnya biaya investasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) membuat pemerintah belum dapat mengoptimalkan penggunaannya untuk melistriki seluruh wilayah di negeri ini.

Advertisement

Hal itu dikeluhkan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Nur Pamudji di Jakarta, Jumat (19/7/2013). Akibat mahalnya biaya investasi itu, PLTS yang dibangun di suatu daerah hanya bisa memiliki kapasitas sebesar 20% dari beban listrik daerah tersebut.

Hal itu dilakukan demi mengantisipasi anjloknya listrik saat pembangkit itu tidak dapat digunakan karena hujan. “Kalau mendung, kan PLTS tidak dapat menghasilkan listrik. Makanya harus kita kaver dari pembangkit listrik tenaga diesel. Kebutuhan listrik ini juga tidak boleh anjlok secara mendadak, karena dapat merusak PLTD,” katanya.

Advertisement

Hal itu dilakukan demi mengantisipasi anjloknya listrik saat pembangkit itu tidak dapat digunakan karena hujan. “Kalau mendung, kan PLTS tidak dapat menghasilkan listrik. Makanya harus kita kaver dari pembangkit listrik tenaga diesel. Kebutuhan listrik ini juga tidak boleh anjlok secara mendadak, karena dapat merusak PLTD,” katanya.

Selain itu, katanya, PLTS yang dibangun tidak akan sepenuhnya menggantikan pembangkit listrik tenaga disel (PLTD) yang telah ada di daerah. PLTS hanya dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik siang hari, karena tidak dilengkapi dengan baterai untuk menyimpan tenaga listrik yang diproduksi siang hari. Pasalnya, harga baterai untuk PLTS saat ini masih relatif mahal dengan usia penggunaan yang sebentar.

Itulah sebabnya, pemerintah kata dia, hanya memasang PLTS tanpa baterai di wilayah terpencil. “Tetapi untuk baterai ini kami melihat keekonomiannya juga. Ada wilayah yang kalau menggunakan BBM lebih mahal dibandingkan dengan harga listrik dari PLTS yang menggunakan baterai, di daerah itu kami menggunakan PLTS dengan baterai,” jelasnya.

Advertisement

“Pada saat peluncuran Peraturan Menteri ESDM No 17/2013 tentang tarif listrik surya, kami akan umumkan lokasi dan kuota untuk masing-masing lokasi,” ungkapnya.

Sesuai aturan, kuota pembangkit disesuaikan dengan masukan PLN mengenai rincian kuota kapasitas sesuai dengan kebutuhan sistem ketenagalistrikan di wilayah tertentu. Pembangkit yang dilelang tersebar di 72 lokasi, yakni 22 lokasi di Indonesia Barat dan sisanya di Indonesia Timur dengan total kapasitas seluruh pembangkit sebesar 150 MW.

Dengan investasi setiap pembangkit mencapai Rp20 miliar, investasi seluruh pembangkit yaitu Rp3 triliun. Tetapi, perhitungan investasi tersebut belum termasuk lahan untuk konstruksi, yang diperkirakan setiap 1 megawatt PLTS memerlukan lahan seluas 1,2 hektare.

Advertisement

Investasi yang sangat besar itu membuat pemerintah mengajak pengembang listrik swasta (Indonesia Power Producer/IPP). Kerja sama tersebut seperti yang dilakukan pemerintah pada saat membangun PLTS di Bangli, Bali dengan investasi Rp26 miliar.

Dalam kerja sama itu, IPP diminta menyelesaikan kepemilikan lahan agar proyek PLTS dapat berjalan maksimal. Sementara pemerintah mendanai pembangunannya dengan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Saat ini, telah ada Peraturan Menteri ESDM No17/2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN dari PLTS Fotovoltaik. Peraturan itu menyebutkan harga patokan tertinggi PLTS fotovoltaik hasil lelang sebesar US$0,25 per kWh.

Advertisement

Jika tingkat komponen dalam negara (TKDN) PLTS minimal 40% maka diberikan insentif harga hingga US$0,30/kWh. Harga jual listrik tenaga surya hasil lelang tersebut bersifat final dan akan langsung dibeli PLN.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif