Kolom
Selasa, 16 Juli 2013 - 09:13 WIB

MIMBAR MAHASISWA : Insiden Teh Manis Industri Penyiaran

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Dede Suprayitno habibi.ds@gmail.com Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Dede Suprayitno
habibi.ds@gmail.com
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret

 

Advertisement

Pada 28 Mei 2013 publik Indonesia digegerkan insiden yang terjadi pada sebuah acara talkshow Apa Kabar Indonesia Pagi (AKIP) yang disiarkan stasiun televisi TVOne. Dalam acara itu, Munarman selaku juru bicara Front Pembela Islam (FPI) menyiramkan secangkir teh manis kepada kawan diskusinya, seorang sosiolog asal Universitas Indonesia, Tamrin  Amal Tomagola.

Pembawa acara pun sempat kaget. Jutaan pemirsa di Indonesia pun turut menyaksikan adegan tersebut yang ditayangkan secara live. Seketika itu, informasi insiden itu di media sosial memunculkan banjir opini. Tema ”penyiraman air the” itu pun menjadi perbincangan hangat. Sebagian kalangan mengutuk perbuatan Munarman yang dianggap tak etis dan cenderung mencederai golongan tertentu.

Advertisement

Pembawa acara pun sempat kaget. Jutaan pemirsa di Indonesia pun turut menyaksikan adegan tersebut yang ditayangkan secara live. Seketika itu, informasi insiden itu di media sosial memunculkan banjir opini. Tema ”penyiraman air the” itu pun menjadi perbincangan hangat. Sebagian kalangan mengutuk perbuatan Munarman yang dianggap tak etis dan cenderung mencederai golongan tertentu.

Aksi mengecam sikap Munarman via media sosial seperti gelombang tsunami yang menerjang apa pun. Publik seolah terbawa emosi massa yang telah terbingkai oleh citra personal Munarman. Publik mengingat track record Munarman yang pernah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dan keterlibatannya dalam insiden Monas 1 Juni 2008. Masyarakat cenderung menilai Munarman sebagai anarkis.

Dalam insiden talkshow AKIP, Munarman jelas berlaku tidak etis. Namun, kawan diskusinya juga berlaku tidak etis. Sebelum kejadian itu, Tamrin memotong pembicaraan Munarman. Hal itu tentu merupakan perbuatan yang tidak etis dalam tradisi diskusi. Apalagi Munarman yang tak bisa membendung emosinya akhirnya muntab. Insiden penyiraman teh manis menjadi puncaknya.Mahasiswa harus kritis menafsirkan fenomena itu. Kejadian tersebut merupakan rentetan yang tidak terduga dan tentunya tidak diinginkan terjadi. Namun, kemungkinan-kemungkinan itu tentu sudah diperhitungkan. Media penyelenggara talkshow tersebut seharusnya mampu menafsirkan kemungkinan apa yang akan terjadi. Terlebih acara tersebut ditayangkan secara live dengan mengundang pembicara yang kontroversial dan isu yang sensitif.

Advertisement

Insiden teh manis dalam talkshow AKIP pada akhirnya menimbulkan semacam persepsi publik. Media yang menjadi alat komunikasi turut berperan dalam membentuk sikap publik. Publik menyimpan pengalaman tentang arogansi Munarman. Media yang menyiarkan pun juga tak lepas dari kritik. TVOne selalu mengundang peserta diskusi dengan tema-tema kontroversial namun minim solusi.

Media menyampaikan informasi di lapangan dari reporter dan disajikan melalui tampilan audiovisual maupun cetak. William L. Rivers dalam bukunya Media Massa dan Masyarakat Modern (2004) menyatakan apa yang diberitakan media merupakan gambaran mengenai proses-proses sosial. Muncul kesadaran bahwa kritik terhadap media sebenarnya kritik terhadap kondisi masyarakat dan nilai-nilai yang dianut.

Berita yang disajikan media merupakan informasi dari ranah publik. Jika apa yang diberitakan itu adalah soal keburukan, itulah wajah publik yang sebenarnya. Begitu halnya dengan insiden penyiraman teh manis dalam acara AKIP. Keterlibatan dua pihak dalam diskusi hangat pagi itu menggambarkan perwakilan kelompok-kelompok di masyarakat. Kelompok-kelompok ini memiliki cara pandang masing-masing dalam memperjuangkan idealisme mereka.

Advertisement

Kedewasaan Media

Di tengah persaingan memperebutkan dana iklan dan perhatian publik, tanpa kita sadari media mulai berbagi peran. Mulai dari media siaran hingga media cetak, urun peran dalam pemberitaan insiden penyiraman teh manis tersebut. Celah inilah yang juga dapat menghidupkan media-media tersebut.

Jika media siaran dapat memberi perhatian kepada suatu peristiwa, waktu dan perhatian kepada peristiwa lain menjadi berkurang. Celah itu dapat di atasi oleh koran atau media cetak harian. Koran mampu memberitakan lebih banyak hal, namun kedalaman informasinya menjadi terbatas. Celah itu pun dimanfaatkan oleh majalah.

Advertisement

Hal ini menandakan bahwa peran media sebagai penafsir informasi sama pentingnya dengan peran sebagai penyampai informasi (William, 2004). Kehebohan insiden teh manis pada akhirnya menghidupkan penyebaran informasi melalui media sosial. Komunikasi menjadi bentuk peristiwa yang tak mampu untuk berulang (irreversible). Apa yang ada  dalam pesan tersebut tidak dapat dikendalikan atau dihilangkan. Pesan tersebut akan berdampak pada masyarakat.

Seperti halnya peristiwa penyiraman teh manis di acara  AKIP. Publik akan mengenangnya sebagai bagian peristiwa dalam hidup mereka dan juga tentunya sejarah penyiaran Indonesia. Kita mesti merenungkan amanat Undang-Undang Nomor 32/2002 Pasal 3: penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. Sudahkah industri penyiaran Indonesia berperan demikian?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif