Umum
Kamis, 4 Juli 2013 - 09:09 WIB

GAGASAN :Mencemaskan Pemilu 2014

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 

Advertisement

 

 

Advertisement

 

 

 

Advertisement

Mantan Anggota DPRD Boyolali

Direktur Pusat Kajian Pencerahan Politik Indonesia

Harap-harap cemas menghiasi suasana menjelang  Pemilu Legislatif 2014. Sudah semestinya, jika banyak yang berharap terjadi perubahan melalui Pemilu 2014, karena pemilu memang menjadi satu-satunya instrument demokrasi bagi rakyat untuk memberikan reward`(ganjaran) dan punishment (hukuman) kepada rezim politik. Jika amanah dan berprestasi, diberi reward atau dipilih kembali dan jika berkhianat perlu diberikan punishment atau tidak dipilih lagi.

Advertisement

Kecemasan dan kekhawatiran itu muncul karena sebagian rakyat menganggap Pemilu 2014 hanya akan menjadi kegiatan “ritual lima tahunan” dan tidak akan terjadi  perubahan apa-apa, atau bahkan hasil Pemilu 2014 bisa lebih buruk. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Pertama,  tidak kurang dari 90 persen anggota DPR maju kembali menjadi caleg (calon anggota legislatif). Padahal, seperti kita ketahui, citra anggota DPR saat ini sedang berada pada titik nadir. Itu bukan hanya menyangkut persoalan kapasitas yang rendah, namun juga karena integritas yang rendah. Korupsi para aktor politik di DPR menjadi booming dan martabat DPR runtuh.

Pada saat yang sama, seluruh partai politik memberlakukan secara istimewa terhadap para petahana. Aturan internal tentang pembatasan jabatan dihilangkan. Kinerja para petahana ini tidak dievaluasi. Partai politik sendiri amat pragmatis. Yang pokok, bagaimana partai memperoleh sebanyak-banyaknya kursi. Asumsinya, dengan modal kekuasaan dan material yang lebih, peluang terpilihnya para petahana menjadi lebih besar.  Jika itu terjadi, Pemilu 2014 hanya akan membuat legitimasi perilaku dan implikasinya tentu amat serius.

Kedua, sebagaimana amanah UUD 1945, peserta Pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR/DPRD adalah partai politik. Karena itu, partai politik menjadi satu-satunya institusi yang mempunyai hak melakukan rekrutmen calon anggota DPR/DPRD. Padahal, citra partai politik sedang terpuruk, karena perilaku korup para elitnya. Tidak ada hari tanpa berita korupsi politik yang melibatkan kader partai.

Advertisement

Sehingga, wajah partai menjadi bopeng. Perilaku korup, kehidupan mewah dan main perempuan seolah-olah identik dengan pejabat politik. Mereka tidak amanah. Rakyat banyak yang frustrasi dan muak dengan politik. Mereka merasa dikhianati. Mereka tidak percaya lagi terhadap partai politik dan segala produknya.

Implikasinya, apatisme menjadi fenomena baru, dengan tidak mau mencoblos, atau golput (golongan putih). Dalam pemilihan gubernur (Pilgub) Jawa Tengah yang lalu, golput mencapai 44 persen, atau menjadi pemenangnya. Ada kecenderungan, golput semakin bertambah dari Pemilu ke Pemilu. Ini mestinya menjadi “peringatan keras” bagi para aktivis politik.

Padahal, orang-orang yang mempunyai kesadaran untuk golput, ditengarai, lebih didominasi oleh orang-orang terdidik. Itu artinya, bilik-bilik TPS (tempat pemungutan suara) lebih banyak diisi orang-orang yang kurang terdidik. Mereka didorong oleh hal-hal yang bersifat pragmatis untuk datang ke TPS. Dengan demikian, kualitas pilihannya menjadi rendah, dan otomatis kualitas produknya juga rendah.

Ketiga, secara umum partai politik gagal melakukan pengkaderan dan proses pendidikan politik. Partai politik tidak serius menjadi partai politik. Elite partai juga gagal memahami konsep partai politik. Karena itu, rekrutmen caleg menjadi karut marut dan asal-asalan dengan tujuan pragmatis memperoleh kursi sebanyak-banyaknya. Partai politik berkerja instan, mencalegkan orang-orang yang tidak mempunyai rekam jejak sebagai aktivis politik, asal populer dan punya duit. Sehingga, artis menjadi salah satu figur yang dibidik partai untuk dicalegkan.

Gerakan Rakyat

Apa yang harus dilakukan agar Pemilu 2014 bisa diselamatkan ? Perlu gerakan rakyat untuk  mentransformasikan pesimisme  menjadi optimisme publik. Bagaimanapun Pemilu adalah alat paling legitimated untuk menghukum elite korup. Pemilu juga menjadi alat untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara agar mereka memahami hak dan kewajibannya. Dengan terlibat dalam proses pelaksanaan pemilu, diharapkan warga negara akan mendapatkan pengalaman langsung bagaimana selayaknya seorang warga negara berkiprah dalam sistem demokrasi. Ia akan mengerti dan memahami posisinya sebagai pemegang kedaulatan yang sangat menentukan gerak serta perjalanan bangsa dan negaranya.

Sistem proporsional terbuka dalam Pemilu memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan caleg terpilihnya. Jika hasil Pemilu 2009 mengecewakan rakyat, mestinya rakyat juga berintrospeksi karena sistem yang digunakan pada pemilu 2009 sudah menggunakan sistem proposional terbuka. Artinya, rakyat juga harus menyadari bahwa dalam Pemilu 2009 mereka telah melakukan kesalahan dalam memilih.

Oleh karena itu, optimisme harus dibangun. Kesalahan memilih harus dijadikan sebagai pelajaran untuk tidak salah pilih lagi dan sekaligus dijadikan sebagai titik awal membangun kesadaran pentingnya Pemilu bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lari dari masalah, pesimisme, apatisme dan golput bukan solusi, tapi justru akan semakin menambah masalah.

Untuk itu, tiga langkah berikut bisa dijadikan sebagai upaya menyelamatkan Pemilu 2014. Pertama, perlu gerakan memilih politisi bersih. Ketika kita tidak bisa berharap terhadap partai-partai yang ada, kita sebenarnya masih mempunyai harapan terhadap politisi-politisi bersih yang ada di seluruh partai politik. Rakyat, melalui civil society-nya, perlu membangun jaringan dengan politisi bersih, menitipkan agenda, dan turut mengkampanyekan melalui gerakan memlilih politisi bersih tadi. Dalam konteks ini, Gerakan Indonesia Memilih gagasan Komaruddin Hidayat  perlu dimassifkan.

Kedua, menurut J Kristiadi, ketika variable uang menjadi variable dominan keterpilihan seorang caleg, itu akan menjadi sumber masalah. Oleh karena itu, perlu kampanye “tolak politik uang”. Ketiga,   perlu pendidikan penyadaran pemilih, golput bukan solusi. Bukankah saat ini rakyat telah mempunyai hak penuh untuk menentukan pilhannya? Mengapa kebebasan tersebut tidak dimanfaatkan untuk memilih caleg terbaiknya ? Wallahu a’lam. (thontowi.jauhari@gmail.com)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif