Kolom
Selasa, 2 Juli 2013 - 11:05 WIB

GAGASAN : Pakem Vs Kreatifitas Pasca Lomba Karawitan di RRI

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Perdebatan Kreatifitas Pasca Lomba Karawitan di RRI

Perdebatan Kreatifitas Pasca Lomba Karawitan di RRI

Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta pada tanggal 19-21 Juni 2013 lalu, mengadakan lomba karawitan se-Jawa., bertempat di gedung auditorium RRI Surakarta. Lomba memang telah ditutup, pemenang lomba pun telah diumumkan, namun pergunjingan dan perdebatan di kalangan seniman karawitan masih mengiringi hingga saat ini. Adalah perbedaan perspektif kreativitas dalam dunia karawitan sebagai fokusnya. Tidak hanya santer melalui obrolan langsung, perdebatan juga berlangsung melalui jejaring sosial.

Advertisement

Perlu diketahui bahwa RRI melombakan tiga kategori karawitan yaitu, remaja, putri, dan umum. Materi lomba adalah gending Jawa jenis dolanan yang terbagi menjadi gending wajib dan pilihan. Dari sekian banyak peserta lomba, dipilih juara menurut kategori yang diikuti yaitu: I, II, III, harapan I, dan harapan II. Selain itu juga ada pemenang untuk satu penata gending terbaik.

Animo peserta lomba karawitan RRI cukup menggembirakan. Saat ini karawitan mandiri (klenengan) semakin jarang peminatnya, terutama di seputar Solo. Namun pada saat lomba, di luar dugaan, hampir 60 grup karawitan ikut serta. Jumlah grup pendaftar tersebut membagi diri sesuai minat kategori dan kelengkapan syarat mengikuti lomba. Tercatat para peserta berasal dari daerah-daerah di Jawa Tengah, DIY, dan DKI Jakarta.

Advertisement

Animo peserta lomba karawitan RRI cukup menggembirakan. Saat ini karawitan mandiri (klenengan) semakin jarang peminatnya, terutama di seputar Solo. Namun pada saat lomba, di luar dugaan, hampir 60 grup karawitan ikut serta. Jumlah grup pendaftar tersebut membagi diri sesuai minat kategori dan kelengkapan syarat mengikuti lomba. Tercatat para peserta berasal dari daerah-daerah di Jawa Tengah, DIY, dan DKI Jakarta.

 

Baru

Advertisement

Kebaruan lain dapat ditemukan dari sisi kriteria penilaian, sebagaimana telah disampaikan secara tertulis dan dipertegas secara lisan oleh panitia melalui technical meeting dengan para official lomba, jauh hari sebelum pelaksanaan. Pada lomba-lomba karawitan umumnya, menempatkan skill menabuh gamelan dan kepatuhan terhadap konvensi tradisi, sebagai poin utama penilaian. Berbeda dengan lomba karawitan RRI kali ini, ternyata lebih menekankan penilaian dari sisi inovasi garap karawitan sesuai perspektif selera zaman sekarang. Para peserta diharapkan tidak hanya unjuk kepatuhan terhadap konvensi tradisi, tetapi mempertontonkan kesegaran inovasi garap gending dolanan menurut perspektif masyarakat umum era sekarang. Hanya saja, inovasi tersebut tetap dibungkus dengan estetika kemungguhan (keseuaian) dan kerempegan (kerapihan garap dan kekompakan sajian) menurut koridor karawitan.

 

Perdebatan

Advertisement

Hasil lomba memilih grup Unes Semarang sebagai juara I kategori remaja, Balai Kota Surakarta juara I putri, dan Gembala Nada sebagai juara I kategori umum merangkap Stiyaji yang juga dari grup ini sebagai penata gending terbaik. Diraihnya penyaji terbaik untuk para pemenang, tidak lepas dari keunggulan mereka secara inovasi garap, mungguh, dan kerempegan sajian, sesuai kriteria penilaian lomba. Aspek keunggulan tersebut seperti misalnya tercermin melalui garapan grup karawitan Gembala Nada yang mengemas sajian gending dolanan Glathik Inceng-inceng dan Montor-montor Cilik. Pada penggarapan gending tersebut Gembala Nada menata sajian dengan menampilkan warna vokabuler garap karawitan Banyuwangi, Banyumas, Solo,  Jogja, Sunda,  santisuwaran, musik hip hop dan akapela.

Setelah pengumuman hasil lomba (tanggal 21 malam) dan penyerahan hadiah kepada para penyaji terbaik, mulai muncul pergunjingan masyarakat tentang lomba. Sikap netral dan kompetensi dewan juri dalam menilai, tidak luput dari pertanyaan. Perdebatan pun mulai muncul antara yang pro keputusan juri dan yang menolak. Semua itu terjadi lewat komunikasi langsung dan atau jejaring sosial seperti Facebook dan Black Bary Masangger.

Melalui kabar-kabar burung, sempat berhembus jika salah satu kelompok tertentu menjadi pemenang, lebih karena unsur kedekatan dengan juri. Tentu kabar ini tidak lantas dipercayai. Perlu bukti otentik untuk membenarkan. Cuma disayangkan ketika kabar yang tidak jelas seperti ini, akhirnya berhembus juga. Apakah masyarakat karawitan Solo khususnya, memang gemar berburuk sangka, tanpa dasar bukti yang kuat.

Advertisement

Lepas dari kabar seperti itu, muncul perdebatan terutama lewat jejaring sosial. Menurut mereka yang cenderung konservatif terhadap tradisi lama, menganggap sajian para pemenang telah keluar rel estetika karawitan. Inovasi garap seperti yang diusung grup karawitan Gembala Nada, dianggap terlalu jauh menerjang rambu-rambu pakem tardisional.

Kreativitas

Memang, kelompok pengrawit konservatif sering memandang gending-gending Jawa memiliki konvensi pakem dari leluhur yang tabu untuk dilanggar. Padahal apakah dimengerti atau tidak oleh mereka, pakem lahir dari kreativitas leluhur, yang kemudian dibakukan menjadi konvensi untuk generasi penerus. Kepatuhan terhadap pakem memang juga memiliki sisi baik. Melalui kepatuhan tersebut, garap-garap gending hasil kreativitas leluhur akhirnya dapat terjaga dan terwariskan. Manfaat kepatuhan terhadap pakem lebih-lebih sangat terasa dalam kenyataan transfer pengetahuan masyarakat Jawa yang dahulu lebih mengandalkan budaya tutur. Sifat tutur yang rentan hilang karena tidak tertulis, tentu dapat diminimalisir ketika ada pengakuan tentang pakem.

Namun keteguhan hati menjaga pakem salah-salah juga dapat mempersempit langkah pengrawit untuk bertindak kreatif. Apabila toh ahirnya kreativitas bisa berkembang pada masyarakat yang ketat menjaga pakem, hal itu akan terjadi dengan lambat. Semua itu karena adanya rasa ketakutan berkreativitas dalam diri pengrawit karena bayang-bayang dapat menyalahi pakem.

Padahal sebagai bagian dari kebudayan, kesenian tidak dapat menghindari hukum perubahan yang dibawa oleh pemikiran manusianya sendiri. Pada sisi lain perubahan dalam kesenian akan terjadi ketika muncul kreativitas dalam diri seniman yang lantas diwujudkan dengan sebuah tindakan seni. Apabila kreativitas tidak dapat muncul karena takut melanggar pakem, tentu harapan hidup karawitan semakin pendek seiring dengan perubahan zaman.

Melihat perkembangan zaman yang kian cepat, kurang relevan jika pengrawit Jawa tidak cermat dalam mengkaji pakem. Kecermatan ini diperlukan agar kreativitas karawitan tidak jalan di tempat. Kecepatan perubahan zaman, harus diimbangi dengan kecepatan berkreativitas, sehingga karawitan menemukan roh adi luhung-nya dalam perspektif sekarang.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif