News
Jumat, 28 Juni 2013 - 06:06 WIB

TERORIS TOBAT : Tak Setuju Indonesia Jadi Negara Perang

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mantan teroris yang kini tobat Abdul Rahman Ayub berkunjung ke Griya Solopos, Kamis (27/6/2013). (Agoes Rudianto/JIBI/SOLOPOS)

Mantan teroris yang kini tobat Abdul Rahman Ayub berkunjung ke Griya Solopos, Kamis (27/6/2013). (Agoes Rudianto/JIBI/SOLOPOS)

SOLO — Namanya Abdul Rahman Ayub. Dulu dia adalah petinggi Jamaah Islamiyah (JI). Itulah pasalnya, ia sempat menyandang predikat orang yang paling dicari polisi Australia pascabom Bali I. Namun siapa siapa sangka karena bom Bali I itu pula Ayub bertobat.

Advertisement

Pengakuan itu dipaparkan Abdul Rahman Ayub saat berbincang dengan kru media Grup SOLOPOS di Griya Solopos, Kamis (27/6/2013). Ayub saat itu menyertai rombongan roadshow Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansya’ad Mbai.

Kisah Ayub diawali dengan keterkejutannya saat menyaksikan tayangan berita di layar televisi pada suatu malam, pertengahan Oktober 2002. Asap hitam membumbung tinggi di langit Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002.

Advertisement

Kisah Ayub diawali dengan keterkejutannya saat menyaksikan tayangan berita di layar televisi pada suatu malam, pertengahan Oktober 2002. Asap hitam membumbung tinggi di langit Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002.

Sebuah bom berdaya ledak tinggi menghancurkan Paddy’s Pub dan Sari Club (SC). Lebih dari 200 nyawa melayang. Ratusan orang cedera dan terluka. “Saya sudah menduga, itu pasti ulah Hambali [otak bom Bali I], teman seangkatan saya di Afghanistan ,” ujar lelaki yang akrab disapa Ayub itu.

Ia mengaku sulit melupakan tragedi berdarah di Legian Bali itu. Peristiwa tersebut baginya adalah titik balik dari perjalanan panjangnya sebagai pentolan JI sejak 1984. Alumnus Akademi Militer (Akmil) Mujahidin Afghanistan Kamp Ijtihad Islami Abdul Rasul Sayaf ini mengaku tak setuju jika Indonesia dijadikan negara perang.

Advertisement

Merem Bikin Bom

Ayub bergabung dengan JI ketika masih duduk di kelas II STM Boedi Oetomo Lapangan Banteng Jakarta. Di usia yang 17 tahun kala itu, Ayub ikut pengajian di salah satu masjid daerah Kramat Raya. Dari sanalah, ia mengenal Sulaiman Mahmud, komandan Darul Islam Aceh. Kemudian ia mengenal sejumlah petinggi Jamaah Islamiyah hingga ia dibaiat untuk setia di Solo 1984.

Setahun berikutnya, Ayub menempuh ilmu kemiliteran di Afghanistan selama lima tahun. Di sana, selain jago bertempur melawan Uni Soviet (Rusia), Ayub juga seorang pengajar Akmil para milisi JI pimpinan Osamah Bin Laden. Sejumlah murid-muridnya asal Indonesia yang sudah “terkenal” antara lain Imam Amrozy dan Imam Samodra. Untuk menjadi seorang pengajar, kata Ayub, mereka harus diambil dari murid yang cerdas dan berbakat. Bagi murid yang dianggap kurang cerdas, akan dikembalikan ke tanah airnya. “Nah, Hambali itu pernah dipulangkan ke Indonesia gara-gara dianggap kurang cerdas,” jelasnya.

Advertisement

Soal bertempur dan merakit bom, bagi Ayub sudah bukan hal asing lagi. “Ibaratnya, sambil merem pun, saya bisa bikin bom,” ujarnya tersenyum.

Begitu pun soal doktrin, Ayub bahkan mengaku mampu mencuci otak anak remaja hingga antipati kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya dalam waktu dua jam. Ayub cukup beberkan kepingan fakta sejarah NKRI hingga dalil-dalil agama yang intinya bahwa negara Indonesia ini kafir dan harus diganti. “Apalagi orang awam, dikasih tulisan berbahasa Arab saja langsung dicium-cium. Padahal, bisa jadi itu iklan handphone,” ujarnya.

Lima tahun berikutnya, Ayub bergerak di Sabah, Malaysia. Tepatnya di Sandakan, tak jauh dari Lahad Datu. Di sana, ia menjadi semacam penghubung atau kurir bagi mujahidin yang hendak berlatih ke Moro, Filipina, melalui jalur Malaysia. “Saya pernah mengirim Omar Patek, Abu Tolut dan banyak lagi,’’ ungkapnya.

Advertisement

Lantaran dinilai cukup mahir dalam berdakwah, pada 1997-2002, Ayub lantas ditugaskan petinggi JI ke Australia. Di sana, ia masih menjabat sebagai pentolan Jamaah Islamiyah (JI) divisi kekuatan ekonomi dan politik. Ia juga berdakwah dan memiliki murid cukup banyak. Salah satunya, bernama Jack Roche, imigran asal Inggris yang memeluk Islam karena dakwahnya. “Namun, dia ditangkap polisi lantaran merencanakan pengeboman Kedutaan Israel di Canberra.”

Ayub hidup mapan di Australia. Ia tak boleh bekerja, sebab segala kebutuhan hidupnya dicukupi oleh JI. Uang bulanannya saja saat itu berkisar Rp5 juta/ bulan. Belum uang transport pesawat, dan lain-lainnya. “Akses internet saat itu bagus. Saya sering berdiskusi dengan ulama Madinah sampai akhirnya tercerahkan,” paparnya.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif