Umum
Senin, 10 Juni 2013 - 11:22 WIB

KOLOM : Jokowi dan Pak Harto

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suwarmin, Wartawan SOLOPOS

Suwarmin, Wartawan SOLOPOS

Para pembaca tentu agak kerepotan menghubungkan dua nama ini: Jokowi dan Soeharto-mantan Presiden Indonesia yang akbar disapa Pak Harto. Saya memang agak memaksakan diri. Jokowi jelas bukan pengagum Soeharto. Dalam beberapa kesempatan bertemu, terlihat jelas Jokowi lebih berbau marhaen dari Bung Karno daripada faham ”pembangunan” dari Pak Harto.

Advertisement

Tetapi, saya bukannya tanpa pegangan. Dalam acara Dinamika 103 di Radio SOLOPOS FM, yang disiarkan Sabtu (8/6) pukul 08.00 WIB-08.55 WIB, dalam kurang dari satu jam acara, puluhan warga Soloraya ikut urun rembug. Dalam acara itu, sejumlah warga mengait-kaitkan Jokowi dengan nama Soeharto.

Redaksi radio menawarkan sebuah pertanyaan: enak mana zaman Pak Harto dengan zaman reformasi sekarang ini? Dan jawaban warga sungguh beragam. Sebagian besar menyebut era Pak Harto lebih enak. Para pengagum Pak Harto menyebut di era Orde Baru kebutuhan pokok lebih terjangkau, harga bahan bakar minyak (BBM) tidak pernah naik, adem ayem, korupsi tidak banyak, pemimpin lebih dihormati, sopan santun dan tata krama bernegara dan bermasyarakat lebih terjaga dan Indonesia lebih dihormati negara lain.

Namun, ada juga yang menghujat Pak Harto. Para penghujat mengatakan di era Soeharto bak hidup di moncong singa, banyak korban penculikan yang sampai sekarang tidak kembali, hidup serba cemas dan penumpukan kekuasaan dan kekayaan oleh anteknya sendiri.

Advertisement

Ada pula yang mencoba bersikap bijak, misalnya dengan mengatakan bahwa setiap pemimpin adalah manusia biasa yang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Semuanya berpulang kembali kepada diri sendiri, bagaimana membawa diri. Jika ingin hidup enak, siapa pun pemimpinnya, harus dibayar dengan kerja keras.

Dan inilah dia, ada pula warga yang mengaitkan antara Jokowi dan Pak Harto. Ditanya mana yang lebih enak, era Pak Harto atau reformasi, malah dijawab, “Enak jaman Pak Jokowi….” Warga lain menambahkan,”Pak Harto mirip dengan Pak Jokowi, tokoh spektakuler sekarang ini. Bapak satu ini tau kalangan mana yang harus direngkuh.”

Memang dalam beberapa alur pemikiran kedua nama itu bisa saja didekatkan. Jokowi atau Joko Widodo adalah mantan Walikota Solo yang kini menjadi Gubernur DKI Jakarta. Nama Jokowi saat ini tengah hangat ”digoreng-goreng”, dipoles-poles dan dielus-elus oleh sejumlah kalangan untuk menjadi calon presiden pada 2014 mendatang.

Advertisement

Padahal yang bersangakutan belum tentu sukses memimpin DKI Jakarta, belum tentu mampu menghadapi jaringan mafia tanah sekitar Waduk Pluit, belum tentu lolos dari patgulipat permasalahan DKI yang sudah turun-temurun sambung-menyambung menjadi satu: rumit dan masif.

Jika Jokowi belum tentu bisa jadi calon presiden pada tahun depan, nama yang satu lagi, yakni Haji Muhammad Soeharto atau Pak Harto, adalah presiden dengan masa jabatan terpanjang di negeri ini. Untuk kategori presiden terlama di negeri ini, rasanya tak akan ada tokoh yang akan sanggup melewatinya karena terhalang regulasi.

Kebetulan Soeharto yang dalam istilah para tetua Jawa saat ini sudah jinempana ing angin, cinandhi ing awiyat atau sudah bertempat di angin, berumah di langit, oleh anak cucunya diagungkan dalam acara Pengetan Ageng ke-92 HM Soeharto di Dalem Kalitan, Solo, Sabtu (8/6) malam. Malam pengetan ini dihadiri puluhan ribu warga Solo dan sekitarnya, bahkan ada juga yang berasal dari Semarang, Jogja, Surabaya dan Jakarta.

Terlihat benar masih banyak orang yang mencintai Soeharto. Saat saya bertemu seorang anggota panitia sehari sebelum acara, saat para pekerja tengah sibuk menata tarup, dengan lantang si anggota panitia yang juga seorang pengusaha ini mengatakan dirinya sengaja datang sebagai wujud kecintaan kepada Pak Harto.

Begitulah. Soeharto, seperti halnya Soekarno, selamanya dipandang dari dua kutub seperti itu, positif dan negatif. Ada yang menyanjung, ada yang menghujat, ada pula yang mencoba berdiri di tengah-tengah. Begitu juga dengan Jokowi. Sebagian orang menilai sah-sah saja jika Jokowi dicalonkan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

Sebagian yang lain mengatakan terlalu cepat jika Jokowi maju  jadi capres tahun depan. Bukankah dia harus menyelesaikan dulu pekerjaannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tetapi, momentum belum tentu bisa berulang. Jika tidak tahun depan, jangan-jangan kelak tak ada lagi pintu terbuka untuk Jokowi.

 

Siasat dan Manuver

Sejarah perebutan kekuasaan di negeri kita, bahkan sejak zaman kerajaan tradisional dahulu, selalu sarat dengan intrik dan siasat. Dan kita tak perlu terkejut, selamanya, politik akan diwarnai dengan hal-hal seperti itu: instrik, siasat, manuver, permainan isu dan lain sebagainya. Aturan, kelaziman dan kepatutan hanya ada dalam buku-buku dan upacara, tidak di dalam praktik politik.

Ada intrik racikan Ken Arok di balik kematian Tunggul Ametung. Ada jalur berkelok di balik perpindahan pusat kekuasaan dari Majapahit ke Demak. Ada jalur keturunan yang terputus dan rumit dari Keraton Pajang ke Kerajaan Mataran Islam. Ada dugaan kudeta di balik kemunculan Soeharto di panggung tertinggi kekuasaan negeri ini.

Ada kemelut sosial politik yang luar biasa menjelang tumbangnya kekuasaan Pak Harto. Ada manuver Poros Tengah di balik kemunculan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di kursi kepresidenan pada 1999. Ada manuver kegaduhan politik yang mengatasnamakan kasus Bulog yang mewarnai masa akhir kepemimpinan Gus Dur pada 2001.

Begitulah perputaran kursi kepemimpinan di Tanah Air kita, sangat dinamis dan seolah apa saja bisa terjadi. Di tengah memudarnya ideologi partai-partai politik sekarang ini, pragmatisme menjadi agama bagi koalisi dan perebutan kekuasaan. Dalam kondisi demikian, sungguh rumit menduga apa yang akan terjadi pada peta politik tahun depan.

Calon presiden dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie, boleh setiap hari beriklan tentang pencalonannya sebagai presiden di televisi yang dimilikinya. Calon presiden dari Partai Hanura, Wiranto, juga telah memulai kampanye di televisi milik sekutunya saat ini, Grup MNC. Bos Partai Nasdem Surya Paloh juga semakin sering mondar-mandir di televisi miliknya. Tetapi apakah ada jaminan bahwa merekalah pemain utama perebutan kursi presiden nanti?

Jokowi bisa saja menjadi Soeharto baru, bukan dalam konteks dugaan kudeta, bukan dalam konteks anggapan otoritarian, bukan pula dalam anggapan korup yang sering disangkakan kepada Soeharto. Jokowi bisa saja mengikuti rute politik Soeharto, dalam wujudnya yang berbeda, dengan kecerdikannya yang alamiah dan kesederhanannya yang membius.

Jokowi tak perlu punya televisi. Cukup anak buahnya yang mengunggah video di Youtube. Juga para penggemarnya yang berjejaring di dunia maya, sebuah arus kekuatan politik gaya baru yang mematikan. Selebihnya, popularitasnya akan disantap televisi karena dorongan pasar. Bahkan, tak peduli dia berhasil atau gagal di DKI. Dalam risalah Jawa, panggung kekuasaan mencari orang yang berhak, bukan orang yang mengejar kekuasaan. Wallahu a’lam…(suwarmin@solopos.co.id)

Simak berita menarik lainnya : http://digital.solopos.com/file/11062013/

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif