Kolom
Sabtu, 1 Juni 2013 - 09:30 WIB

GAGASAN : Pendidikan Karakter Tak Butuh Kurikulum

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Marlupi Julianingrum, Perencana Pertama di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS)

Marlupi Julianingrum, Perencana Pertama di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Tengah Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS)

Pendidikan karakter bisa jadi adalah satu-satunya pilihan bagi bangsa ini untuk menuju lepas dari keterpurukan politik, mental, moral dan sebagainya. Pembicaraan dan wacana pendidikan karakter muncul di mana-mana. Strategi dan model dirumuskan banyak orang. Tapi, kenyataannya, hingga kini pendidikan karakter tak jua memunculkan hasil nyata. Pendidikan karakter sebenarnya hanya butuh cara dan strategi yang sederhana: keteladanan

Advertisement

Akhir-akhir ini kita sering dibuat shock dengan pemberitaan di media televisi tentang anak-anak muda yang melakukan ”kenakalan” yang mengarah pada tindak kejahatan. Mulai dari mencuri, merampok, memerkosa, bahkan membunuh dengan alasan yang terkadang tidak terduga.

Sungguh satu ironi karena mereka ada di antara kita. Fenomena persoalan ini saya sebut sebagai fenomena pergeseran moral secara universal, di mana perilaku yang secara psikologis hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa mulai menjalar pada perilaku anak-anak muda yang semestinya perilaku, pikiran, dan jiwa mereka masih terjaga.

Advertisement

Sungguh satu ironi karena mereka ada di antara kita. Fenomena persoalan ini saya sebut sebagai fenomena pergeseran moral secara universal, di mana perilaku yang secara psikologis hanya bisa dilakukan oleh orang dewasa mulai menjalar pada perilaku anak-anak muda yang semestinya perilaku, pikiran, dan jiwa mereka masih terjaga.

Ketika saya sampaikan bahwa ini adalah masalah perilaku, mari kita tengok perilaku para pemimpin bangsa ini. Apa yang telah mereka contohkan kepada anak-anak muda bangsa kita? Banyak tontonan perilaku negatif dari mereka yang kerap muncul di berbagai media seperti tindakan korupsi, membohongi publik, perebutan kekuasaan dan perilaku lainnya yang sangat tidak pantas dipertontonkan di hadapan anak-anak muda. Mengapa? Karena “sandiwara” itu akan memberikan efek yang kuat pada memori anak-anak, dan terutama karena lekatnya pandangan patriarkis di masyarakat kita yang menempatkan orang dewasa sebagai model percontohan hidup bagi anak-anak.

Inilah mengapa Indonesia belum dapat disebut negara hebat, kaya dan maju. Saya sedang tidak membicarakan tentang ekonomi, keberlimpahan sumber daya alam dan penguasaan teknologi tinggi. Yang saya maksudkan dalam konteks ini negara hebat yaitu negara yang memiliki masyarakat dengan attitudes atau perilaku yang hebat.

Advertisement

Melihat kondisi Indonesia yang semakin hari semakin karut-marut ditambah dengan ironi kondisi anak-anak muda kita saat ini, membuat saya berpikir apa hal mendasar yang harus segera diubah dalam sistem kita untuk mengurangi ekses lebih lanjut dari permasalahan ini? Ketika berbicara soal perilaku, yang tergambarkan dalam pikiran saya adalah tentang pendidikan.

Menyoal pendidikan, ternyata pendidikan di negeri ini, saat ini, juga tak menentu. Katakmenentuan itu terlihat dari pelaksanaan Ujian Nasional  yang amburadul hingga menurunnya nilai rata-rata kelulusan pada semua level pendidikan. Selain itu, ditambah dengan kinerja birokrasi di bidang pendidikan yang tidak optimal. Sudah saatnya orientasi pendidikan di Indonesia berubah. Indikator yang selama ini menjadi acuan keberhasilan pendidikan di Indonesia ternyata tidak menyelamatkan nasib anak-anak Indonesia menuju keberhasilan.

Angka partisipasi sekolah dan angka-angka lainnya yang ditetapkan pemerintah ternyata tidak memberikan dampak perkuatan karakter anak-anak, remaja dan generasi muda. Inilah kemudian yang memunculkan kegamangan di pemikiran saya, apakah hanya dengan indikasi peningkatan angka partisipasi sekolah cukup untuk mengantarkan anak-anak kita memiliki perilaku yang baik dan hebat serta berkarakter sebagai bekal menuju kesuksesan mereka?

Advertisement

Berdasarkan pengamatan empiris yang saya lakukan, hasil yang saya dapatkan adalah kurikulum pendidikan di Indonesia tidak mengedepankan pendidikan karakter sebagai basis pembentukan kepribadian anak-anak. Yang terbangun selama ini dalam lingkungan sekolah, terutama pada sekolah yang tergolong ”favorit”, yang ditekankan pada anak-anak adalah pendidikan kognitif belaka. Bahkan, dengan gamblang menunjukkan kuatnya atmosfer kompetitif di sana.

Ini diperparah dengan ikut campurnya orangtua yang mendorong anak-anak mereka berkompetisi dalam konteks nilai berwujud angka dengan teman-teman mereka di sekolah. Sungguh menyedihkan saat mengetahui ketidaksadaran orang tua pada titik ini. Jika Indonesia bercita-cita menjadi negara hebat dan kaya, reorientasi pendidikan terutama pada level pendidikan dasar sebagai fondasi untuk perbaikan perilaku generasi muda Indonesia menjadi sangat penting dan harus segera diterapkan. Pendidikan ini yang disebut pendidikan karakter dan budaya.

Pendidikan ini meliputi beberapa langkah pembentukan sikap yang dapat ditanamkan kepada anak-anak di sekolah, yaitu etika sebagai prinsip dasar pendidikan karakter; bertanggung jawab; penghormatan terhadap hak orang lain; taat terhadap aturan dan hukum; integritas tinggi; pekerja keras, detail dan penuh hati-hati; disiplin tinggi; berkemauan yang tinggi untuk menjadi lebih baik; pandai berinvestasi untuk menjamin masa depan yang lebih baik, dan diperkuat dengan pemahaman keimanan yang tinggi.

Advertisement

 

Keimanan dan Ketuhanan

Sepuluh hal ini yang semestinya diberikan kepada anak-anak sejak di pendidikan dini dan pendidikan dasar sebagai bekal utama mereka dalam menghadapi realitas masa depan. Bagaimana menerapkannya? Tidak perlu terlalu menjelimet, tidak perlu bersusah payah dan tidak perlu dengan menyusun kurikulum yang menghabiskan anggaran negara ratusan miliar.

Cukup sederhana bila mengadaptasi pola seperti yang dilakukan di negara-negara maju, yaitu dengan memberikan contoh perilaku dan karakter yang baik dari setiap pendidik dan orang tua atau memberikan penghargaan sederhana kepada anak-anak yang telah mampu berperilaku positif di sekolah sebagai reward atas diri mereka. Dua hal sederhana ini rasanya cukup untuk menjadi media pembelajaran bagaimana membangun karakter p anak-anak kita di sekolah.

Pendidikan agama juga masih menjadi kunci penting bagi pendidikan dini dan pendidikan dasar di Indonesia. Hanya saja, mestinya ada sedikit perluasan pemahaman dan pengajaran tentang bagaimana mendidik keimanan anak-anak kita di sekolah. Bukan hanya memberikan pengetahuan tentang Tuhan, nabi, agama, serta doa-doa, tetapi harus diterjemahkan lebih luas tentang ketuhanan itu sendiri.

Yang dihasilkan kemudian bukan hanya anak-anak yang hafal dan bisa beribadah sesuai ajaran agama mereka, tetapi juga mampu mendalami dan menerapkan konsep keimanan dan ketuhanan di hidup keseharian mereka. Bukan berarti pendidikan kognitif dikesampingkan, tetapi saya mengajak para pihak yang peduli terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak memberikan pendidikan yang berkarakter kepada mereka sejak dini.

Persiapkan diri anak-anak kita dengan bekal perilaku yang positif dan berkarakter kuat sebagai anak Indonesia. Ini bukan hanya untuk kemajuan bangsa menjadi bangsa yang kaya dan hebat, tetapi lebih kepada memberikan bekal kuat kepada mereka untuk suatu saat kelak mereka menghadapi realitas hidup dengan baik dan akhirnya berhasil menjadi manusia paripurna. (marlupijulian@gmail.com)

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif