News
Jumat, 24 Mei 2013 - 18:01 WIB

PILGUB NTT : Tadinya Berpasangan, Perubahan Politik Bikin Frans dan Esthon Jadi Berhadapan

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Esthon L Foenay (kiri) dan Frans Lebu Raya duduk bersama dalam sebuah kesempatan. Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013 itu kini berhadapan sebagi rival dalam Pilgub NTT. (nttterkini.com)

Esthon L Foenay (kiri) dan Frans Lebu Raya duduk bersama dalam sebuah kesempatan. Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013 itu kini berhadapan sebagi rival dalam Pilgub NTT. (nttterkini.com)

KUPANG – Menilik kembali jalannya proses pemilihan gubernur (Pilgub) di Nusa Tenggara Timur, yang saat ini masih menjalani tahapan rekapitulasi perolehan suara, sebenarnya dua kandidat gubernur yang berhadapan dalam pemungutan suara tahap kedua ini adalah sahabat dan mitra kerja.
Advertisement

Frans Lebu Raya, 53 dan Esthon L Foenay, 63, adalah petahana (incumbent) Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013. Masa bakti mereka baru akan berakhir pada Juni 2013. Namun dalam Pilgub ini Frans Lebu Raya berpasangan dengan Benni Alexander Litelnony dengan semboyan politiknya “Frenly”. Pasangan ini diusung PDI Perjuangan, PPP, PKB, PKS dan Hanura dalam ikatan Koalisi Kebhinekaan. Esthon L Foenay berpasangan dengan Paul Tallo. Mereka diusung Partai Gerindra dan Partai Damai Sejahtera (PDS).

Dalam pilkada putaran pertama pada 18 Maret 2013, tidak ada satu pun pasangan calon yang meraih suara terbanyak di atas 30 persen, sehingga sesuai ketentuan, KPU sebagai penyelenggara pemilu wajib menetapkan dua pasangan calon peraih suara terbanyak pertama dan kedua untuk maju dalam pilkada putaran kedua. Pasangan “Frenly” meraih 681.273 suara atau sekitar 29,80 persen dari 2.270.094 total suara sah, sedang pasangan Esthon-Paul berada di urutan kedua dengan mengumpulkan 515.836 suara atau sekitar 22,56 persen dari total suara sah.

Advertisement

Dalam pilkada putaran pertama pada 18 Maret 2013, tidak ada satu pun pasangan calon yang meraih suara terbanyak di atas 30 persen, sehingga sesuai ketentuan, KPU sebagai penyelenggara pemilu wajib menetapkan dua pasangan calon peraih suara terbanyak pertama dan kedua untuk maju dalam pilkada putaran kedua. Pasangan “Frenly” meraih 681.273 suara atau sekitar 29,80 persen dari 2.270.094 total suara sah, sedang pasangan Esthon-Paul berada di urutan kedua dengan mengumpulkan 515.836 suara atau sekitar 22,56 persen dari total suara sah.

Posisi ketiga diraih pasangan Ibrahim Agustinus Medah-Melkiades Lakalena 514.173 suara atau 22,48 persen dari total suara sah, menyusul pasangan independen Christian Rotok-Abraham Paul Liyanto (CristAl) 332.569 suara (14,54 persen), dan nomor urut terakhir diraih pasangan Benni Kabur Harman-Willem Nope 242.610 suara (10,61 persen).

Dalam Pilgub lima tahun lalu, Frans-Esthon dengan simbol politiknya “Fren” pada pilkada lima tahun lalu, memiliki ikatan emosional yang sangat kuat. Pasangan ini sebenarnya tidak harus “bercerai”, namun karena ada perubahan politik di tingkat nasional, khususnya di tubuh Partai Gerindra, Esthon yang juga Ketua DPD Partai Gerindra NTT itu terpaksa memilih jalan sendiri, dan harus meninggalkan Frans Lebu Raya dalam keadaan terpaksa.

Advertisement

Frans yang sangat mengharapkan agar “Fren Jilid II” dilanjutkan bersama Esthon L Foenay, akhirnya harus putus di ujung jalan. Dengan nada merendah, Frans hanya bisa mengatakan “Saya ditinggalkan Pak Esthon…”. Frans yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan NTT itu tampak cukup kecewa. Namun, sebagai seorang politisi, Frans tidak kehilangan akal, tetapi langsung mencari calon penggantinya tatkala Esthon secara santun menyatakan sikap politiknya secara resmi kepada Frans Lebu Raya untuk berpisah dengannya. Frans pun berhasil meminang Benni Alexander Litelnony sebagai pendampingnya.

Benni Litelnony, 57, yang masih menjabat sebagai Wakil Bupati Timor Tengah Selatan (TTS) saat itu, langsung menerima pinangan tersebut, ketika Frans Lebu Raya bersama keluarga besar Lamaholot mendatangi kediamannya di SoE, ibu kota Kabupaten TTS. Mereka pun langsung bersepakat menggunakan simbol “Frenly” sebagai sandi politiknya.

Esthon pun langsung membanting stir untuk mencari calon pendampingnya. Dia akhirnya berhasil meminang Paul Tallo, 62, seorang pekerja pariwisata yang selama ini mengembangkan bisnisnya di Bali. Paul pun menerima pinangan tersebut, dan bergandengan dengan Esthon untuk maju dalam perhelatan politik Pilkada NTT periode 2013-2018.

Advertisement

Selalu Serasi
Selama hampir lima tahun memimpin wilayah provinsi kepulauan ini, Frans dan Esthon praktis tidak “ribut” seperti pasangan calon lainnya yang hanya ribut soal pembagian proyek dan komisi-komisinya, serta berbagai persoalan politik dan sosial lainnya yang membuat pasangan tersebut selalu menjadi “tidak mesra”.

Hal ini tidaklah demikian bagi pasangan Frans dan Esthon. Mereka tetap membangun kemesraan dengan saling melempar senyum dan tawa kepada siapapun serta selalu berangkulan satu sama lain, meski sudah menjadi “musuh” politik dalam arena pilkada NTT. Ketika berlangsungnya simulasi pengamanan Pilkada NTT putaran kedua di Polda NTT, Selasa (21/5/2013), Frans dan Esthon tetap saling berangkulan dan berpelukan satu sama lain, sehingga membuat hadirin pada saat itu tercengang.

“Kita boleh ‘bermusuhan’ dalam politik, tetapi di dalam Tuhan, kita bersaudara,” ujar Esthon.

Advertisement

Gambaran kemesraan yang ditunjukkan dua sahabat lama yang tinggal menghitung detik akan bertempur di arena Pilkada NTT putaran kedua itu, menjadi sebuah inspirasi kuat bahwa masyarakat NTT akan menerima hasil pilkada dengan lapang dada, artinya siapa yang terpilih, dialah figur terbaik untuk memimpin NTT lima tahun ke depan.

Gubernur Frans Lebu Raya meminta masyarakat untuk tetap menjaga suasana damai menjelang dan sesudah pelaksanaan Pilkada Gubernur NTT putaran kedua pada 23 Mei 2013. “Suasana damai ini perlu terus dijaga agar jalinan persaudaraan dan kekeluargaan yang sudah terbangun selama ini tetap terpelihara, meski pilihan politik kita berbeda,” katanya dan menambahkan pilkada hanya berlangsung lima tahun sekali, sementara hubungan persaudaraan berlangsung untuk selama-lamanya.

“Hari ini, kita boleh berbeda pilihan politik, tetapi tali persaudaraan dan kekeluargaan itu tidak boleh putus hanya karena perbedaan politik yang sifatnya sesaat,” katanya menegaskan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif