Kolom
Jumat, 24 Mei 2013 - 11:32 WIB

GAGASAN : Peradaban Islam Tergantung Pendidikan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 Azyumardi Azra dalam ceramah umum tentang PTAIN dan Masa Depan Peradaban Islam di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta, Senin (20/5), mengatakan suatu peradaban sangat bergantung pada bagaimana sistem pendidikan diselenggarakan. Azyumardi menegaskan peradaban Islam akan tegak bila pendidikannya baik dan dengan tepat memberikan respons terhadap perubahan-perubahan sosiokultur di masa depan.

Azyumardi optimistis dengan pendidikan Islam di Indonesia karena telah mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan modernitas. Telah disadari bahwa umat Islam Indonesia menampilkan ciri Islam yang lebih moderat, lebih multikultural dan sangat terbuka. Pengakuan ini diberikan bukan saja oleh para intelektual domestik tetapi juga para pengamat mancanegara. Islam di sini telah teruji selama berabad-abad dalam interaksinya dengan tradisi, jiwa dan seluruh gerak sejarahnya.

Advertisement

Selama masa pergulatannya dengan budaya Nusantara, Islam sangat akomodatif dan mampu memperkaya ide-ide abadi dan universal yang dimiliki bangsa kita. Karena itu, warna Islam di sini lebih mampu menyerap perubahan, kemajuan dan sigap dalam adaptasi. Tentu saja, watak terbuka ini tidak muncul tiba-tiba. Ada sekelompok elite, lembaga-lembaga agama dan kearifan yang ikut memainkan peran.

Ada rentang waktu panjang yang sangat dinamis di dalam memberikan respons-respons. Mereka adalah lembaga-lembaga pendidikan (madrasah, pondok pesantren, majelis taklim dan para ulama). Di masyarakat Indonesia kontemporer, peran-peran itu lebih dinamis, terutama, karena merebaknya arus generasi baru Islam yang memasuki perguruan tinggi Islam seperti IAIN, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN).

Advertisement

Ada rentang waktu panjang yang sangat dinamis di dalam memberikan respons-respons. Mereka adalah lembaga-lembaga pendidikan (madrasah, pondok pesantren, majelis taklim dan para ulama). Di masyarakat Indonesia kontemporer, peran-peran itu lebih dinamis, terutama, karena merebaknya arus generasi baru Islam yang memasuki perguruan tinggi Islam seperti IAIN, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN).

Apa artinya? Dengan lahirnya elite-elite muslim produk lembaga pendidikan tinggi Islam, konsep-konsep utama tentang Islam banyak ditulis oleh mereka. Warna dan watak keislaman menjadi lebih hidup, lebih berenergi dan menyajikan suatu idiom-idiom modern yang lebih cair serta mudah dimengerti. Konsep Islam tidak lagi eksklusif, menakutkan, elitis dan kolot. Islam pun mampu berdialog dengan peradaban-peradaban lain tanpa sikap inferiority complex. Di sinilah elite-elite intelektual seperti Mohamad Natsir, HM Rasyidi, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Gus Dur, Amien Rais, Azyumardi Azra—untuk menyebut beberapa nama—dianggap berjasa dalam mengemas Islam secara cair, modern dan inklusif.

Isu-isu sensitif dan kompleks tentang relasi Islam dan negara, kekuasaan, hak asasi manusia (HAM), demokrasi, lingkungan hidup dan lain-lain bisa dijelaskan dengan sangat baik oleh mereka dan hasilnya adalah mencairnya kegamangan serta ketegangan. Perbedaan tak lagi selalu menimbulkan perpecahan dan konflik horizontal. Bahkan disadari sebagai sebuah keniscayaan yang justru positif untuk memunculkan konsensus-konsensus. Fakta-fakta inilah, saya kira, bisa menjadi pilar-pilar bagi lahirnya peradaban yang lebih harmonis di masa depan.

Advertisement

Percikan Kecil

Radikalisme, terorisme dan kekerasan atas nama Tuhan memang masih ada dan muncul dari kalangan umat Islam. Tapi, hal itu bukan tumbuh secara organik dari tradisi umat Islam Indonesia. Akar-akar radikalisme Islam di sini lebih sering berasal dari kemiskinan, ketidakadilan, masalah Timur Tengah dan faktor-faktor politik lainnya yang dibalut ajaran-ajaran yang sudah dikerangkeng menurut tafsir pilihannya. Dalam arti ini, Islam digerakkan dalam kerangka pemenuhan rasa adil dan pemenuhan hasrat ketidakpuasan pada suatu rezim dan atau ketidakadilan internasional pada dunia Islam.

Saya yakin bahwa radikalisme Islam bukanlah pandangan umum. Radikalisme hanyalah anomali dan hadir di sekelompok kecil umat Islam yang dipenuhi kekecewaan. Jika mereka memperoleh kesempatan pendidikan, pekerjaan, dan akses sosio-budaya yang baik, mereka akan lebih rasional dan toleran. Radikalisme Islam, karena itu, bukanlah artikulasi iman, tetapi artikulasi dari hasrat politik-ekonomi yang tak tersalurkan.

Advertisement

Radikalisme hanyalah percikan kecil dan pencegahannya harus strategis, yakni mencabut akar-akarnya melalui perbaikan kesejahteraan, pendidikan, pekerjaan dan kesempatan penyaluran hasrat sosio-budaya lainnya. Meski begitu, percikan-percikan itu merupakan keniscayaan dan membantu munculnya pemikiran berupa pemecahan komprehensif. Dalam jangka panjang, pemikiran-pemikiran yang melawannya akan menyusun sebuah mosaik peradaban. Agar peradaban berjalan lebih baik dan multikultural, gerakan pendidikan menjadi pilihan yang strategis.

Itulah sebabnya, peradaban Islam—sebagaimana hukum besi peradaban—tersusun dari hal-hal yang bersifat oposisi biner: antara konflik-konsensus, perang-damai, positif-negatif, kanan-kiri dan lain-lainnya. Produk dari oposisi biner itu adalah munculnya respons-respons, ide-ide dan tindakan besar yang berguna bagi bahan baku peradaban.

 

Advertisement

Daya Hidup

Seiring harapan dunia pada umat Islam Indonesia, diperlukan gerakan pendidikan sebagai cara mengefektifkan laju peradaban Islam di masa depan. Konsep-konsep pendidikan Islam yang holistik perlu dirumuskan untuk menyangga roda peradaban. Pendidikan Islam harus dibaca sebagai keseluruhan usaha sadar yang meliputi matra-matra jasmani-rohani, dunia-akhirat, sekuler-spiritual dan lain-lain.

Dalam konteks argumen ini, pendidikan Islam bukanlah enkapsulasi atau pengucilan diri dari gemuruh dan kenyataan-kenyataan sosial. Ia tidak berada di menara gading menatap langit-langit Tuhan tanpa menyentuh bumi. Bukan pula hanya menyangkut perkara kematian dan pahala, tetapi menyangkut keseluruhan dimensi yang menopang kehidupan di muka bumi.

Dalam konteks Indonesia, pendidikan Islam mencakup pula keharusan untuk memakai nilai-nilai, jiwa-rohani dan kearifan-kearifan bangsa. Sebagai individu, sesungguhnya, kita memiliki tiga identitas: sebagai warga negara dan sebagai bagian dari suatu komunitas agama serta etnis. Tiga identitas ini bukanlah pembagian diametral, tetapi pembagian yang bersifat integratif.

Saya kurang setuju kalau pendidikan Islam hanya dibatasi dalam kotak tertentu, yakni berfokus pada kepentingan sektarianisme: menonjolkan mazhabnya dan mencaci yang lainnya. Pendidikan semacam ini mirip “cagar budaya” yang melestarikan paham-paham sektarian dan tidak mendorong munculnya nalar kritis yang berguna bagi pengembangan peradaban.

Moeslim Abdurrahman, seorang cendekiawan muslim, pernah mengusulkan perlunya pengajaran Islam dengan pendekatan ”perspektif”. Misalnya, mengajarkan Alquran dalam perspektif sejarah, perspektif sains, perspektif sosiologis, perspektif kebangsaan dan perspektif-perspektif lainnya. Pendekatan ini dianggap mampu mengulang keunggulan di masa depan sebagaimana dulu pernah terjadi dalam perjumpaan dengan peradaban helenistik.

Catatan-catatan sejarah dengan sangat jelas menunjukkan bahwa elan vital peradaban Islam awal dibangun melalui gerakan pendidikan. Orang-orang Islam awal dengan penuh minat tinggi menyerap secara kritis peradaban Yunani-Romawi-Persia. Hasilnya adalah akumulasi ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi jembatan bagi kebangkitan Eropa modern. Tak salah jika cendekiawan Barat, Bernard Lewis, menyatakan Islam adalah transmitter bagi peradaban Barat modern.

Bagaimana sekarang? Peradaban berkembang seperti kelopak bawang. Kulit luar menua dan kulit dalam atau tunas mekar dengan semangat muda. Namun, deoxyribonucleic acid (DNA) tetap tak berubah. Jika dulu peradaban Islam maju dan sekarang rontok, menurut saya, itu belum menjadi kiamat. Setelah menua akan disusul kelahiran baru.

DNA dan tunas-tunas muda Islam masih memiliki semangat tumbuh untuk melanjutkan peradaban yang pernah berjaya selama berabad-berabad. Tentu saja ini hanya akan terjadi jika nyawa peradaban—akni pendidikan—diusahakan dengan sangat baik dan terus tajam melihat tanda-tanda zaman di masa depan. (mudhofir1527@gmail.com)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif