Kolom
Kamis, 23 Mei 2013 - 09:09 WIB

GAGASAN : Jawa dan Modernitas

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo

Para calon gubernur Jawa Tengah menggoda publik dengan bahasa Jawa. Spanduk dan baliho bertebaran di kota dan desa, menggunakan bahasa Jawa untuk menampilkan kejawaan dan politik membujuk. Bahasa Jawa diperalat demi kekuasaan, dicantumkan untuk mata politik dan ilusi kejawaan di abad XXI.

Advertisement

Bahasa Jawa dianggap sanggup menebar sihir politik agar publik memilih, mengumbar makna tak merujuk ke persepsi politik modern atas bahasa Jawa. Kita telanjur melihat dan mengonsumsi bahasa Jawa dalam hajatan demokrasi di Jawa Tengah. Bahasa seolah pudar maknanya, sirna dari pesona kesejarahan dan adab.

Kita perlu menelisik perbedaan penggunaan bahasa Jawa ke sejarah Boedi Oetomo (1908) dan arus modernitas di Jawa. Para murid di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) akrab berbahasa Belanda, bahasa ilmu dan bahasa untuk menggapai profesi modern: dokter. Penguasaan bahasa penjajah jadi keharusan, modal mengubah nasib. Mereka pernah tumbuh di keluarga-keluarga ningrat, hidup di situasi kejawaan.

Sekolah modern mengantar mereka perlahan meninggalkan bahasa Jawa, bergerak ke bahasa Belanda untuk menjadi kaum modern. Pilihan berlatar politik, ekonomi, kultural mengakibatkan mereka mengalami keterasingan dengan Jawa sebagai bahasa, tema, pandangan hidup, adab, kosmologi.

Advertisement

Soetomo berkeinginan agar Boedi Oetomo menjadi lentera pencerahan di Jawa. Ambisi-ambisi ”kemadjoean” dan kemodernan mesti dijalankan dengan pendidikan dan amalan-amalan sosial-kultural. Bahasa jadi perkara genting saat Boedi Oetomo ingin berpihak ke kaum krama. Mereka memerlukan bahasa Jawa, mengomunikasikan ide-ide sesuai bahasa milik kaum tradisional di Jawa.

Para murid di STOVIA telanjur hidup dengan bahasa Belanda, berpikir dan bertindak merujuk ke struktur bahasa penjajah. Kerepotan muncul saat ingin berperan bagi ”kaum krama”, mengajak  ke transformasi berpijak pendidikan dan adab. Mereka seolah ada di persimpangan jalan: menjadi Jawa atau menjadi modern.

Soeradji tampil sebagai juru bicara. Kompetensi dan kefasihan berbahasa Jawa membuat Soeradji berperan mengomunikasikan berbagai ide ke publik Jawa (Imam Soepardi, 1951). Boedi Oetomo pun masih mengesankan kejawaan meski ”berbaju” modern. Kita sering mengenang dilema Boedi Oetomo adalah dilema bahasa. Kaum radikal di Boedi Oetomo justru ”bertikai” mengenai pilihan bahasa untuk menjalankan agenda modernisasi di Jawa.

Advertisement

Soewardi Soerjaningrat selaku propagandis masih moderat, menggunakan bahasa Jawa, Belanda dan Melayu dalam komunikasi publik dan tulisan. Tjipto Mangoenkoesoemo menghendaki misi pendidikan oleh Boedi Oetomo mesti berbahasa Belanda, berpamrih agar Jawa lekas modern. Soetomo juga terjerat dalam dilema. Kebijakan organisasi dan biografi para penggerak Boedi Oetomo turut membuat bahasa Jawa hampir tersingkirkan di arus ”kemadjoean”.

Soetomo tampil untuk menempatkan bahasa Jawa di laju modernisasi dengan meninggalkan warisan Panjebar Semangat, majalah berbahasa Jawa. Soetomo juga meninggalkan buku berjudul Poespa Rinontje (1938), kumpulan esai berbahasa Jawa. Boedi Oetomo rikuh menggunakan bahasa Jawa tapi ingin meniti kemodernan.

Episode dilematis dialami di masa awal sampai 1930-an. Boedi Oetomo cenderung memilih bahasa Melayu ketimbang bahasa Jawa dalam propaganda pendidikan, politik, adab. Kejawaan memang tak hilang tapi tersajikan dengan ”bahasa modern”. Kita bisa membaca terbitan majalah Boedi Oetama edisi 4 dan 5, April-Mei 1933.

Majalah ini berbahasa Melayu, hadir sebagai bentuk peringatan 25 tahun Boedi Oetomo. Penggalan sejarah Boedi Oetomo dimuat untuk ingatan: … kita bangsa Indonesia haroes mempoenjai perkoempoelan, jang memikirkan keselamatan dan kemadjoean tanah Djawa dan Madoera. Misi ”kemadjoean” diperlambangkan melalui pilihan bahasa. Mereka tetap ingin menjadi Jawa meski berbahasa Melayu dan Belanda. Akira Nagazumi (1989) mengutip tentang perselisihan memilih bahasa dalam terbitan Boedi Oetama. Bahasa Melayu dipilih dengan alasan keuangan produksi dan keterjangkauan pengaruh di kalangan terpelajar Jawa.

 

Lawas

Bahasa Jawa di masa pergerakan atau ”zaman bergerak” memang jarang digunakan untuk propaganda politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kultural. Bahasa Melayu dan Belanda dianggap memiliki roh menggerakkan ”kemajoean”. Bahasa Jawa justru dianggapa bahas lawas, kolot, feodal, lesu. Kaum intelektual Jawa meniti jalan kemodernan di sekolah, berbahasa Belanda untuk menganut alam pikiran modern. Bahasa Jawa mirip slilit dalam lakon modernitas di Jawa.

Ingatan nasib bahasa Jawa dalam pendirian dan pertumbuhan Boedi Oetomo adalah referensi untuk menilai siasat calon para penguasa di Jawa Tengah. Penggunaan bahasa Jawa dalam membujuk publik mengesankan propaganda berpamrih ”keuntungan” mengumpulkan suara. Kita bercuriga mereka tak memiliki latar ideologis-historis dalam penggunaan Jawa, bahasa untuk berpolitik. Mereka cuma ”memperalat” bahasa Jawa, disajikan demi hasrat kekuasaan.

Slogan-slogan berbahasa Jawa itu hadir di publik sebagai bahasa politik meski picisan. Kita patut bercuriga mengenai peran para calon penguasa itu dalam mengurusi bahasa Jawa merujuk ke ranah pendidikan dan kultural. Mereka tampak tak berminat mengajukan program kebahasaan, tak peka mengurusi bahasa Jawa dalam pemberlakuan kurikulum terbaru.

Boedi Oetomo adalah rujukan dilema kebahasaan untuk modernisasi di Jawa. Kebingungan di zaman bergerak dijawab oleh Soetomo dan Ki Hadjar Dewantara. Soetomo terus berpropagada tentang signifikansi pendidikan dan penerbitan bacaan bagi publik berbahasa Jawa.

Ki Hadjar Dewantara pernah jadi tokoh propaganda di Boedi Oetomo meski cuma sekejap. Tokoh politik dan pendidikan itu masih terus menempatkan bahasa Jawa di agenda-agenda pendidikan, memilih bahasa Jawa sebagai representasi adab kejawaan. Misi ”kemadjoean” atau modernisasi tetap dijalankan tapi tanpa meninggalkan bahasa Jawa.

Peran Soetomo dan Ki Hadjar Dewantara tak terwarisi oleh para calon penguasa di Jawa. Kita bisa menduga bahwa mereka kerepotan berbahasa Jawa dalam pamrih memajukan Jawa Tengah. Komunikasi politik cuma memperalat bahasa Jawa, menaruh di spanduk dan baliho tanpa pemaknaan kultural.

Kita termangu saat menatap bahasa Jawa cuma tampilan demi menjajakan janji-janji ilusif. Politik telah menempatkan bahasa Jawa di telapak kaki para penguasa. Kita terluka jika bahasa Jawa adalah alat menjajakan diri berpamrih jabatan. Kesejarahan bahasa Jawa di Boedi Oetomo menjadi rujukan untuk meragukan kompentensi calon penguasa dalam pemaknaan bahasa Jawa di abad XXI, abad bergelimang idiom modernitas. (bandungmawardi@yahoo.co.id)

 

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif