Redaksi Solopos.com / R. Bambang Aris Sasangka | SOLOPOS.com
Kepada Solopos.com Kades Sindon, Supardi, 65, mengatakan banyak warganya di Dukuh Ngrembun dan Lemahbang yang terletak di sebelah utara tol bekerja sebagai penjual sayur dengan menggunakan bronjong. “Kalau menggunakan jembatan layang, saya kasihan pada mereka, apalagi yang memakai sepeda. Tinggi jembatan itu mencapai 4,5 meter dan sementara ini tanah yang dibebaskan di sebelah utara dan selatan calon jembatan hanya sempit. Nanti sudut naiknya terlalu curam, berbahaya,” papar dia.
Karena itu dia lebih memilih underpass ketimbang jembatan penyeberangan. Namun, dia juga meminta agar underpass yang dibangun bisa mengakomodasi melintasnya truk. Menurutnya, petani di wilayah utara tol akan kesulitan mendistribusikan hasil panen kalau tidak ada truk yang melintasi daerah itu.
“Saya sudah bertemu dengan pejabat pembuat komitmen (PPK) Tol Soker yang baru. Mereka sudah menyetujui usul tersebut. Kami menunggu kontraktor yang nanti akan menggarap. Mungkin Juni proyek akan dimulai kembali,” kata dia.
Ketua RT 002/RW 006, Dukuh Ngrembun, Sindon, Slamet Harjono, 41, membenarkan aspirasi masyarakat yang ingin dibuatkan underpass, bukan jalan layang. Sementara ini, kata dia, belum dibangun apapun di lokasi perlintasan tol di Ngrembun.
“Para pengrajin mebel dari Dukuh Sanggrahan, Desa Potronayan, Nogosari, Boyolali yang ada di sebelah utara desa ini juga sering memanfaatkan jalan yang ada di Dukuh Ngrembun ini untuk mengangkut hasil kerajinan mereka ke Solo dan sekitarnya. Tetapi, kalau nanti underpass-nya tingginya hanya dua meter, lebih baik lewat jalan layang agar truk bisa lewat,” ujar dia.