Kolom
Selasa, 14 Mei 2013 - 09:30 WIB

MIMBAR KAMPUS : Otoritas Guru dan Kemerdekaan Murid

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Beyrul Anam, Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Institut Agam Islam Negeri Surakarta Pembelajar di Bilik Literasi

Beyrul Anam, Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Institut Agam Islam Negeri Surakarta Pembelajar di Bilik Literasi

Sungguh pendidikan di Tanah Air kita mengalami fase kegilaan dengan hadirnya dehumanisasi terhadap murid, seperti kegelisahan guru mengejar target mata pelajaran yang terkurikulum atau karantina murid tingkat sekolah dasar hanya demi menghadapi ujian nasisonal.

Advertisement

Guru-guru di negari ini seakan lupa dengan semboyan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayaniyang secara simpel berpaham bahwa guru hendaknya berjuang dengan teladan, motivasi dan dukungan. Namun, yang terjadi adalah bahwa bangsa Indonesia hanya mengedepankan tut wuri handayani (coba lihat topi upacara hari Senin dari tingkat SD-SMA). Artinya, kita sebagai pendidik hanya bisa omong doang, tanpa mampu memberi teladan dan motivasi.

Pendidikan di Indonesia hanya mampu memberi satu warna untuk potensi-potensi yang sebenarnya berjumlah ribuan bahkan jutaan di negeri ini. Gambaran negeri ini ibarat berbagai macam binatang yang sedang berlomba panjat pinang. Tanpa bisa diragukan lagi pemenangnya adalah monyet. Gajah, harimau atau kelinci tidak berpotensi sebagai pemanjat ulung.

Advertisement

Pendidikan di Indonesia hanya mampu memberi satu warna untuk potensi-potensi yang sebenarnya berjumlah ribuan bahkan jutaan di negeri ini. Gambaran negeri ini ibarat berbagai macam binatang yang sedang berlomba panjat pinang. Tanpa bisa diragukan lagi pemenangnya adalah monyet. Gajah, harimau atau kelinci tidak berpotensi sebagai pemanjat ulung.

Pendidikan di negeri ini mulai termakan nalar ekonomistik yang hanya memprioritaskan dunia kerja sebagai niat awal bagi bibit-bibit bangsa menuntut ilmu. Ditambah lagi prioritas kaum mayoritas yang selalu menjejalkan ideologi dan berusaha meminggirkan ideologi kaum-kaum tertindas yang selalu hidup dalam dialektika antitesa entitas yang lebih besar (Paulo Freire, 1985:19).

Kegelisahan para guru dalam mengejar target mata pelajaran hanya mencipta kemarahan yang tak terbendung hingga menyebabkan tindakan ringan tangan terhadap murid dan secara terpaksa seorang guru yang ringan tangan harus dipindahtugaskan. Kesemena-menaan pihak sekolah terhadap pengarantinaan murid demi pencitraan nama baik sekolah dengan dalih keintensifan belajar murid telah merenggut kemerdekaan dan mematikan imaji polos anak-anak.

Advertisement

Tut wuri handayani yang selalu dicomot tanpa penyeimbangan dari dua falsafah sebelumnya  menyebabkan pikiran siswa mati dan berlaku inlander. Wujud saja yang merdeka namun pikiran tetap terobotkan. Ketimpangan ini membangun pola pikir bahwa pendidikan adalah sesuatu yang harus akademis. Padahal, pendidikan adalah tindak laku kehidupan manusia yang bukan sekadar menilik prestasi akademis, tapi juga religiositas, kemanusiaan dan kepedulian terhadap jagad raya (H Rohmat, 2010: 80)

Homogenisasi hanya menimbulkan egoisme kaum terbesar meninggi dan menciptakan dehumanisasi entitas-entitas alit. Anggapan Darwin tentang manusia adalah keturunan kera semakin menerang karena pendidikan hanya bertumpu pada sentralisasi satu pohon, padahal semesta juga meliputi: prairi, sahara, pegunungan, laut, udara dan seterusnya.

Keikhlasan menuntut ilmu memudar karena harus dikaitkan dengan uang. Egoisme ideologi kaum mayor melunturkan persaudaraan dengan kaum minor, sehingga nada persatuan negeri ini menjadi sumbang, fals dan tidak berirama. Pendidik seharusnya sadar bahwa kurikulum bukan target utama dalam proses belajar-mengajar.

Advertisement

Terbentuknya bibit bangsa yang berkepribadian dan merdeka lebih penting dari penciptaan manusia berjiwa robot. Pendeportasian guru juga tidak perlu hanya untuk pencitraan nama baik instansi. Ketegangan yang selama ini terjadi bisa dikendurkan dengan mencontoh SDN 1 Gayam, Sukoharjo, dengan dolanan anak dalam rangka mendekatkan emosi guru dan murid.

Merebaknya media pembelajaran hanya mematikan tubuh guru yang seharusnya menjadi perantara langsung proses transfer ilmu tanpa perantara. Meningkatkan iman iqra—membaca–demi pengabdian harus kita perhatikan dalam rangka mengarahkan peserta didik untuk memaknai hidup. Tut wuri handayani bukan sekadar legitimasi untuk mengombang-ambingkan kelabilan pribadi peserta didik.

Harmonisasi terlahir dari ketidakrapian, bukan kerapian. Selesaikan dehumanisasi dengan kesadaran bahwa kita hidup di dunia yang universal! Bayangkan keberadaan kebun binatang yang hanya mengoleksi simpanse tanpa hewan lainnya. Apa yang terjadi dengan tiket penjualan masuk kebun binatang tersebut?

Advertisement

 

Moralitas Asketis

Krisis keuangan hanya mampu melumpuhkan sektor perekonomian. Tapi, krisis kemanusiaan mampu menghancurkan apa pun, di negara adidaya sekalipun. Dari itu, moralitas asketis hendaknya ditingkatkan. Dialektika patut dibangun untuk menciptakan budaya belajar-mengajar dan bukan mengajar, mengajar, mengajar yang akhirnya berdampak pada tindakan menghajar.

Jiwa yang merdeka lebih terhargai daripada kemakmuran yang bersembunyi di balik jeruji penjajahan. Penggembala yang berkhidmat demi kesejahteraan gembalaannya mewarisi etika mulia para nabi. Kemunafikan pencitraan menyesatkan bibit-bibit bangsa dan menghancurkan eksistensi bangsa itu sendiri. Pendekatan emosional mampu mengharmonisasikan perseteruan dingin antara pendidik dan peserta didik.

Pendidik sejati lebih menekankan tindakan untuk tidak mencandu terhadap media pembelajaran. Dengan itu, ia akan dinobatkan sebagai pemain naskah terbaik drama kehidupan dan terus menjadi sumbangsih teladan bagi para peserta didik. Pendidik dengan intensitas membaca yang tinggi akan mampu menjadi guru yang secara etimologi bukan sekadar pentransfer ilmu, namun juga perantara, pendekat hamba dengan Tuhannya.

Perendahan otoritas individu dan peningkatan model pengajaran “serang dan umpan balik” lebih manusiawi dari pelaksanaan ambisi pendidikan otoriter tanpa mufakat. Harmonisasi perbedaan bisa membawa manusia pada eksistensi hakiki sebagai khalifah di muka bumi. Kemajemukan bisa mengikis kejenuhan yang terbangun dari corak masyarakat yang homo dan mono.

Kebersahajaan akan memberi kita pelajaran untuk saling berbagi. Sosial yang baik bisa membangun utuhnya bangunan bangsa dari terpuruknya kepercayaan diri yang selalu membanggakan dunia luar dan tidak percaya akan potensi pribadi bangsa. Kata mufakat lebih bisa berterima dari otoritas tanpa mufakat yang hanya akan menjadi buah bibir dan meningkatnya nilai-nilai kemunafikan. (beyrulanam@gmail.com)

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif