Umum
Senin, 6 Mei 2013 - 09:15 WIB

GAGASAN : Kinerja Pemda Era Otonomi Daerah

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro, Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Edy Purwo Saputro, Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Peringkat kinerja Pemerintah Kota (Pemkot) Solo sebagai penyelenggara pemerintahan daerah di era otonomi daerah menurun dari peringkat ke-1 ke peringkat ke-7. Ini berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No 120-2818/2013 tentang Penetapan Peringkat dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional tahun 2011. Realitas yang diberitakan SOLOPOS edisi Selasa (30/4) lalu ini menarik untuk dicermati.
Evaluasi ini adalah tindak lanjut dari pelaksanaan otonomi daerah yang dalam lima tahun terakhir justru lebih banyak diwarnai dengan pemekaran daerah. Orientasi terhadap evaluasi dan pemeringkatan tersebut harus diapresiasi agar otonomi daerah tidak melulu terkait pemekaran, tapi juga harus ada indikator yang jelas bahwa daerah berhasil maju setelah otonomi daerah dan utamanya setelah pemekaran.
Terkait evaluasi dan pemeringkatan tentu harus memperhatikan ragam indikator sehingga daerah yang tidak masuk sebagai daerah berkinerja baik tidak kebakaran jenggot sehingga memicu aksi kemarahan. Oleh karena itu, kepala daerah harus semakin sigap dan memacu daerah terus bebenah, termasuk berkonsentrasi memasarkan daerah agar bisa semakin menarik investor dan bersaing dengan daerah lain.
Aspek lain yang juga penting terkait evaluasi pemeringkatan daerah adalah komitmen terhadap good governance karena implementasinya tentu terkait reward and punishment. Artinya, daerah yang berperingkat terbaik harus diapresiasi dan daerah yang memiliki peringkat terburuk harus mendapat punishment. Apresiasi ini juga bisa terkait kenaikan gaji kepala daerah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengisyaratkan kenaikan gaji kepala daerah dengan harapan dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah (pemda). Tentu hal ini sejalan dengan semangat otonomi daerah yang terfokus pada peningkatan kesejahteraan di daerah melalui kegiatan ekonomi di daerah, utamanya berbasis potensi sumber daya lokal. Yang justru menjadi problem apakah dengan kenaikan gaji kepala daerah bisa meningkatkan kinerja dan juga kesejahteraan daerah?
Era otonomi daerah yang mulai berlaku mulai 1 Januari 2001 ternyata memang masih menyisakan banyak persoalan, termasuk salah satunya yang cukup kritis adalah kuantitas dan kualitas jajaran birokrasi di daerah. Terkait ini, beralasan jika Mendagri menegaskan bahwa persoalan birokrasi tidak hanya dari aspek kuantitas tetapi juga kualitas.

Advertisement

Boros
Oleh karena itu, reformasi birokrasi memang tidak bisa ditunda lagi terutama dikaitkan komitmen profesionalisme penyelenggaraan otonomi daerah. Jika ditelusuri, sebenarnya problem birokrasi di era otonomi daerah telah dikeluhkan Presiden SBY dan seharusnya ketika otonomi daerah diberlakukan maka formasi birokrasi semakin ramping, bukan justru sebaliknya menjadi semakin gendut.
Terkait ini, kepala daerah seharusnya jeli memetakan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di daerah sehingga tak ada pemborosan anggaran untuk belanja pegawai. Perampingan birokrasi di daerah sejalan dengan era otonomi daerah sebenarnya dimungkinkan. Hal ini karena otonomi daerah diikuti dengan penerapan e-government sehingga transparansi sangat penting dan harus dilakukan. Akibatnya, semua kegiatan birokrasi bisa dilakukan secara online yang berarti bisa lebih cepat. Artinya, perampingan birokrasi tidak menjadi alasan untuk ditolak.
Jika perampingan birokrasi dilakukan, efisiensi anggaran bisa terjadi tanpa harus mengorbankan kualitas pelayanan. Artinya, ini tidak berpengaruh terhadap kinerja secara umum. Hal ini menunjukkan komitmen Presiden SBY yang akan menaikkan gaji kepala daerah harus diikuti komitmen kepala daerah untuk metrampingkan birokrasi di jajarannya agar belanja anggaran untuk pegawai menjadi lebih kecil. Hal ini juga tak bisa lepas dari komitmen untuk meningkatkan kinerja aparatur di daerah.
Mengacu kritik gendutnya birokrasi di daerah, ternyata daerah juga mengkritik arogansi pemerintah [pusat] yang juga memiliki struktur birokrasi gendut, misalnya penambahan struktur wakil menteri yang sempat juga dikritik sejumlah pengamat karena hal ini tak bisa lepas dari konsekuensi anggaran, sementara anggaran yang dimiliki pemerintah kian terbatas. Oleh karena itu, fenomena birokrasi, baik di pusat atau daerah, harus dikaji secara lebih mendalam sehingga terjadi sinkronisasi antara kuantitas dan kualitas birokrasi yang profesional tanpa mereduksi kualitas pelayanan dan kinerja.
Konsekuensi dari birokrasi yang semakin gendut adalah inefisiensi kerja, termasuk alokasi anggaran yang semakin besar. Terkait ini, beralasan jika salah satu persoalan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) di era otonomi daerah adalah tingginya belanja pegawai dan semakin minimnya pembiayaan untuk infrastruktur atau belanja modal lainnya.
Padahal, semangat otonomi daerah tidak lain adalah untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dan belanja modal sehingga tak ada lagi daerah yang miskin infrastruktur dan miskin modal untuk pembangunan sebagai strategi meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di daerah. Dalam hal ini termasuk peningkatan kualitas pelayanan dan kinerjanya.

Tanggung Jawab
Jika kemudian dalam perkembangan otonomi daerah  dan juga euforia pemekaran daerah akhirnya justru ditandai dengan semakin banyaknya alokasi anggaran untuk pos belanja pegawai, berarti daya serap perpajakan di daerah yang bermuara untuk memacu penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) justru menjadi rancu karena tidak relevan dengan spirit otonomi daerah itu sendiri.
Oleh karena itu, beralasan jika pemerintah dalam dua tahun terakhir menghentikan pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai upaya mereduksi terjadinya inefisiensi birokrasi dan upaya mengoptimalkan birokrasi yang ada. Selain itu, ini juga sebagai langkah strategis untuk mengurangi belanja pegawai yang cenderung semakin boros di era otonomi daerah. Artinya, optimalisasi SDM di daerah pada dasarnya bisa meningkatkan kualitas pelayanan dan kinerja.
Mengacu data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, jumlah PNS dalam jajaran birokrasi pada 2005 mencapai 3,6 juta orang dengan belanja pegawai Rp54,3 triliun sehingga rasionya 15 persen dibanding total belanja dari pemerintah pusat. Namun, rasio ini meningkat pada 2011 yaitu menjadi 20,1 persen karena jumlah PNS dalam jajaran birokrasi menjadi 4,6 juta dengan belanja pegawainya mencapai Rp182,9 triliun sementara total belanja pemerintah yaitu Rp908,2 triliun.
Hal ini mengindikasikan telah terjadi peningkatan rasio yang tidak dibarengi dengan peningkatan kinerja dan profesionalisme. Indikasinya yaitu masih lambannya pelayanan yang diberikan birokrasi kepada masyarakat. Selain itu, fakta lain yang juga ironis adalah terjadinya pelibatan birokrasi dalam berbagai kasus korupsi di daerah. Hal ini mengindikasikan kinerja pemerintahan di daerah setelah pemberlakukan otonomi daerah belum maksimal sehingga kebijakan tentang evaluasi dan peringkat kinerja daerah sangat menarik untuk memotivasi daerah dan kepala daerah terus bebenah. (epsums@yahoo.com)

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif