Kolom
Selasa, 30 April 2013 - 09:55 WIB

GAGASAN : Mengelola Limbah Pemilihan Kepala Daerah

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ribut Lupiyanto, Peneliti dan Ketua Divisi Riset Pusat Studi Lingkungan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Ribut Lupiyanto, Peneliti dan Ketua Divisi Riset Pusat Studi Lingkungan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Geliat  Pemilihan Gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng) semakin menghangat. Setelah penetapan peserta Pilgub Jateng oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah, Kamis (11/4), pelan tapi pasti pilgub kian memanas. Iklim kompetisi yang sehat dan kondusif menjadi tanggung jawab bersama antara tiga pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur dan timnya beserta masyarakat.
Salah satu tahap krusial dalam pilgub sebagai bentuk pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah kampanye. Pada 9-22 Mei, seluruh pelosok Jawa Tengah akan diwarnai adu kreasi dan strategi antarkandidat dalam berkampanye. Ruang-ruang publik strategis pasti akan dipenuhi beraneka atribut kandidat gubernur dan wakil gubernur.
Dalam hal ini, kedewasaan berpolitik akan diuji. Selain mematuhi aturan formal, penyelenggaraan pilgub tentunya juga dituntut menjunjung norma, etika dan estetika. Prinsip kampanye  yang harus disadari dan dijunjung tinggi tim calon gubernur-calon wakil gubernur salah satunya adalah ramah lingkungan.
Kampanye hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan dan keindahan kawasan serta tidak merusak lingkungan. Di tengah persaingan berebut suara, masing-masing kandidat diprediksi akan berlomba tidak terbatas hanya menyebar atribut. Fenomena ini menunjukkan iklim positif dalam kacamata politik tetapi juga  mengkhawatirkan secara ekologis.
Atribut kampanye yang umum digunakan adalah bendera, baliho, umbul-umbul, rontek, spanduk, leaflet, stiker, kaus dan lainnya. Kebutuhan yang banyak akan atribut tentu berdampak positif terhadap roda ekonomi masyarakat. Harapannya semua kandidat memesan atribut kampanye kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Jawa Tengah.
Tetapi, di sisi lain muncul kekhawatiran dampak negatif berupa limbah, baik fisik maupun visual. Misalnya, setiap pasangan kandidat memasang semua atribut di tiap kampung maka ruang yang ada pasti tidak akan mampu menampungnya. Keterbatasan ruang atau jalan akan berdampak pada semrawutnya pemasangan atribut.
Sangat mungkin pemasangan atribut akan berjejal rapat dan di satu lokasi menumpuk banyak atribut. Belum lagi pemasangan atribut yang berebut lokasi strategis dan tempat legal sesuai peraturan bupati/walikota. Wajar jika hasilnya adalah atribut  kampanye di kawasan jalan berpotensi menjelma jadi sampah visual.
Potensi atribut atau alat peraga lain yang bisa menjadi limbah adalah stiker dan kaus. Jangkauan atribut ini adalah rumah bahkan individu. Satu unit rumah atau individu dapat menumpuk atribut dari semua kandidat gubernur dan wakil gubernur beserta partai politik pengusung dan kelompok-kelompok pendukung. Stiker yang dipasang sembarangan berpotensi menjadi sampah visual.  Kaus yang umumnya berkualitas buruk akan cepat rusak dan berpotensi menjadi limbah di rumah.
Berdasarkan bahannya, secara umum terdapat potensi limbah pilgub berupa kertas, kain dan plastik. Kebanyakan atribut kampanye berbahan plastik. Atribut seperti baliho, banner  dan spanduk yang diproses dengan digital printing menggunakan bahan dasar plastik polietilena dan polipropilena. Selain hasilnya bagus dan prosesnya cepat, harganya pun terjangkau.
Yang perlu diwaspadai dari bahan plastik adalah kurang ramah lingkungan karena tidak bisa terurai oleh alam. Namun,  sampah  plastik dapat ditangani dengan pemakaian kembali (reuse) maupun daur ulang (recycle). Reuse sampah plastik umumnya di skala rumah tangga, misalnya tempat cat plastik digunakan kembali untuk pot atau ember. Sebanyak 80% jenis sampah  plastik juga dapat diproses kembali atau didaur ulang (Syafitrie, 2001).
Syarat agar sampah  plastik dapat didaur ulang antara lain sampah harus dalam bentuk tertentu sesuai kebutuhan (biji, pelet, serbuk, pecahan), harus homogen, tidak terkontaminasi, serta diupayakan tidak teroksidasi. Agar syarat tersebut terpenuhi, sebelum digunakan sampah plastik harus diproses melalui tahapan sederhana, yaitu pemisahan, pemotongan, pencucian, dan penghilangan zat-zat yang ada (Sasse dkk,1995).

Advertisement

Pengelolaan Terpadu
Ramah lingkungan bukan hanya tanggung jawab peserta pilgub, tetapi juga penyelenggara pilgub dan pemerintah. Pertama, calon gubernur-calon wakil gubernur dan timnya sudah saatnya menjadikan desain ramah lingkungan sebagai jurus kampanye. Ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana, seperti meminimalisasi atribut berbahan plastik, tidak memasang atribut di pohon dengan paku, tidak mengganggu lalu lintas, meminimalisasi sampah di setiap kegiatan, serta melakukan pengelolaan baik pra, saat, maupun pascakampanye.
Kedua, bagi penyelenggara pilgub atau pemilu secara umum perlu mengatur, mengawasi, hingga memberi sanksi atas pelaksanaan kampanye agar ramah lingkungan. KPU diharapkan dapat mengatur agar pemasangan atribut dapat dilakukan secara kolektif dari seluruh peserta pada titik-titik yang ditentukan. Perlu koordinasi  dengan peserta agar esensi kampanye sebagai pendidikan politik tidak terkurangi. Sedangkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dna Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) berkontribusi pada pengawasan dan evaluasinya.
Ketiga, pemerintah juga punya tanggung jawab dan wewenang berkontribusi. Pemerintah daerah melalui peraturan bupati/walikota dapat mengatur lokasi pemasangan alat peraga kampanye. Agar optimal dan tidak terkesan membatasi hak kandidat berkampanye, perlu koordinasi intensif antara pemerintah daerah, KPU dan peserta pilgub.
Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Kesehatan dapat memberikan bimbingan teknis dan jika perlu memfasilitasi tentang bagaimana memilih bahan atribut hingga mekanisme memelihara, mendaur ulang, serta mengelola limbah pilgub yang ramah lingkungan. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bekerja sama dengan Bawaslu/Panwaslu dapat menjadi ujung tombak dalam mengawasi hingga mencabuti atribut yang terbukti melanggar aturan dan menimbulkan sampah visual.
Strategi dan orentasi upaya penanganan mesti berpihak kepada masyarakat. Usaha kreatif dapat ditumbuhkan pada produksi berbasis pemakaian kembali. Keberlanjutan usaha ini juga masih dapat dikembangkan setelah pilgub yaitu untuk menangani sampah iklan di jalanan. Limbah memang berbahaya, namun jika dikelola dengan baik bukan tidak mungkin akan berbalik menjadi berkah. Artinya, penanganan limbah pilgub jika dilakukan secara terpadu dan serius justru dapat menguntungkan secara ekonomis, ekologis, hingga politis.
Secara substansial kampanye juga dituntut menjadi media pendidikan lingkungan kepada masyarakat. Visi-misi calon gubernur-walon wakil gubernur yang terkait dengan pengelolaan lingkungan diharapkan dapat mewarnai proses kampanye. Kita tunggu calon kepala daerah  mana yang peduli dan kreatif mendesain kampanye ramah lingkungan, minim limbah, minim sampah visual dan berkomitmen memperjuangkan isu lingkungan di Jawa Tengah.  (lupy.algiri@gmail.com)

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif