Kolom
Senin, 29 April 2013 - 09:47 WIB

GAGASAN : Plus-Minus Sistem Suara Terbanyak

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Gunoto Saparie, Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah

Gunoto Saparie, Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah

Lebih empat tahun lalu, tepatnya 23 Desember 2008, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang yang dipimpin ketuanya saat itu, Mahfud MD, menghapuskan sistem nomor urut dalam menentukan anggota legislatif terpilih seperti yang sebelumnya diatur dalam Pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Advertisement

Majelis hakim konstitusi menilai pasal di atas tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat seperti yang diatur dalam UUD 1945. Menurut majelis hakim konstitusi, Pasal 214 huruf a, b, c, d, e yang menentukan pemenang pemilu legislatif adalah yang memiliki suara di atas 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) dan menduduki nomor urut lebih kecil adalah inkonstitusional.

Pasal di atas menguntungkan calon anggota legislatif (caleg) dengan nomor urut kecil dan memangkas hak politik rakyat sebagai pemilih. Oleh karena itu, dalam pemilu legislatif, sistem suara terbanyak akan menjadi dasar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menentukan pemenang pemilu legislatif.

Putusan MK ini disambut secara antusias dan positif oleh berbagai kalangan dan dianggap mempunyai implikasi positif bagi rakyat dan bagi partai politik (parpol). Putusan MK ini dinilai sebagai kemenangan bagi demokrasi karena dalam pemilu legislatif suara rakyat akan menjadi lebih berpengaruh dibandingkan putusan dan negosiasi elite partai politik (parpol).

Advertisement

Sementara itu, putusan MK juga dinilai penting bagi kemajuan demokrasi karena akan membuka kesempatan lebih luas bagi caleg-caleg baru yang tidak melulu identik dengan kekuatan dan elite politik lama. Digunakannya sistem suara terbanyak juga akan mendorong modernisasi parpol, di mana kader-kader parpol yang maju menjadi caleg tidak lagi akan bergantung sepenuhnya kepada partai.

Parpol juga akan semakin didorong untuk mengajukan caleg-caleg yang berkualitas karena dalam pemilu-pemilu mendatang figur caleg akan menjadi semakin penting dibandingkan dengan parpol itu sendiri. Meski demikian, digunakannya sistem suara terbanyak dalam pemilu legislatif juga dapat berimplikasi negatif jika tidak disikapi dan ditanggapi secara kritis, hati-hati dan bijaksana.

Sistem suara terbanyak bisa melemahkan institusi parpol secara keseluruhan. Sistem ini berpotensi memangkas peranan parpol sehingga memunculkan kemungkinan terpilihnya caleg-caleg yang belum teruji secara politik, berpotensi menimbulkan friksi internal parpol dan berpotensi pula mengurangi disiplin internal parpol.

Advertisement

Selain itu, sistem suara terbanyak jika tidak diikuti pendidikan politik tidak akan berarti banyak bagi demokrasi dan akan sia-sia. Jadi, untuk dapat berguna bagi demokrasi, penggunaan sistem suara terbanyak tidak dapat diimplementasikan sendiri tanpa merevitalisasi peranan dan kinerja parpol serta pendidikan politik publik yang memadai.

Sesungguhnya penerapan sistem suara terbanyak berpotensi mendorong modernisasi parpol di mana kader-kader parpol yang maju menjadi caleg tidak lagi akan bergantung sepenuhnya pada partai. Namun, modernisasi parpol ini akan tercapai jika parpol-parpol yang ada sekarang mampu meredam potensi konflik internal dan menjaga kedisiplinan para kader dan calegnya.

 

Biaya Politik

Seorang sosiolog Prancis, Marcel Mauss, mengatakan, “Cout politique est un pret qui doit etre retourne” (biaya politik adalah pinjaman yang harus dikembalikan). Ia agaknya ingin mengatakan tidak ada yang gratis di dunia ini, terlebih jika terkait dengan urusan yang namanya politik. Saat seorang caleg dituntut mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya, ia harus siap merogoh isi saku hingga tak tertentu.

Caleg harus menyiapkan banyak dana untuk mendekatkan diri dengan konstituen melalui berbagai media, seperti pertemuan langsung dan kunjungan ke kantong-kantong suara. Tentu lanjutannya adalah berbicara soal rincian biaya politik, di antaranya transportasi, konsumsi, pertemuan, pengadaan atribut dan tentu saja honor anggota tim sukses.

Seorang caleg secara mendadak dipaksa menjadi dermawan. Tali asih adalah hal wajib untuk mengikat konstituen guna menjaga komitmen pemilih hingga tibanya hari pemilihan. Tali asih bentuknya bisa bermacam-macam, umumnya berupa sembilan bahak pokok (sembako) dan uang tunai. Jika seorang caleg di sebuah daerah pemilihan di wilayah kabupaten/kota membutuhkan sedikitnya 10.000 suara, tali asih yang harus disiapkan sudah mencapai nilai ratusan juta rupiah. Itu belum ditambah komponen-komponen lain. Bisa diperkirakan berapa biaya politik yang harus disiapkan.

Bagi caleg yang latar belakangnya pengusaha sukses, mungkin tak ada masalah untuk urusan dana. Namun, bagi caleg dengan amunisi dana pas-pasan, ini akan jadi masalah besar. Hanya ada dua strategi yang mungkin bisa dilakukan untuk caleg dengan dana pas-pasan ini. Tetap maju terus tapi tanpa sosialiasi memadai atau temukan sponsor.

Jika terpaksa harus mengambil sponsor, ada risiko yang harus dihadapi, yakni idealisme harus dibuang jauh. Utang budi akan memaksa seorang caleg jadi tak berdaya memenuhi permintaan si penyandang dana. Sudah lazim, bahwa tidak ada sponsor tanpa pamrih.

Bicara kepentingan politik jelas tidak sama saat membahas tentang kemanusiaan. Perbuatan seperti berbagi, sedekah dan beramal adalah bentuk kemurahan hati seorang manusia, di mana ia akan melupakan perbuatan mulia itu dan tidak mengharapkan imbalan dari orang yang ia beri. Namun, dalam konteks politik, khususnya bagi seorang caleg, menyamakan sebuah tali asih tanpa mengharapkan apa-apa adalah omong kosong.

Pemberian sesuatu kepada masyarakat pasti ada maksudnya, yakni ”pilihlah aku jadi anggota legislatif”. Konsep seperti ini menurut Mauss, disebut potlatch, yakni sebuah pemberian yang dipertukarkan. Bahasa gaulnya, timbal balik. Jangan harap keikhlasan dalam konteks potlatch ini. Pemberian kepada calon pemilih akan ditukar dengan suara dalam pemilihan umum. Selama lima tahun duduk di lembaga legislatif, ada target untuk mengembalikan apa yang sudah dikeluarkan itu dalam nilai yang berlipat-lipat. Seperti kata Mauss, biaya politik adalah pinjaman yang harus dikembalikan.

Meski begitu, bukan berarti penentuan anggota lembaga legislatif dengan suara terbanyak merupakan pilihan yang salah. Kalau mau berbicara sisi negatif, penentuan dengan nomor urut pun banyak segi negatifnya. Misalnya, kemungkinan penempatan calon pada nomor jadi karena nepotisme atau karena ”membeli nomor urut jadi” kepada pimpinan partai seperti yang banyak diberitakan media massa.

Sistem suara terbanyak justru dimaksudkan untuk menghapus nepotisme dan jual-beli nomor urut antara caleg dan elite partai. Di samping itu, tentu saja, hal tersebut dilakukan untuk menghargai kedaulatan rakyat. Gejala saling bantai dan fitnah, homo homini lupus antarcaleg, dan penghamburan uang caleg untuk mencari dukungan merupakan risiko-risiko yang untuk sementara harus dilalui demi reformasi politik dan hukum. (gunotosaparie@ymail.com)

 

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif