Kolom
Kamis, 4 April 2013 - 07:30 WIB

GAGASAN: Uang dan Partai Politik

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bandung Mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo
Alumnus Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia dan Daerah
Universitas Muhammadiyah
Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Partai politik di Indonesia tampak menampilkan arogansi bermental keserakahan. Kasus-kasus korupsi sering melibatkan para petinggi partai politik, menguak dalih-dalih berpolitik dengan mengeruk uang milik negara. Tabiat serakah ini kejahatan tanpa ampunan, menodai politik sebagai amalan keluhuran dan kebajikan.

Advertisement

Partai politik berperan sebagai mesin kekuasaan dan uang. Urusan memenuhi misi demokrasi tergantikan pamrih-pamrih material. Idealisme berpolitik telah merapuh oleh ulah partai politik di seribu lakon korupsi. Penetapan Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum sebagai tersangka skandal Hambalang mengisahkan intimitas partai politik dan uang.

Kisah Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum di Partai Demokrat dan Luthfi Hasan Ishaaq di Partai Keadilan Sejahtera sekadar episode kecil dari tabiat koruptif sekian partai politik di Indonesia. Pendirian dan pembesaran partai politik memerlukan uang. Tugas berpolitik adalah mencari uang, mengumpulkan modal demi pamrih individu dan partai politik.

Advertisement

Kisah Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum di Partai Demokrat dan Luthfi Hasan Ishaaq di Partai Keadilan Sejahtera sekadar episode kecil dari tabiat koruptif sekian partai politik di Indonesia. Pendirian dan pembesaran partai politik memerlukan uang. Tugas berpolitik adalah mencari uang, mengumpulkan modal demi pamrih individu dan partai politik.

Hasrat berpolitik bergerak ke kubangan uang, meninggalkan adab dan etika politik. Kita mesti membaca ulang halaman-halaman sejarah, menilik situasi berpolitik di masa silam. Mohammad Hatta dalam artikel berjudul Menanggung Djawab dalam Pergerakan (1933) menulis tentang misi partai politik dan tanggung jawab manusia berpolitik.

Hatta, pemikir politik dan penggerak demokrasi, menganjurkan agar partai politik memiliki aturan-aturan tegas dalam urusan uang. Hatta menulis tentang risiko menjadi anggota pergerakan politik alias partai politik di masa 1930-an. Menurut Hatta, kewadjiban jang pertama baginja ialah memenuhi sjarat: membajar kontribusi. Kita mengartikan kontribusi itu iuran anggota. Pendanaan partai politik dari iuran anggota mengesankan ada pertaruhan, kehendak berpolitik dengan berkorban.

Advertisement

Berpartai politik adalah keikhlasan, pengorbanan, ketulusan, kejujuran. Orang memberi iuran sebagai pertanggungjawaban berpolitik untuk semaian nasionalisme, memartabatkan rakyat di hadapan kolonial. Sejarah partai politik dan uang membuktikan tanggung jawab.

Ingatan itu kini tergantikan oleh ulah para elite partai politik mencari sumber dana melalui korupsi demi membesarkan partai. Anjuran Hatta terlupakan, tersingkirkan oleh nalar keserakahan uang dalam berpolitik. Ironis!

Berpartai politik di Indonesia memang membutuhkan topangan dana. Kontribusi para pengusaha menjadi jaminan kekuatan modal, sumber eksistensi partai politik. Ikhtiar pencarian uang juga dilakukan melalui lumbung uang negara.

Advertisement

Otoritas orang partai politik di jabatan birokrasi atau parlemen memungkinkan ada kehendak berkorupsi. Mereka berdalih demi kepentingan partai politik. Nasib partai politik dipengaruhi oleh uang. Harga diri elite di partai politik juga merujuk ke uang. Berpolitik adalah beruang!

Anjuran Hatta mesti diingat kembali agar kita mengerti sejarah partai politik dan uang. Hatta adalah penganjur kemunculan partai politik melalui Maklumat X (1945). Hatta tak sekadar menghendaki pendirian partai politik, tapi memberi seruan-seruan moral dan rasional. Hatta dalam artikel berjudul Anggauta Partai dan Kewadjibannja (1933) menerangkan hakikat berpolitik dan kewadjiban orang saat berpartai politik.

Hatta menyatakan siapa jang masuk dalam pergerakan, istimewa mendjadi anggauta dari pada satu partai jang radikal, ia harus tahu, bahwa ia akan rugi selamanja dengan tidak dapat balasan bagi dirinja. Ia akan rugi tenaga, rugi berpikir, rugi uang dan harta, kadang-kadang rugi kesenangan dan kemerdekaan.

Advertisement

Peringatan Hatta berkaitan situasi kolonialisme dan kehendak rakyat untuk merdeka. Berpolitik adalah mengejawantahkan Indonesia! Peringatan itu tak berlaku di Indonesia abad XXI. Kini, berpolitik adalah memerkan diri, mengumbar popularitas, ”menodai” Indonesia.

Kasus-kasus korupsi di Indonesia mengisahkan aib berpartai politik. Agenda berkorupsi dilakukan secara kolektif, mengatasnamakan pamrih keserakahan berdalih partai politik. Orang juga berhasrat berlimpah uang dengan masuk partai politik untuk meraih jabatan elitis.

 

Adegan Kotor

Kita jadi sangsi atas peran partai politik, pesimis atas khotbah-khotbah para elite politik. Indonesia memang negeri berlimpah partai politik, bangkrut oleh keserakahan kaum politik mengeruk uang milik negara. Partai politik ibarat ”perusahaan” dan manusia berpolitik ibarat ”umat uang.”

Berita tentang korupsi sering memunculkan adegan-adegan kotor: pertemuan untuk penentuan proyek, pengiriman uang suap, pembelian mobil atau rumah, strategi pemenangan pemilihan umum, manipulasi data anggaran.

Sekian adegan selalu berkaitan uang, menjelaskan peran dan otoritas pelaku korupsi. Kita pun bakal membuka halaman-halaman kasus korupsi dengan urutan pengisahan mirip novel. Tersangka bakal memberi suguhan nama-nama pelaku lain, memberi bukti pertemuan atau setoran uang, mengumbar gugatan politik.

Kita masih ingat halaman depan: M Nazaruddin mengajukan nama Anas Urbaningrum. Pola itu bakal berlaku saat Anas Urbaningrum mengajukan nama-nama baru dalam skandal Hambalang. Urusan nama berlanjut dengan peristiwa-peristiwa. Halaman-halaman aib itu lekas berlanjut ke halaman konflik dan kejahatan di partai politik. Semua halaman mencantumkan uang sebagai tema.

Kita selalu bercuriga tentang sumber dana partai politik saat bertarung dalam pemilu. Mereka memerlukan dana besar, menggapai kekuasaan berpijak uang. Kongres, iklan, sumbangan ke petani, beasiswa pendidikan, lomba, peringatan ulang tahun adalah agenda-agenda partai politik demi kemonceran di mata rakyat.

Agenda-agenda itu bergantung uang. Ulah korupsi pun dimaklumi, keserakahan menjadi mentalitas berpolitik. Indonesia bakal “sakit” dan “sekarat” oleh partai politik! Kita sulit memberi pujian pada partai politik. Kita memiliki hak untuk menghujat dan membenci partai politik!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif