Khazanah
Sabtu, 9 Maret 2013 - 01:00 WIB

Mencakup Dunia & Akhirat

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kaum dhuafa antre mendapatkan paket sembako gratis dalam acara Solo Berbagi Rayakan Lebaran, di Lapangan Kota Barat, Solo, beberapa waktu lalu.

Kaum dhuafa antre mendapatkan paket sembako gratis dalam acara Solo Berbagi Rayakan Lebaran, di Lapangan Kota Barat, Solo, beberapa waktu lalu.

Konsep kebahagiaan menurut negara-negara Barat hanya diukur pada kecukupan materi duniawi dan rasa aman dari ancaman. Namun Islam memiliki konsep yang lebih kompleks, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat.

Advertisement

Seperti dalam QS Al Qashash 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [kebahagiaan] negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari [kenikmatan] duniawi dan berbuat baiklah [kepada orang lain] sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di [muka] bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Mubalig asal Solo, Ahmad Qusyairi, menjelaskan ada beberapa hal yang membuat umat Islam bahagia, yakni zuhud dunia, cinta akhirat. “Zuhud itu dapat bagian Alhamdulillah, tidak dapat ya Alhamdulillah, bukan innalillah,” terang Qusyairi yang juga Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Solo.

Advertisement

Mubalig asal Solo, Ahmad Qusyairi, menjelaskan ada beberapa hal yang membuat umat Islam bahagia, yakni zuhud dunia, cinta akhirat. “Zuhud itu dapat bagian Alhamdulillah, tidak dapat ya Alhamdulillah, bukan innalillah,” terang Qusyairi yang juga Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Solo.

Kedua, bersemangat dalam beribadah, senang membaca Alquran. Dengan salat, hubungan batiniah akan terasa lebih tenang, tidak gusar dan gelisah. Sebaliknya, saat orang merasa jauh dari Allah, ia merasa hati tidak tenang dan merasa selalu ada yang kurang serta gelisah.

Ketiga, sedikit bicara, sekali bicara dalam hal kebenaran. Bahkan saat orang ingin selamat dunia akhirat dan meraih kebahagiaan, hendaknya ia menjaga diri dari lisan yang sia-sia. “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasulullah, hendaknya dia berkata benar atau diam.” Bahkan, ada sebuah ungkapan populer, sebelum berhati-hati melewati Shiratha ‘l-mustaqim (jalan lurus), berhati-hatilah pada Shiratha ‘l-mustaqim saat ini, yakni lidah yang sangat tajam dan dapat melukai siapa pun.

Advertisement

Kebahagiaan bisa dicapai juga dengan berkumpul dengan orang-orang saleh. Ia akan mendapat motivasi untuk terus melakukan hal baik dan kian rajin menambah amalan-amalannya, seperti salat dan membaca Alquran. “Kumpul dengan orang saleh, ia ingin saleh. Kumpul dengan orang kaya, ia ingin kaya.”

Lingkungan memengaruhi kebahagiaan diri sendiri.

Selanjutnya adalah menjaga tawadu dan tata krama atau sopan santun dalam bermasyarakat. Sikap yang sopan dan ramah akan disukai oleh banyak orang. Yang mempraktikkannya  bisa berkawan dengan siapa saja. Dalam hal ini, akal sangat lebih dominan daripada hawa nafsu untuk melakukan hal positif. Saat hawa nafsu mengalahkan akal, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni sombong, takabur, arogan dan sifat buruk lainnya yang mendatangkan permusuhan.

Advertisement

Harta untuk Sosial

Langkah berikutnya adalah dermawan. Sifat yang sangat mulia, baik di mata Allah juga di mata manusia. Dermawan yang sejati saat memberi tidak sombong dan mengharap hanya rida Allah. “Jika inginnya pujian, ia hanya bahagia jika dipuji. Jika tidak dipuji, ia sakit hati.” Sebaliknya, sifat kikir sangat merugikan diri sendiri, dibenci sesama manusia dan Allah. Ia pun merasa tak tenang.

Anggota Staf Seksi Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren dan Pendidikan Agama Kepada Masyarakat (PK Pontren dan Penamas) Kantor Kemenag Solo, Charis Muanis, menjelaskan harta dapat menjadi tolok ukur kebahagiaan bagi mereka yang sudah tidak sabar dengan kemiskinan. “Sehat jadi tolok ukur bahagia saat sudah tidak sabar dengan penderitaan.”

Advertisement

Ada beberapa proses pencapaian bahagia, yakni menghargai yang ada, apapun kondisinya. Setelah ia mampu menghargai, langkah berikutnya adalah meletakkan nikmat Allah pada tempatnya, yang kemudian diletakkan pada fungsi sosial. “Contohnya ia memiliki harta. Lalu ia berbagi untuk kepentingan sosial.”

Tak cukup itu, kebaikan dan berbagi itu juga harus dilandasi iman dan pasrah kepada Allah SWT. Jangan sampai niat lain seperti ingin dipuji atau sanjungan merusak kualitas kebahagiaan. “Jika tidak dilandasi iman, ia akan menjadi sombong dan liar.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif