Tokoh
Jumat, 8 Maret 2013 - 11:15 WIB

GAGASAN: Religiositas Hotel dalam Modernitas

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Muhammad Milkhan, Bergiat di Bilik Literasi Alumnus Prodi Mamalah Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Muhammad Milkhan, Bergiat di Bilik Literasi Alumnus Prodi Mamalah Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta. (FOTO/Istimewa)

Jika kita masuk Kota Solo dari arah barat, di perempatan menuju Stadion Manahan kita akan melihat baliho besar. Di sana tercantum iklan pendirian sebuah hotel di Solo yang berlabelkan syariah [bentuk baku dalam bahasa Indonesia adalah ”syariat”]. Apa yang kita pikirkan dan apa yang dapat kita renungkan dari keberadaan hotel yang mengklaim memiliki pelayanan sesuai syariah?
Hotel sebagai kompensasi modernitas telah kita terima tanpa syarat yang rumit untuk hadir sebagai bagian dari kehidupan kita. Hotel tumbuh subur demi menuruti ambisi kota yang semakin padat oleh kehadiran para pendatang, baik yang ingin berbisnis maupun berwisata. Hotel memberi dampak imbalan kelas yang prestisius di tengah masyarakat bagi para peminatnya.
Dampak imbalah kelas itu misalnya gaya hidup kelas atas yang bisa kita rasakan sebagai bagian dari paket menginap di hotel. Artinya,  hotel adalah simbol elitisme, jika kita merunut ke sejarah hotel dan perkotaan di Indonesia pada awal abad ke-20. Jika hotel itu disandingkan dengan citra religius, seperti penamaan hotel syariah, agama juga bisa terkesan sebagai sesuatu yang ekslusif, hanya milik segelintir orang saja.
Dampak modernitas semacam ini mirip dengan apa yang disampaikan Maryam Jamilah (1983) ketika mengoreksi westernisasi bangsa Arab. Hotel sebagai simbol kemodernan di daerah Arab telah memunculkan kebanggaan yang semu. Orang Mesir atau Irak menganggap kehadiran hotel adalah sesuatu yang baik karena apa pun yang memodernisasikan dunia Arab adalah baik dan apa pun yang ditahannya adalah buruk.
Pencantuman label syariah memang bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, ramai kita dipaksa untuk menerima lembaga keuangan (bank) yang berlabel syaria. Kini, inovasi terbaru muncul, hotel syariah. Hotel yang identik dengan tempat singgah sementara memang kini meluas, bukan hanya sebatas tempat penginapan.
Ada banyak agenda yang dilaksanakan di hotel seperti seminar, pelatihan, rapat umum partai atau organisasi, konser, hingga yang terbaru seperti kita tahu, hotel juga dapat dimanfaatkan untuk transaksi korupsi dan gratifikasi seks. Perspektif negatif tentang hotel mungkin dapat digerus sedikit demi sedikit dengan kegiatan-kegiatan positif yang diadakan di hotel, termasuk pencantuman nama syariah.
Kata ”syariah” di belakang kata ”hotel” mungkin menjadi usaha memulihkan citra hotel di mata masyarakat. Pelayanan hotel dengan model syariah akan menambah daya pikat hotel sehingga masyarakat menjadi lebih akrab. Namun, yang jadi pertanyaan, model syariah yang bagaimana yang akan diterapkan untuk sebuah usaha komersial yang bertajuk hotel?
Model patungan ala Yusuf Mansur (2013) untuk menginvestasikan harta kita ke dalam bisnis perhotelan mungkin juga mirip dengan hotel syariah. Hanya saja, Yusuf Mansur tak segamblang hotel syariah dalam mewartakan modus agama sebagai dalih komersialitas. Yusuf Mansur lebih menekankan pada logika bisnis sebagai nalar imaji religinya untuk membentuk kolega dalam bisnis perhotelan.
Yusuf Mansur menganggap bisnis merupakan pintu dari beberapa pintu yang mampu kita manfaatkan untuk mencari pahala sebanyak-banyaknya. Dengan bisnis hotel dan apartemen di dekat Bandara Soekarno-Hatta, diharapkan ketika musim haji hotel-hotel tersebut dapat dimanfaatkan bagi penginapan sementara jemaah calon haji. Tentu saja dengan menginap di hotel ala Yusuf Mansur, tamu hotel akan disuguhi paket haji yang lebih dibandingkan dengan orang-orang lainnya yang tidak menginap di hotel, bahkan ada doa plus-plus, yakni doa penghafal Alquran.
Dengan pembubuhan kata ”syariah” di belakang kata ”hotel”, agama justru terkesan lebih kerdil. Agama yang dalam hal ini diwakili oleh kata ”syariah” mendapatkan porsi sebagai gincu pemanis tampilan hotel, memikat lebih banyak konsumen yang beragama Islam. Kata ini juga menggiring perspektif masyarakat agar mau singgah di hotel dengan bujuk hotel berlabel syariah tanpa ada telaah mendalam tentang model hotel yang aneh ini tentu akan berakibat fatal di kemudian hari. Bisa jadi kata ”syariah” menjadi tidak sakral dan berwibawa lagi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sering kali cerewet dan sensitif manakala menanggapi isu-isu pornografi serta pornoaksi, kali ini terlihat bungkam dan tak acuh menanggapi iklan di papan reklame tersebut. Tak jadi soal mungkin bagi MUI, perkara pelabelan hotel syariah ternyata tak memikat untuk dicarikan solusi fatwa yang mengikat. Kata ”syariah” yang tercantum setelah kata ”hotel” mungkin juga dianggap sebagai prestasi yang membanggakan oleh MUI.

Advertisement

Apresiasi
Tentu ini bentuk kesadaran kolektif yang patut disyukuri hingga usaha hotel yang terkesan prestisius akhirnya mau mencantumkan label syariah. Bagi MUI mungkin akhirnya Islam benar-benar menjadi rahmat untuk semua, termasuk untuk bisnis perhotelan di Indonesia. Agama sebagai dalih komersialitas tentu tidak boleh mendapatkan pembenaran. Agama memang mengajarkan kita untuk berikhtiar demi menghidupi ragawi dengan bekerja, menggerakan tubuh sesuai dengan kemampuan kita untuk keberlangsungan hidup.
Namun, menjadikan agama sebagai dalih untuk meraup untung sebanyak-banyaknya tentu akan mencederai perilaku keberagamaan. Misalnya, pelabelan hotel syariah. Iktikad meningkatkan pelayanan hotel tentu bukan lantas mengorbankan agama sebagai tumbal. Masih banyak cara lain yang lebih bermartabat daripada harus menempuh jalur singkat dengan melekatkan ”syariah” sebagai pemikat yang bertujuan meraup untung berlipat.
Mungkin kita akan miris ketika suatu waktu kita mendengar berita tertangkapnya seorang pejabat dengan perempuan simpanannya di hotel syariah, atau ketika suatu waktu kita juga mendapati berita seorang tewas overdosis obat kuat di hotel syariah. Atau, lagi, terjadi penggerebekan pesta narkoba di sebuah hotel syariah. Tentu peristiwa-peristiwa semacam itu hanya sebuah ketakutan kita karena seringnya kita mendapati media memberitakan kejadian-kejadian yang negatif semacam itu terjadi di sebuah hotel.
Jika suatu waktu peristiwa-peristiwa itu muncul dan benar-benar terjadi di sebuah hotel syariah tentu akan berdampak buruk terhadap pemahaman agama. Agama ikut menanggung aib karena perilaku segelintir orang yang tak mengacuhkan papan nama sebuah hotel, yang kini memiliki predikat syariah. Kegetolan bisnis perhotelan untuk melabelkan diri menjadi lebih religius dengan mencantumkan kata syariah patut juga kita apresiasi secara positif.
Kepiawaian bisnis perhotelan untuk terus berinovasi memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya untuk para pelanggan tentu juga hal yang positif. Namun, seberapa kuasa pihak hotel akan mampu membatasi polah tingkah pelanggan agar senantiasa berperilaku baik yang sesuai dengan nilai-nilai syariah?
Tentu ini patut untuk dijadikan pertimbangan lebih lanjut sebelum memberikan label syariah dalam bisnis perhotelan. Pelanggan hotel tentu juga akan risih dan malas untuk menginap di sebuah hotel yang terlalu banyak aturan yang diberlakukan. Padahal, dalam syariah ada aturan-aturan yang patut untuk terus ditaati demi menjaga kekhusyukan umat dalam beragama.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif