Umum
Kamis, 7 Maret 2013 - 11:00 WIB

GAGASAN: Akademis Tanpa Budaya Menulis

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi
Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. (FOTO/Istimewa)

Gigih Wiyono lewat tulisannya Kritik Alumnus Untuk ISI Solo di harian ini (27/2) mengkritik dengan keras pengajar di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. Menurut dia, kualitas karya para dosen yang dipamerkan tak jauh beda dengan karya mahasiswa semester awal. Gigih membuncahkan kritik atas dasar pengamatannya pada pameran seni rupa ISI Solo di Taman Budaya Surakarta (TBS) beberapa hari sebelumnya.

Advertisement

Berangkat dari peristiwa itulah Gigih dapat dengan leluasa masuk pada persoalan lain, walaupun agak keluar konteks, seperti manajemen kampus, korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) dan lain sebagainya. Namun, apa pun, itu menjadi catatan penting dan sekaligus koreksi berharga bagi ISI Solo dalam menata dan memperbaiki diri.

Tak hanya tulisan Gigih saja yang menjadi kritik bagi kampus seni negeri di Jawa Tengah itu. Beberapa bulan sebelumnya, muncul keluhan dari masyarakat di media ini bahwa banyak pengajar di Program Pascasarjana ISI Solo yang tidak kompeten. Para dosen pengajar sudah terlalu tua, sementara banyak dosen muda kompeten tidak dilibatkan.

Advertisement

Tak hanya tulisan Gigih saja yang menjadi kritik bagi kampus seni negeri di Jawa Tengah itu. Beberapa bulan sebelumnya, muncul keluhan dari masyarakat di media ini bahwa banyak pengajar di Program Pascasarjana ISI Solo yang tidak kompeten. Para dosen pengajar sudah terlalu tua, sementara banyak dosen muda kompeten tidak dilibatkan.

Semua menjadi cambuk, sekaligus teladan berharga bagaimana publik telah menunjukkan sikapnya pada institusi ini. Namun demikian, pertanyaan yang cukup mengganjal, sejauh mana ISI Solo menghadapi berbagai kritik itu? Sudahkan ISI Solo bebenah dan membuat klarifikasi serta menggunakan hak jawab atas kritik-kritik yang bermunculan?

ISI Solo agaknya belum terbiasa menghadapi kritik. Bahkan, konon, pendidikan tinggi seni ini dikenal dengan sebutan ”bebal kritik” alias muka besi. Ini memang bukan diksi atau julukan yang asal muncul. Sejak banyak kritik yang muncul di media, belum sekalipun ISI Solo (yang diwakili oleh pihak atau pejabat berwenang) mengklarifikasi dan menanggapi atas segala persoalan itu. Terkesan mendiamkan.

Advertisement

Namun demikian, pada konteks ini saya tidak akan mengklarifikasi atau berusaha memberi sanggahan dan tanggapan atas kritik-kritik yang sebelumnya bermunculan dan banyak termuat di media. Saya dalam konteks ini hanya akan menyoroti bagaimana budaya mengklarifikasi, menjawab  dan memberikan pandangan lain adalah sebuah keniscayaan penting bagi institusi pendidikan yang berada dalam arus pusaran kritik atas dirinya.

Kritik memang tak harus ditanggapi. Namun, masyarakat memerlukan informasi sejauh mana ISI Solo telah berproses dan melakukan pembenahan diri atas umpan kritik itu. Apalagi, jika kritik-kritik yang ada sudah tak lagi sehat dan jernih, mengandung maksud tertentu untuk menjatuhkan, menghujat, mengolok-olok serta merendahkan. Dalam konteks ini lembaga terkait hukumnya wajib untuk memberikan alternatif jalan tengah agar kritik yang ada tidak timpang.

Sebuah lembaga atau institusi tidak boleh antikritik. Apalagi dengan memusuhi dan menghakimi kritikus. Justru sebaliknya, institusi apa pun itu akan menjadi besar ketika mampu mengakomodasi medan kritik dengan bijak dan memberikan jawaban komprehensif atas wacana yang sedang berkembang dan diperdebatkan. Antipati terhadap kritik akan membunuh diri sendiri secara pelan-pelan.

Advertisement

Keseimbangan memang dibutuhkan. Sebuah lembaga besar harus disertai dengan kontrol yang baik (kritikus). Keduanya ibarat dua kutub medan magnet, berlawanan namun bersenyawa. Sayangnya, keterbukaan infomasi dan budaya bertarung lewat kritik (terutama di ruang media massa) belum menjadi budaya di ISI Solo. Akibatnya, dari berbagai kritik yang ada, institusi ini justru terkesan mengamini. Sementara untuk menanggapi ulasan kritik di media berarti harus mengenal lebih dekat media massa.

Ironisnya, banyak kaum intelektual berpandangan menulis di media massa adalah kerja tak berpamrih di balik ingar-bingar berbagai proyek (penelitian, pengajaran, pengabdian) yang ada. Karenanya, tak banyak warga civitas academica ISI Solo yang dengan tekun menyumbangkan gagasan dan pemikirannya lewat media massa. Kalupun ada, jumlahnya sangat terbatas, dan sosoknya hanya itu-itu saja.

Hal ini yang melatarbelakangi mengapa segala kritik yang ada seolah dibiarkan dan didiamkan hingga akhirnya menjadi kebenaran tunggal. Hubungan dengan media masih dianggap tabu. Ada kisah menarik. Beberapa mahasiswa Fakultas Seni Pertunjukan ISI Solo menjalin kerja sama dengan salah satu media lokal. Artikel mahasiswa akan diterbitkan secara berkala setiap dua pekan sekali.

Advertisement

Hal ini disambut positif oleh mahasiswa yang terlibat, walaupun dari aktivitas menulis itu mereka tak pernah mendapatkan upah, hanya jejak artikelnya terkomunikasikan kepada publik. Pada suatu waktu, dua orang peneliti media massa dari Solo dan Semarang menggunakan mereka sebagai subjek penelitian, kaitannya dengan aktivitas menulis di media massa.

 

Penghargaan

Saat tiba pada satu pertanyaan: apa penghargaan yang diberikan kampus ISI Solo atas aktivitas ini? Mahasiswa menjadi bingung karena sejauh yang mereka mengerti, kampus tak pernah memberikan apa pun kepada mereka. Kemudian, berceritalah peneliti itu bahwa di kampus lain setiap mahasiswa yang mampu menulis dengan baik di media massa dan menyertakan nama institusi diberi penghargaan oleh kampus.

Tak penting seberapa besar dan tingginya penghargaan itu. Namun, setidaknya kampus telah memberikan perhatian lebih kepada mahasiswa yang turut ”mengiklankan” dan sekaligus ”mengharumkan” nama kampus pada publik. Sampai di sini, mahasiswa penulis dari ISI Solo menanyakan kepada pejabat yang bersangkutan. Namun sayang, jawaban yang didapat tidaklah memuaskan. Intinya, kampus lebih memberikan perhatian pada ruang-ruang kreatif dalam bentuk praktik (menari, bermusik, mendalang, berteater) dibandingkan dengan menulis di media.

Aktivitas menulis di media dikebiri. Tidak dianggap sebagai laku kerja yang positif. ISI Solo dalam rentang sejarahnya memang dibangun dari kuatnya aktivitas laku otot dan tubuh dibanding laku otak dan pena. Seniman-seniman andal bermunculan, terkenal dan mendunia. Namun sayang, miskin penulis (media), apalagi melahirkan kritikus seni. Tolok ukurnya, sejak pertama kali media ini (SOLOPOS) membuka Mimbar Mahasiswa,  hanya Purnawan Andra (mahasiswa Jurusan Tari kala itu) yang tercatat sebagai satu-satunya mahasiswa ISI Solo yang pernah menulis di media massa.

Ironis memang, namun demikianlah keadaannya. Oleh karena itu, jangan heran kemudian jika kritik di media massa hanya akan menjadi angin lalu karena memang kebutuhan atas fungsi media belum atau bahkan tidak dianggap penting. Padahal media massa memiliki peran positif dalam mengomunikasikan dan mendekatkan ISI Solo dengan publik. Sudah selayaknya budaya menulis (media) ditumbuhkan dan menjadi aktivitas penting dalam denyut berkesenian.

Bertarung gagasan lewat ruang media adalah juga kerja intelektual, bukan sesuatu yang tanpa hasil. Publiklah yang akan menilai mana yang benar dan salah atas dasar apologi dan bukti-bukti yang diketengahkan. Tak cukup dengan hanya ngrasani atau nggrundhel apalagi nggondhok di belakang. Menyikapi kritik di media adalah dengan menulis di media, tidak di luar itu. Tanggap terhadap persoalan di media adalah dengan membangun aktivitas yang erat bersentuhan dengan media, termasuk kritik. Semoga saja ISI Solo tidak bebal kritik. Aamiin

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif