Kolom
Jumat, 1 Maret 2013 - 11:00 WIB

GAGASAN: Keharusan Dakwah Politik

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Thontowi Jauhari
Alumnus Pondok Pesantren Pabelan
Magelang. (FOTO/Istimewa)

Diskusi masalah ini mengingatkan tentang konsep hubungan Islam dan politik. Nyaris seluruh ulama sepakat bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Islam adalah agama universal yang mengatur seluruh dimensi kehidupan, termasuk masalah politik/kenegaraan. Bahkan para orientalis juga berpendapat demikian. John L Espito (1999) menegaskan bahwa Islam tak hanya berdimensi kerohanian, melainkan juga berdimensi kenegaraan. Islam berkembang sebagai gerakan keagamaan dan sekaligus gerakan politik.

Advertisement

Dalam praksis politik di Tanah Air, ada tiga varian gerakan politisi muslim. Pertama, mereka masuk partai politik dengan basis ideologi nasionalis. Alasan mereka, realitas historis partai nasionalis selalu menjadi pemenang pemilihan umum (pemilu), sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu di era reformasi ini. Meski mayoritas penduduk negeri ini memeluk agama Islam, namun secara politik mereka lebih nyaman masuk atau memilih partai nasionalis.

Kedua, mereka mendirikan partai nasionalis berbasis massa Islam. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Gus Dur dan Amien Rais berpendapat bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Artikulasinya tidak menggunakan Islam sebagai sesuatu yang bersifat simbolis, namun lebih bersifat subtantif.

Advertisement

Kedua, mereka mendirikan partai nasionalis berbasis massa Islam. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Gus Dur dan Amien Rais berpendapat bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Artikulasinya tidak menggunakan Islam sebagai sesuatu yang bersifat simbolis, namun lebih bersifat subtantif.

Ketiga, mereka mendirikan partai dengan basis ideologi Islam atau sering disebut dengan partai Islam. Yang disebut terakhir ini, mereka mengartikulasikan Islam dan politik secara jelas, di antaranya dengan mendirikan partai berasas Islam. Ada tiga partai Islam di era reformasi ini, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB).  

 

Advertisement

Dalam khazanah sejarah awal Islam, Nabi Muhammad SAW dapat disebut sebagai seorang politisi atau negarawan. Dakwah Nabi di Mekah, dengan metode "dakwah kultural" tanpa kekuasaan politik, hasilnya tidak terlalu efektif. Hingga sepuluh tahun di Mekah, penyiaran kebenaran  atau dakwah yang dilakukan Nabi hasilnya tidak begitu "memuaskan". Saat itu, posisi Nabi tidak mempunyai kekuasaan politik.

Setelah Nabi berhijrah ke Medinah, dengan menduduki jabatan politik dan sekaligus sebagai Nabi, hasil dakwahnya luar biasa dan efektif. Dengan faktor kekuasaan politik, sosialisasi nilai-nilai Islam berjalan secara cepat dan menyentuh hati banyak orang sehingga berbagai daerah sekitar Negara Medinah dikuasai. Prinsip-prinsip keadilan, kesejahteraan, keteraturan, egalitarianisme dan sistem musyawarah benar-benar dijunjung tinggi. Dokumen Piagam Madinah menjadi dokumen otentik bahwa dakwah Nabi sangat terkait dengan politik.

Itu artinya, politisi muslim yang berjuang untuk meraih kekuasaan melalui pemilu, baik kekuasaan di legislatif atau eksekutif, harus mempunyai cita-cita mulia, yakni dengan kekuasaan yang dicita-citakan tersebut bermaksud untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar, untuk mewujudkan kebaikan bagi publik (public goods) dan mencegah kemungkaran. Kekuasaan itu lebih bersifat instrumental untuk dakwah.

Advertisement

Mengapa dengan kekuasaan politik menjadi sangat efektif  melakukan dakwah? Itu karena orang-orang yang mempunyai kekuasaan politik tersebut  mempunyai wewenang (authority), legitimasi (legitimacy) dan pengaruh terhadap kehidupan orang banyak dalam suatu negara. Orang yang mempunyai wewenang berarti ia mempunyai hak untuk membuat kebijakan, mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-perundangan untuk mewujudkan cita-cita kehidupan bersama.

Ia juga mempunyai legitimasi atau keabsahan untuk memaksa agar publik menaatinya. Bagi yang tidak taat atau melanggar diberi sanksi. Bahkan, dengan kekuasaan, orang mempunyai legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan, keonaran dan sebagainya.

Sumber daya wewenang dan legitimasi yang dimiliki kekuasaan tersebut berimplikasi pada pengaruhnya yang luar biasa bagi kehidupan orang banyak, secara positif atau negatif. Secara positif jika kekuasaan dilakukan secara benar, secara negatif jika kekuasaan dilakukan secara tidak benar. Dalam konteks seperti inilah, dakwah politik itu menjadi keharusan, baik secara individual atau kolektif.

Advertisement

 

Surat Al-Ma’un

Dalam bahasa Moeslim Abdurrahman, tafsir surat Al-Ma’un untuk menyantuni orang-orang miskin tidak cukup hanya dengan mendirikan panti asuhan oleh perorangan atau sekelompok masyarakat. Mendirikan panti asuhan tersebut memang berdimensi amal saleh bagi para pendiri dan pengasuhnya. Tapi, jika diletakkan dalam konteks pemberantasan kemiskinan, model mendirikan panti asuhan tersebut tidak cukup.

Hal yang lebih penting dilakukan dalam rangka pelaksanaan surat Al-Ma’un adalah melalui kebijakan negara. Caranya? Tentu dengan cara merebut kekuasaan. Dengan kekuasaan politik akan menjadi efektif untuk memberantas kemiskinan. Negara mempunyai potensi sumber daya keuangan yang luar biasa banyaknya, jika dikelola dengan amanah untuk memberantas kemiskinan, tentu jauh lebih efektif.

Yang menjadi persoalan, apakah setiap politisi muslim telah menjadikan politik sebagai sarana dakwah dengan kekuasaan yang akan diperebutkan? Apakah kehadiran partai politik Islam, atau partai berbasis Islam, juga dimaksudkan untuk dakwah sehingga nilai-nilai Islam universal dapat diterjemahkan dalam kehidupan bernegara sehingga Islam menjadi rahmat untuk seluruh isi alam raya ini?

Inilah  yang menjadi problem. Politisi muslim menampakkan wajah korup, secara individual atau kolektif, tidak berbeda dengan para politisi pada umumnya. Politisi muslim tidak bisa menjadi teladan. Dijadikannya Luthfi Hasan Ishaaq menjadi tersangka kasus suap impor daging sapi semakin menjauhkan cita-cita bahwa kekuasaan  politik mestinya dipergunakan  sebagai sarana dakwah. Wallahu a’lam.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif