Kolom
Kamis, 28 Februari 2013 - 12:00 WIB

GAGASAN: Kelas Inspirasi untuk Berbagi

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Flo Kus Sapto W
Anggota Tim Pengajar
Kelas Inspirasi 2
Solo Mengajar. (FOTO/Istimewa)

Pada Selasa (26/2/2013), SOLOPOS memuat sebuah artikel yang menarik, Kelas Inspirasi dan Nalar Profesi, karya Tri Hariyanti. Artikel tersebut mengupas penyelenggaraan Kelas Inspirasi (KI) yang diadakan oleh Solo Mengajar pada Rabu (20/2/2013). Setidaknya ada empat hal penting yang dijadikan tema bahasan.

Advertisement

Pertama, KI dirasakan tidak akan bisa menyudahi krisis wawasan tentang cita-cita. Kedua, KI yang diadakan hanya dalam satu hari tidak efektif karena tidak ada kelanjutan (sustainability). Ketiga, KI dikhawatirkan akan berpengaruh buruk pada pamrih anak-anak sekolah dasar (SD). Keempat, KI akan menepikan cita-cita asli para tunas bangsa itu.

Terkait topik pertama, KI tentu tidak akan bisa menjadi satu-satunya resep manjur bagi keprihatinan terhadap krisis wawasan. KI tentu juga bukan satu-satunya media untuk menjawab seluruh problematika pendidikan di negeri ini. Banyak aspek lain yang saling bersinggungan dan berkolaborasi menentukan kualitas output pendidikan nasional.

Advertisement

Terkait topik pertama, KI tentu tidak akan bisa menjadi satu-satunya resep manjur bagi keprihatinan terhadap krisis wawasan. KI tentu juga bukan satu-satunya media untuk menjawab seluruh problematika pendidikan di negeri ini. Banyak aspek lain yang saling bersinggungan dan berkolaborasi menentukan kualitas output pendidikan nasional.

Namun, KI setidaknya akan menjadi bagian kecil–walau teramat sangat kecil–untuk turut memberikan sesuatu yang positif. Di sinilah KI bisa turut memberikan perluasan wawasan. Hal itu sebagian justru karena keberagaman profesi yang disandang oleh para pengajar KI. Perlu juga dijadikan bahan pertimbangan bahwa saat ini pilihan cita-cita orisinal–jika kriteria orisinal adalah yang spontan diucapkan para siswa–sudah sangat beragam.

Di antara sekian profesi umum yang disebutkan, seperti dokter dan guru, muncul juga profesi lain yang sangat variatif. Misalnya sebagai pemain sepak bola, tukang batu dan bahkan sopir. Tentu ini layak diapresiasi, disertai pemahaman bahwa latar belakang siswa-siswa itu memang dekat dengan profesi itu. Pengajar KI pasti tidak akan mendiskreditkan pilihan profesi itu.

Advertisement

Inspirasinya memang dari para pemegang profesi itu. Tapi, tidak semata-mata untuk memaksakan pilihan profesi secara spesifik. Sama seperti mata pelajaran musik, matematika, tari, lukis, sejarah, bahasa dan ilmu pengetahuan alam juga diajarkan untuk semua siswa. Tanpa disertai pemaksaan kelak mereka harus jadi matematikawan, pemusik, penari, pelukis, sejarawan, ahli bahasa atau ilmuwan.

Dunia pendidikan memang mempunyai ruang dan waktu serta perangkat-perangkatnya sendiri. Banyak kritik diarahkan kepada ekslusivisme regulasi yang justru mengalienasi dunia pendidikan dari dunia profesi. Perlu diakui bahwa ada jarak cukup lebar antara pengetahuan yang diterima sebagai materi akademik dengan praktik di dunia profesi. Misalnya, nilai akademik tinggi tidak selalu berkorelasi positif dengan tingginya kemampuan bekerja sama.

Termasuk di dalamnya bekerja sama dan menyesuaikan diri dengan situasi dan lingkungan kerja, misalnya membedakan pekerjaan urgent dan important. Padahal perilaku yang mengindikasikan kemampuan menyesuaikan diri dengan ritme organisasi/organizational citizenship behaviour (COB) sangat berperan. Sayang kalau seseorang yang pintar secara akademik harus terkendala hanya karena hal-hal teknis di dunia profesi.

Advertisement

 

Inspiratif

Terkait topik kedua, yaitu tidak adanya sustainability KI karena hanya diadakan dalam satu hari, bisa sangat dipahami karena kurangnya informasi. Aplikasi program KI memang hanya diadakan sehari. Namun, semangat berbagi yang diagendakan dalam KI tidak berhenti. Masing-masing grup KI yang mengajar di SD tertentu diberikan keleluasaan untuk menindaklanjuti ide-ide inspiratif yang didapatkan.

Advertisement

Misalnya, ada satu SD yang kewalahan mengurus perpustakaan karena ketiadaan sumber daya manusia (SDM). Formasi di SD itu lima guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) yang tiga di antara mereka sudah terserap sebagai wali kelas I- II. Dua sisanya merupakan guru agama dan olahraga. Kelas IV–VI diampu oleh tenaga guru wiyata bakti. Sisanya adalah satu orang kepala sekolah dan seorang tukang kebun. Tidak ada yang khusus mengelola perpustakaan.

Jika KI kemudian hanya menyarankan untuk menambah SDM, tidak perlu Rheinald Kasali untuk dimintai saran menejemen. Agenda ini tentu memerlukan pemikiran yang tidak hanya sehari dua hari. Banyak contoh lain yang membutuhkan pemikiran KI untuk ditindaklanjuti (peningkatan kreativitas dalam keterampilan musik, melukis, tulis menulis dan sebagainya).

Terkait topik ketiga, yaitu kekhawatiran KI akan memberikan pengaruh buruk justru pada motivasi para siswa setelah pengenalan profesi, agaknya terlalu berlebihan. Apa yang disampaikan dalam KI tidak melulu tentang seluk-beluk profesi tertentu. Sebagian inspirasinya adalah justru pada nilai-nilai yang bisa diperoleh dalam proses memiliki profesi tertentu itu. Salah satu inspirator misalnya adalah penerima beasiswa sejak TK sampai SMA.

Inspirator lainnya membiayai kuliahnya sendiri sejak semester II dari hasil tulisannya. Ada juga inspirator yang sudah menjabat sebagai general manager sebuah perusahaan otomotif pada saat usianya yang sangat muda (33 tahun). Sedangkan nilai-nilai kemandirian dan semangat pantang menyerah bisa didapatkan dari inspirator lain yang berprofesi sebagai pengusaha dan guru privat murid SD. Adapun nilai-nilai untuk tidak gampang putus asa juga bisa didapatkan dari inspirator yang pernah menjadi loper koran dan pengemudi taksi untuk membiayai sekolahnya.

Tentu ada juga pemilih profesi sebagai pramugari yang gagal dan kemudian justru sukses sebagai fotografer. Proses untuk menjadi ”seseorang” itulah yang justru sangat inspiratif daripada sekadar pilihan profesi itu sendiri. Inspirator juga tidak diperkenankan untuk menyebutkan nilai nominal jika ada pertanyaan dari para siswa tentang gaji. Hal ini untuk menghindari inspirasi sebatas pada ketertarikan materi.

Terkait topik keempat agaknya sudah bisa mendapatkan jawaban dari ulasan di atas. Hal terpenting adalah bahwa KI memang didesain untuk memberikan sesuatu seinspiratif mungkin, meski dalam keterbatasan waktu. Dasar filosofisnya adalah berpikir besar, bertindak sepele, dilakukan sekarang.

Sangat penting juga untuk mengetahui apa pendapat para guru dan murid di kelas-kelas inspirasi. Sejauh ini mereka mengapresisasinya secara positif. Teristimewa karena KI tidak dimaksudkan untuk memberikan donasi-donasi karitatif, seperti yang selama ini marak dilakukan dan berhenti sekadar untuk kepentingan alokasi anggaran. KI tidak diperkenankan menyelipkan sponsor di dalamnya. KI juga tidak hendak memberikan honor bagi para inspiratornya.

Bahkan salah satu kriteria perekrutan pengajar KI adalah ”hanya” kesanggupan untuk cuti sehari pada saat diadakannya KI (Rabu, 20/2). Kesanggupan ini mungkin terlihat ringan bagi sebagian orang. Namun, belum tentu demikian halnya bagi para inspirator. Apalagi yang berasal dari luar daerah. Dibutuhkan tidak hanya niat untuk bisa bergabung dalam KI. Spirit ini yang mestinya harus dihargai sebagai masukan positif bagi kesediaan untuk berbagi. Secara konseptual KI sangat bisa untuk diperluas sebagai sebuah media penghubung antara dunia akademik dan profesi.

Kini juga bermunculan kelas-kelas inspirasi di tataran perguruan tinggi. Konkretnya adalah mengundang alumni untuk berbagi. Tidak untuk membagikan donasi. Mereka diundang untuk memberikan seluruh pengalaman dan seluk-beluk praktik di dunia profesional sehingga bisa memberikan gambaran nyata bagi para adik-adik kelas. Tentu opini ini juga tidak dimaksudkan untuk mengecilkan beberapa kekhawatiran kritis yang muncul. Nilai-nilai hidup tentu tidak hanya didominasi oleh profesi tertentu. Sebagaimana inspirasi juga tetap bisa didapatkan baik dari fotografer, petani, penulis, penjahit, loper koran, nelayan, bahkan pengemudi taksi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif