Redaksi Solopos.com / R. Bambang Aris Sasangka | SOLOPOS.com
Penyerbuan Jepang ke Pulau Jawa adalah kelanjutan dari invasi yang sudah terlebih dahulu dilakukan ke wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Armada Jepang terdiri atas armada transpor yang membawa pasukan pendarat dengan segala perlengkapan dan perbekalan, yang dikawal oleh armada tempur di bawah komando Laksamana Muda Takeo Takagi. Setelah beberapa kali berupaya menahan laju serbuan armada Jepang yang mengakibatkan sejumlah pertempuran laut seperti Pertempuran Selat Makassar dan Pertempuran Selat Badung, komando gabungan Sekutu yang disebut ABDACOM akhirnya berharap bisa menggagalkan serbuan pamungkas Jepang ke Hindia Belanda melalui pendaratan di Pulau Jawa.
Tugas menggagalkan pendaratan ini jatuh pada gugus tempur laut gabungan yang dikomandoi Laksamana Muda Karel Doorman dari Belanda, dan terdiri atas kapal-kapal perang Belanda, Australia, Inggris dan AS. Meski sifatnya gabungan, namun gugus tempur ini sebenarnya lemah karena jarang berlatih bersama sehingga memiliki sistem dan prosedur yang sama, memiliki keterbatasan sumber daya dan sebagian kapal perangnya adalah kapal tua dari era Perang Dunia I.
Gugus tempur ini kemudian mencoba mencegat armada pendarat Jepang di Laut Jawa sekitar Pulau Bawean, Jawa Timur, pada 27 Februari 1942. Strategi Doorman yang sadar dengan kelemahan gugus tempurnya adalah menyerang armada transpor yang lemah dan menghindari armada tempur Jepang. Pertempuran pun pecah pada tengah hari hingga tengah malam. Segala upaya Doorman untuk menyerang armada transpor selalu berhasil dicegah oleh kesigapan armada tempur sehingga satu demi satu kapal-kapal perang Doorman berhasil dilumpuhkan atau ditenggelamkan. Bahkan Karel Doorman sendiri akhirnya tewas saat kapal perang yang ditumpanginya, HrMS De Ruyter tenggelam akibat serangan torpedo Jepang.