Kolom
Senin, 11 Februari 2013 - 12:00 WIB

MEA..., Makhluk Apakah Itu?

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Ahmad Djauhar
Wartawan Jaringan Informasi
Bisnis Indonesia (JIBI). (FOTO/Istimewa)

Awal 2015, tak sampai dua tahun lagi, Indonesia bersama sembilan negara di Asia Tenggara akan memasuki babakan baru dalam berkehidupan antarbangsa menjadi satu entitas regional. Tepatnya pada 1 Januari 2015, ke-10 bangsa di Asia Tenggara ini akan menjadi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Advertisement

Ini merupakan kesepakatan yang mengikat. Artinya, anggota ASEAN terikat pada ketentuan yang telah dipersiapkan dan dibahas oleh para pemimpin bangsa di Asia Tenggara bertahun-tahun sebelumnya itu. Mereka tidak bisa lagi memunda ataupun menghindar. Itu merupakan point of no return.

Implikasi dari pemberlakuan MEA tersebut adalah produk barang atau jasa yang diproduksi di mana pun di seluruh wilayah ASEAN boleh dialirkan atau pun dipasarkan ke seluruh wilayah anggota perserikatan bangsa-bangsa di Asia Tenggara itu tanpa bea masuk seperti selama ini.

Advertisement

Implikasi dari pemberlakuan MEA tersebut adalah produk barang atau jasa yang diproduksi di mana pun di seluruh wilayah ASEAN boleh dialirkan atau pun dipasarkan ke seluruh wilayah anggota perserikatan bangsa-bangsa di Asia Tenggara itu tanpa bea masuk seperti selama ini.

Sebagai contoh, durian petruk dari Jepara bisa diperoleh di Hanoi, Vietnam, dengan harga relatif sama dengan di Yangoon, Myanmar karena variabel pembedanya hanyalah ongkos angkut. Sebaliknya, handphone buatan Vietnam nantinya akan dengan mudah—dan relatif murah—diperoleh di Jayapura, Papua, atau pun di Davao, Filipina.

Demikian pula halnya dengan tukang kayu dari Laos, misalnya, tidak boleh dihalang-halangi bila ia ingin bekerja di Klaten, Jawa Tengah, tapi sebaliknya dokter Indonesia akan dapat bebas berpraktik di Manila ataupun kota-kota lain di negara anggota ASEAN.

Advertisement

Permasalahan yang muncul kemudian adalah kesiapan yang sesungguhnya dari segenap rakyat di kawasan ASEAN ini. Banyak pihak meyakini bahwa masih banyak warga ASEAN yang tidak paham mengenai apa esensi dari MEA.

Belum lagi sikap ego kebangsaan seperti yang kita rasakan bersama selama ini. Misalnya, karena rakyat Malaysia merasa diri sudah lebih maju dan banyak mempekerjakan orang Indonesia sebagai pekerja kelas rendahan di negeri itu, timbul sikap congkak mereka.

 

Advertisement

Elitis

Sikap seperti itu tentunya akan mudah terbawa pada saat diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang pada dasarnya menuntut dan mengakui kesamaan hak dan kewajiban di antara bangsa-bangsa yang terikat pada sistem tersebut.

Belum lagi penerimaan di dalam negeri kita sendiri. Kita tentu belum lupa ketika pada 1 Januari 2010 diberlakukan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Betapa gaduhnya penolakan oleh berbagai kelompok masyarakat di negeri kita yang pada intinya menyatakan ketidaksiapan bangsa Indonesia. Tudingan dari berbagai pihak tadi serempak, yakni kebijakan yang ditentukan secara elitis tanpa sosialisasi.

Advertisement

Ketika itu, timbul anggapan bahwa dengan kesepakatan ACFTA tersebut, dapat dipastikan penetrasi produk China—yang sebelumnya sudah membanjiri pasar lokal, termasuk sebagian besar yang ilegal—akan semakin membanjiri pasar domestik dan hal itu tentu saja berimplikasi pada pelemahan daya saing industri di dalam negeri.

Terbukti, memang, bahwa sejak diberlakukannya skema ACFTA tersebut, neraca perdagangan Indonesia dan China memang berubah drastis. Surplus senantiasa berada di pihak China. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya justru Indonesia yang mengalami surplus.

Demikian pula dengan MEA ini nanti, dikhawatirkan akan terulang kembali protes berkepanjangan dari kalangan masyarakat, mengingat banyak di antara mereka merasa belum ada sosialisasi tentang program tersebut. Terlebih penetrasi pasar domestik tersebut nantinya juga melibatkan kehadiran tenaga kerja asing yang tentu saja merupakan sebuah keniscayaan.

Karena itu, dari sekarang pemerintah seharusnya sudah melakukan persiapan matang untuk menyosialisasikan konsep MEA tersebut agar masyarakat tidak terkaget-kaget ketika tiba pada saatnya nanti.

Tentu saja akan menjadi sebuah kekonyolan dan menjadikan kita bahan ledekan di komunitas internasional apabila pada 1 Januari 2015 nanti hanya bangsa Indonesia yang ramai-ramai menyatakan penolakan. Sedangkan sebagian besar warga di negara lain anggota ASEAN dapat menerimanya dengan legawa. Mereka mungkin sudah tercerahkan oleh program sosialisasi yang ditempuh pemerintah masing-masing.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif