Tokoh
Selasa, 5 Februari 2013 - 12:15 WIB

Oesman Arief: Bekerja dan Kuliah

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Oesman Arief saat menghadiri acara temu 10 Xue Shi Agama Konghucu pada 7-10 Mei 2010

Oesman Arief saat menghadiri acara temu 10 Xue Shi Agama Konghucu pada 7-10 Mei 2010

Kisah yang sangat membekas dari perjalanan hidup Oesman ialah ketika terjadi agresi militer Belanda 1947. Saat itu, Oesman yang baru berusia empat tahun merasakan betul bagaimana pedihnya menjadi seorang pengungsi yang dikejar-kejar warga anti-China.

Advertisement

“Saat itu kami mengungsi ke Solo bersama keluarga dari Ngampel, Boyolali. Semua harta ditinggal,” demikian kisah Oesman.

Kota Solo kala itu adalah tempat persembunyian yang paling aman. Di Kota Bengawan inilah ia menemukan sanak saudara dan teman-teman sesama warga Tionghoa. Namun, kabar duka itu kembali menyelimuti keluarga Oesman tiga tahun selepas agresi militer Belanda reda. Ketika keluarga Oesman kembali ke kampung halaman, toko yang juga rumah orangtuanya tinggal puing-puing.

“Seluruh isi rumah kami dijarah. Kami enggak punya apa-apa lagi untuk usaha,” kata Oesman.

Advertisement

Beruntung semangat keluarga Oesman tak ikut hancur. Mereka lantas membangun kembali sisa-sisa rumahnya dengan dinding anyaman bambu seadanya. Perlahan, usahanya kembali menggeliat. Keluarga Oesman pun bangkit dengan kemandiriannya. Oesman muda lantas merantau ke Kota Solo. Di sana, ia bekerja semampunya. Oesman juga memberanikan diri membuka toko kecil-kecilan di Klaten. Aneka kebutuhan sembilan bahan pokok ia jajakan di sana. Hasilnya, ia pakai untuk menopang keluarga dan melanjutkan kuliah. “Setelah lulus SMA, saya kuliah di IKIP Solo [sekarang UNS]. Saat itu, saya mengambil Filsafat Kebudayaan Jawa,” katanya.

Tak puas di situ, Oesman lantas menempuh S1 di UGM tentang Filsafat Umum. Dari sana, ia dipercaya sebagai dosen di UNS. Jenjang pendidikannya lantas berlanjut ke Jakarta dengan mengambil sejarah. Terakhir, dia menempuh pendidikan S3 di Jurusan Filsafat China di UGM.

Bagi Oesman, bekerja dan kuliah adalah sinergi hidupnya. Bersama istrinya, Yeni Kurniati, ia membaptiskan hidupnya sebagai seorang pendeta. Ia pun menjadi dosen, pendeta, sekaligus pekerja dan bapak rumah tangga.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif