Tokoh
Selasa, 22 Januari 2013 - 11:08 WIB

Wahyu Susilo: Perang Melawan Perdagangan Manusia

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Wahyu Susilo. (FOTO/Istimewa)

Wahyu Susilo. (FOTO/Istimewa)

Pria ini tumbuh dan berkembang berkawan kemiskinan. Ayahnya adalah seorang penarik becak. Ibunya tak bisa baca-tulis. Para tetangganya berasal dari kumpulan orang-orang pinggiran. Namun, dari situlah kesadaran sosialnya terasah.

Advertisement

Ketika usianya beranjak dewasa, ia mulai melawan sistem ketidakadilan dari lingkungan terkecil di sekitarnya. Dari dalam kampus, ia getol menolak sistem militeristik ala Orde Baru. Bersama aktivis lainnya, ia juga kerap ”melompat” pagar kampus agar bisa melebur bersama kaum pinggiran di Solo yang terampas hak-haknya.

Dialah Wahyu Susilo, aktivis buruh migran yang getol memerangi segala bentuk perdagangan dan eksploitasi para tenaga kerja Indonesia (TKI).

Minggu (20/1), Espos bertemu dan berbincang dengannya di sela-sela diskusi perburuhan di Balai Soedjatmoko Solo. Dalam kesempatan itu, adik kandung penyair Wiji Thukul ini mengaku seperti menemukan kembali suasana Solo setelah sekian tahun lamanya hidup di Ibu Kota Jakarta. “Waktu masih mahasiswa, saya sering ke sini,” kata lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sejarah UNS Solo 1994 silam ini.

Advertisement

Masa lalu Wahyu memang dikenal sebagai aktivis pergerakan mahasiswa. Tahun 1980-1990-an, ketika Orde Baru masih bercokol kuat, pria kelahiran Jagalan, Jebres, Solo, 3 November 1967 ini terjun di lapangan dan menghadapi problem-problem sosial. Mulai masalah penggusuran di Kedungombo hingga kasus-kasus buruh di wilayah Jateng. Ia pernah diskors kampus lantaran mengkritik pedas latihan baris berbaris di dalam kampus. Latar belakangnya sebagai pegiat pers kampus pun turut menumbuhkan dirinya menjadi intelektual muda kala itu. “Saat kuliah, saya memang nyambi di Persma Kalpadruma. Saya belajar menulis di sana,” kata suami Misyah ini.

Setelah tujuh tahun menamatkan kuliah, Wahyu tetap konsisten melanjutkan aktivitasnya di sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Solo. Sempat ia mendaftar sebagai dosen di almamaternya namun akhirnya ditolak. “Hla wong saya itu di-black list kampus selama menjadi mahasiswa, kok malah mendaftar jadi dosen. Ya jelas enggak diterima,” kenangnya tersenyum.

Tuhan memang memiliki rencana lain. Sensitivitas Wahyu yang tinggi terhadap persoalan kaum buruh akhirnya membulatkan tekadnya untuk tetap setia di jalan itu. Baginya, pembelaan terhadap hak-hak buruh sama halnya dengan pembelaan terhadap hak-hak hidupnya sendiri. Di wajah kaum buruh dan orang-orang yang terpinggirkan itulah, Wahyu menemukan wajahnya sendiri. Di sana, ada seutas tali pengalaman getir yang menghubungkan dirinya dengan mereka, serta menciptakan rasa senasib dan solidaritas yang kuat.

Advertisement

“Saya dan buruh tak berjarak. Mereka adalah saya dan saya adalah mereka,” katanya.

Awal 2000-an, ketika masalah TKI dan anak-anak memuncak di Tanah Air, aktivitas Wahyu kian meluas. Pada 2007, ketika ia baru bergabung dengan organisasi yang fokus pada masalah TKI, Migrant Care, Wahyu diganjar penghargaan Hero Acting to End Moderns Recovery, sebuah penghargaan yang diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat kepada orang-orang yang berjasa memerangi perdagangan manusia. Gelar itu seketika menempatkan Wahyu sebagai orang ketiga berjuluk “hero” setelah Dewi Hughes dan Kyai Haji Husein Muhammad, sang pelopor fikih anti-trafficking. “Sebenarnya, semua perempuan atau orang di Indonesia yang melawan perdagangan manusia adalah pahlawan juga,” kata Wahyu merendah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif