Tokoh
Selasa, 22 Januari 2013 - 11:03 WIB

Wahyu Susilo: Memahami Realitas Sosial dari Wiji Thukul

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Wahyu Susilo (kelima dari kanan) bersama peserta diskusi soal TKI di Balai Soedjatmoko, Solo, Minggu (20/1/2013). Dalam kesempatan itu Wahyu memaparkan persoalan-persoalan yang dihadapi TKI.

Wahyu Susilo (kelima dari kanan) bersama peserta diskusi soal TKI di Balai Soedjatmoko, Solo, Minggu (20/1/2013). Dalam kesempatan itu Wahyu memaparkan persoalan-persoalan yang dihadapi TKI.

Wahyu Susilo mengaku banyak berutang budi kepada kakaknya, Wiji Thukul. Pria yang dihilangkan paksa oleh negara menjelang tumbangnya penguasa Orde Baru, menurut Wahyu, adalah sosok pejuang sosial dari kelas pinggiran. Dari kakaknya itulah, jiwa Wahyu ditempa. Dari kakaknya jua, ia sadar betapa realitas sosial di negerinya ini penuh dengan ketimpangan.

Advertisement

“Kakak saya itu mengajari saya bagaimana semestinya memahami situasi sosial,” ujar Wahyu.

Ada cerita menarik sekaligus menggetarkan jiwa Wahyu mengenai kakaknya itu. Suatu hari, salah satu tetangga mereka tertimpa musibah dan harus dilarikan ke rumah sakit (RS) di Kota Solo. Wiji Thukul yang tahu betul betapa miskinnya tetangganya itu tak tinggal diam. Sebagai seorang warga yang dibesarkan dalam tradisi kritis kepada penguasa, Thukul mulai bergerak. Ia mengorganisasi dan membangun solidaritas para pemuda kampung.

Hari yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba. Prediksi Thukul tak meleset. Tetangganya yang sudah sembuh itu tertahan di RS lantaran belum mampu membayar biaya berobat. Ia meminta salah satu pemuda kampung yang wajahnya mirip tetangganya untuk membesuk ke RS bersamanya. Setiba di RS, pemuda kampung itu menggantikan posisi tetangganya dengan berbaring di RS. Alhasil, tetangganya itu berhasil kabur bersama Thukul dengan selamat.

Advertisement

“Petugas lalu meradang dan mengirim utusan untuk melacak alamat tetangga kami,” kisah Wahyu.

Strategi Thukul tetap seperti semula. Ia mengerahkan pemuda kampung untuk bersama-sama membentengi tetangganya yang miskin itu. “Kalau mau menangkap tetangga kami, tangkaplah kami semua. Tetangga kami orang miskin, tak punya harta untuk membayar obat. Negaralah yang semestinya melindungi warganya,” kata Wahyu menirukan intisari kata-kata pemuda kampung itu.

Peristiwa itu terjadi 27 tahun silam. Hingga kini, peristiwa itu masih membekas di lubuk hati Wahyu. Kisah dari sang kakaknya itulah yang memberikan tetirah Wahyu tentang bagaimana semestinya orang pinggiran bergerak merebut hak kembali yang terampas.

Advertisement

“Sebagai orang kecil, cara untuk mendapatkan kembali hak hidup yang layak ialah dengan berjuang. Kalau tidak bergerak, kita akan terus ditindas,” paparnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif