News
Senin, 21 Januari 2013 - 20:55 WIB

Inilah Tajuk SOLOPOS Pemenang Anugerah Jurnalistik Adinegoro

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Verdy Bagus H (Dok/JIBI/SOLOPOS)

Verdy Bagus H (Dok/JIBI/SOLOPOS)

SOLO–Tajuk Harian Umum SOLOPOS berjudul Buruk Muka Hukum, Hati Nurani Dibelah berhasil menjadi pemenang dalam Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2012. Tajuk yang ditulis oleh wartawan SOLOPOS Verdy Bagus H tersebut ditayangkan pada 9 Agustus 2012.

Advertisement

Inilah tajuk berjudul Buruk Muka Hukum, Hati Nurani Dibelah:

Bima Nindia Mega Nuraditia mungkin bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang bocah lelaki berumur 15 tahun yang tinggal di sebuah dusun di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Advertisement

Bima Nindia Mega Nuraditia mungkin bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang bocah lelaki berumur 15 tahun yang tinggal di sebuah dusun di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Ayahnya seorang sopir bus malam, sedangkan ibunya bekerja di Abu Dhabi sebagai tenaga kerja Indonesia. Karena kerap ditinggal kedua orangtuanya, sejak kecil Bima diasuh neneknya.

Bukan salah Bima semata bahwa dia akhirnya tumbuh menjadi anak nakal yang suka mencuri. Faktor orangtua dan keluarga turut berperan dalam membentuk karakter seorang Bima. Tapi jangan lupa, masyarakat dan negara pun sejatinya ikut bertanggung jawab. Kenakalan anak dan remaja sesungguhnya cermin dari wajah buruk suatu masyarakat. Demikian lah realitasnya.

Advertisement

Soal pencurian uang, jika memang terbukti demikian, jelas Bima bersalah. Tapi, tindakan main hakim yang biadab dan brutal terhadap orang yang dituduh telah melakukan perbuatan pidana, tetap tidak bisa dibenarkan. Apalagi terhadap seorang anak, yang notabene sudah tegas diatur dalam Undang-Undang No 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA).

Pasal 16 Ayat (3) UUPA menyatakan penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Sudah 10 tahun UUPA berlaku namun kasus salah penanganan seperti dialami Bima masih saja terjadi sampai detik ini. Sungguh tragis dan ironis!

Muaranya, semua pihak lantas menuding lemahnya penegakan hukum dan buruknya kinerja aparat penegak hukum di negeri ini adalah biang keladi dari persoalan seperti yang dialami Bima. Banyak warga kita yang meragukan kepastian hukum. Bagaimana mau percaya ke polisi saat masih sering terjadi polisi bertindak semena-mena terhadap rakyat yang seharusnya mereka ayomi.

Advertisement

Persoalannya, kita toh masih punya hati nurani. Masih ada ajaran agama yang bisa membentengi diri kita dari perbuatan keji dan sewenang-wenang. Satu hal yang pasti, tidak ada satu agama pun di dunia yang membenarkan perilaku zalim. Maka, kita tentu sepakat berharap kasus Bima ini tak terulang lagi hingga akhirnya menjadi budaya. Mengubah masyarakat kita dari bangsa beradab menjadi bangsa biadab.

Dalam kasus Bima, polisi menjerat para tersangka penganiaya dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukumannya maksimal lima tahun enam bulan penjara. Menjadi pertanyaan mengapa polisi tidak menjerat mereka dengan Pasal 80 Ayat (3) UUPA agar dapat lebih menimbulkan efek jera dan sekaligus membuat kita semakin berhati-hati.

Dengan acuan UUPA, mereka yang telah ”menghakimi” Bima hingga tewas terancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta. Kita dan terutama lembaga yang khusus menangani perlindungan anak harus mengawal kasus-kasus seperti ini hingga tuntas. Agar tak terulang kasus masyarakat menimpakan kesalahan kepada anak nakal,  yang sebenarnya si anak itu hanyalah korban dari penelantaran dan perlakuan salah masyarakatnya sendiri. Ibarat buruk muka, cermin dibelah.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif