Siang selepas pukul 14.00 WIB, Kamis pekan lalu, Ramyono bergegas ke Mapolresta Solo. Tangan kanannya menggenggam seikat sapu lidi. Sebanyak 45 biji cabe dan sembilan siung bawang merah ia tancapkan pada masing-masing ujung sapu lidi itu.
Setiba di Mapolresta, abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat itu akan bersimpuh dan merapal doa dengan khusyuk. “Malam ini, Polres punya gawe. Saya diminta untuk membantu kelancaran acara,” kata Ramyono di Sasana Sewaka Keraton Surakarta, Kamis (17/1/2013) sesaat sebelum bergeser ke Mapolres Solo.
Hari beranjak petang. Tamu-tamu pun mulai berdatangan. Namun, langit di Kota Solo malam itu cerah tanpa awan. Halaman Mapolresta yang dibanjiri seribuan warga itu menjadi saksi bisu atas kesuksesan perhelatan pengajian itu. “Alhamdulillah acara berjalan lancar. Saya lega,” kata Agus Santosa, salah satu abdi dalem Keraton yang menemani Ramyono melakukan ritual itu.
Ramyono mengaku malam itu hanya memindahkan awan hujan dari satu lokasi ke lokasi lain. Ia melakukan itu lantaran adanya sebuah permintaan dan alasan kemanfaatan yang lebih luas.
“Kami enggak boleh menolak hujan. Hujan itu anugerah. Kami hanya bisa memohon agar digeser hujannya,” jelas pria berusia 70 tahun itu.
Di musim penghujan seperti ini, keseharian Ramyono memang lebih banyak di luar Keraton. Maklum, sebagai pawang hujan, Ramyono tak bisa menolak permintaan masyarakat yang membutuhkan tangan dinginnya.
Sepekan lalu misalnya, Ramyono diminta menggeser awan hujan oleh utusan petinggi partai politik di Kota Solo. Usaha Ramyono kala itu tak mengecewakan. Dengan seikat uba rampe tombak sewu dan keyakinan doa di hati, warga Kampung Carikan, Baluwarti, Pasar Kliwon ini berhasil menggeser hujan.