Tokoh
Selasa, 15 Januari 2013 - 13:51 WIB

Teguh Harianto: Singa Penjaga Wibawa Meja Hijau

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Teguh Harianto

Teguh Harianto

Pria ini hadir di tengah wajah peradilan di negeri ini coreng-moreng. Ketika banyak orang kecil diseret ke meja hijau gara-gara melakukan kesalahan kecil, sebaliknya, koruptor dihukum ringan, lelaki berkumis tebal ini memilih menjatuhkan vonis terberat bagi koruptor. Dialah Teguh Harianto, mantan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat yang pernah mengganjar 20 tahun penjara kepada jaksa Urip Tri Gunawan dalam kasus suap penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Artalita Suryani.

Advertisement

“Saya itu gemes kalau mendengar ada koruptor hanya divonis tiga tahun penjara. Padahal, uang negara yang dirampok bermiliar-miliar rupiah,” kata Teguh saat berbincang dengan para jurnalis seusai dilantik sebagai Wakil Kepala Pengadilan Negeri (PN) Solo, Rabu (9/1) lalu.

Ya, sekitar empat tahun silam, Teguh memang pernah bikin gempar jagat peradilan. Teguh yang kala itu baru dua tahun menjadi hakim Tipikor di Jakarta Pusat dengan tegas menjatuhkan vonis terberat bagi jaksa Urip, yakni 20 tahun penjara, sebuah hukuman tertinggi bagi koruptor sepanjang sejarah Indonesia. Atas keberaniannya itulah, Teguh menerima julukan sebagai hakim yang paling ditakuti para koruptor. Ibarat raja hutan, Teguh adalah singa yang bertugas menjaga kewibawaan pengadilan.

“Musuh utama saya di persidangan itu ada tiga: korupsi, kasus narkoba dan pemerkosaan,” ujar lelaki kelahiran Boyolali ini.

Advertisement

Selain menghukum jaksa Urip, Teguh juga tercatat pernah menghukum enam tahun penjara Bulyan Royan, anggota DPR yang menerima suap pengadaan kapal patroli di Kementerian Perhubungan. Selain itu, Artalyta Suryani, terdakwa kasus BLBI juga diganjar lima tahun penjara tanpa ampun oleh Teguh. “Kita kan selalu bilang, korupsi itu extraordinary crime [kejahatan luar biasa] dan musuh bersama. Tapi kenapa, dalam implementasinya korupsi dianggap sebagai ordinary [biasa]?” tanya Teguh heran.

Bapak beranak tiga ini memang hanya dua tahun menjabat sebagai hakim Tipikor di Jakarta Pusat. Meski demikian, keberaniannya dalam menghukum sederet koruptor kelas kakap mendapatkan acungan jempol dari pegiat antikorupsi negeri ini. Apresiasi Teguh itu bukan hanya ketika ia memutuskan kasus korupsi di meja persidangan. Dalam keseharian, Teguh yang dikenal bersahaja dan nyentrik juga menjadi bahan perbincangan para hakim dan pegiat antikorupsi. Saat masih bertugas di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, pria yang hobi menggebuk drum ini menolak naik mobil pribadi atau mobil dinas ketika berangkat kerja dari kediamannya di Jl Pakis Raya, Taman Jasmin, Bogor. Ia memilih naik ojek, angkot atau kereta sambil berdesak-desakan dengan penumpang lain. Alasannya, lebih rasional yakni efektivitas dan efisiensi.

“Jakarta macetnya kayak gitu, kalau saya naik mobil malah terjebak kemacetan,” paparnya.

Advertisement

Pemutasian Teguh dari Pengadilan Tipikor ke PN hingga sekarang memang masih menyisakan tanda tanya dan kritikan dari pegiat antikorupsi. Sejumlah kalangan menilai Mahkamah Agung (MA) sengaja “membuang” Teguh lantaran ia dianggap sebagai hakim yang tak kenal kompromi dengan terdakwa koruptor. Menjawab pertanyaan ini, Teguh pun hanya tersenyum sambil tetap berprasangka baik.

“Yang jelas, di mana pun ditugaskan, saya akan bekerja secara profesional. Prinsip saya bekerja, tak akan pernah meminta [jabatan],” paparnya.

Teguh barangkali adalah potret para hakim yang masih percaya kepada kekuatan nurani. Teladan darinya itu menerbitkan secercah harapan kepada anak bangsa bahwa negeri ini pasti mampu melawan koruptor. “Insya Allah saya akan tetap teguh seperti nama saya,” paparnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif