Umum
Jumat, 11 Januari 2013 - 10:30 WIB

Yuk Berwisata Kuliner Halal

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Peta Kuliner Halal di Dapoer Bistik, Solo

Peta Kuliner Halal di Dapoer Bistik, Solo

Sebuah peta Solo berbingkai rapi terpasang di muka sebuah rumah makan, Dapoer Bistik di Penumping, Solo. Peta panduan kuliner se-Solo itu bakal menyapa siapa saja yang masuk dan siap menjadi acuan pemburu kuliner. Tapi itu bukan peta kuliner biasa, melainkan peta yang menunjukkan lokasi-lokasi kuliner yang menyediakan makanan halal khususnya jenis makanan tradisional. Pencetus peta kuliner halal tersebut yakni Gerakan Masyarakat Cinta Masakan Halal dan Tradisional.
Sekretaris gerakan tersebut, Muhammad Yuli Sya’ban, mengungkapkan gerakan itu muncul karena sebagian masyarakat muslim di Solo gelisah dengan sebagian kondisi kuliner yang tidak jelas halal atau haram. Terlebih pernah dipersoalkan tentang label sate jamu.

Advertisement

“Dulu dipersoalkan label sate jamu. Banyak yang tidak tahu bahwa itu daging anjing. Sekarang jadi sate guk guk, jauh lebih baik dan terang,” ujar Yuli saat ditemui di Masjid Al Wustho, Mangkunegaran, Senin (7/1).

Tak berhenti di situ, tidak sedikit rumah makan yang selain menjual makanan halal, juga menyertakan masakan yang mengandung bahan dari babi dan barang haram lainnya. Untuk itu, agar kualitas makanan umat Islam terjaga dan juga menghormati pihak lain diperlukan label ini.

“Bukan berarti makanan tradisional tidak masuk daftar tidak halal. Sekarang baru sekitar 83 tempat, ini akan terus diperbarui datanya,” imbuh Yuli.

Advertisement

Pemilik warung masih terbuka lebar untuk mendaftar ke gerakan tersebut tanpa dikenai biaya. Beberapa syarat di antaranya selain menjual makanan halal, juga tidak
menyertakan masakan haram. “Ada yang jual makanan halal tapi juga melayani pelanggan yang meminta masakan tidak halal.”

Pemilik tempat makan juga berkomitmen menggunakan bahan dasar, bahan pendamping dan bumbu halal. Pemilik tempat makan yang ingin terdaftar di gerakan itu, juga tidak memiliki usaha di bidang nonkuliner yang tidak sesuai syariah,
misalnya pemilik kafe penjual miras, penjudi atau pengelola bisnis prostitusi. “Kehati-hatian ini penting karena makanan halal bagi muslim bukan hanya soal duniawi tapi juga akhirat.”

Gerakan itu cukup berhati-hati dalam mencantumkan tempat makan tradisional yang halal. Selain pernyataan halal dari pemilik dengan mengisi kuesioner, pegiat gerakan itu juga melakukan investigasi dengan cara wawancara dengan pelanggan dan melakukan penyamaran. “Saya pernah melakukan itu. Saya pesan kikil babi. Hari pertama gagal, sudah habis. Hari kedua berhasil, kami dapat barangnya. Kami jadi tahu, dia menjual daging halal dan juga haram.”

Advertisement

Yuli tidak memungkiri lahirnya gerakan ini muncul karena pedagang kecil kesulitan mendapatkan sertifikasi halal. Proses mendapatkan stempel halal dari MUI juga berbiaya mahal. Hal itu tidak lepas dari kredibilitas MUI yang lepas dari kepentingan tertentu dalam memberi label. Gerakan yang lahir pada Mei 2012 lalu masih perlu dikembangkan, di antaranya uji laboratorium terhadap bahan makanan dan promosi ke masyarakat luas.

Pengelola Dapoer Bistik, Widodo, mengakui label halal dari gerakan tersebut membantu pihaknya dalam menjamin kualitas masakan di mata masyarakat. “Penting untuk menyajikan makanan ke umat Islam yang berkualitas baik dan halal. Dagang tidak hanya soal untung tapi juga jalan ibadah, kan,” ujar Widodo.

Pihaknya juga tetap berkomitmen menjaga bahan baku dan bumbu yang halal dan terjamin kualitasnya. “Gerakan itu lahir dan sekretariatnya di sini, jadi kami mengawalinya dan pastikan di sini halal.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif