Umum
Jumat, 11 Januari 2013 - 11:00 WIB

Tak Cukup Bismillah lalu Pasrah

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Konsumen harus mengetahui teknik pemotongan ayam, apakah disembelih dengan cara sesuai syariat atau tidak.

Konsumen harus mengetahui teknik pemotongan ayam, apakah disembelih dengan cara sesuai syariat atau tidak.

Sebuah warung makan mi ayam di pinggiran Jl Slamet Riyadi, Solo ramai pengunjung. Belasan pelanggan menikmati mi dengan tambahan kepala ayam, ceker dan sayap.
Saat Espos amati, leher kepala ayam terdapat luka lubang kecil sedang sebagian kecil lehernya sobek cukup lebar. Proses penyembelihan ayam dengan cara melobangi tersebut tidak sesuai dengan syariat.
Pasalnya, darah tidak mengucur total dan saluran kerongkongan dan tenggorokan tidak putus sempurna. Pedagang tersebut mengaku mendapat daging ayam itu dari pasar.

Advertisement

Cara penyembelihan itu sudah sering ditemui. Espos juga melihat beberapa warung hik di Solo menjual kepala ayam dengan luka berupa lubang di leher. Bahkan ada yang blak-blakan menjajakan saren goreng.
“Umat Islam tidak cukup baca Bismillah, lalu pasrah. Harus ada usaha untuk mengonsumsi makanan yang halal dan thayib. Halal karena asal usul, proses dan penyajian, thayib bersih dan tubuh tidak alergi,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Solo Prof Zainal Arifin Adnan saat ditemui di Kampus Fakultas Kedokteran UNS, Solo, Rabu (9/1).
“Saat ini nonmuslim di Australia dan Eropa sudah mulai cari makanan halal. Mereka tahu bangkai dan nonbangkai. Pertimbangannya bisa karena kesehatan. Auto imun atau kembar siam yang belum tahu penyebab pasti, mungkin karena kualitas makanan.”
Dekan FK UNS ini juga menerangkan MUI Solo menolak kebijakan MUI Pusat tentang pemberian sertifikat halal pada rumah makan. Ia melihat ada yang memanfaatkan label halal MUI untuk bisnis semata dan ada ketidakjujuran pencari label halal MUI.
“(Dalam Alquran) yang halal sudah jelas, yang haram sudah jelas. Makanlah yang halal, jauhi yang haram dan syubhat (meragukan). Nah, yang syubhat ini yang cari-cari label halal, yang jualan haram ikut,” imbuh Zainal.
Umat muslim tidak perlu cari-cari label halal karena keimanan dan ketakwaannya serta takut dengan Allah. Jadi mereka pasti berbisnis secara halal.
Hingga kini MUI Solo konsisten menolak pemberian labelisasi halal itu.
Label itu sebenarnya untuk melindungi konsumen namun malah dimanfaatkan untuk mengelabui konsumen.
“Ada hadis yang sahih dan bagus, dari Tirmidzi, Rasulullah mengingatkan kepada orang yang beriman, jangan bersahabat kecuali orang yang beriman, jangan makan masakan orang yang tidak bertakwa,” katanya.
Untuk itu, ia memberi solusi agar umat Islam selektif, membeli makanan  dari pedagang yang diketahui kredibilitasnya. Ia mengimbau umat Islam berhati-hati saat belanja daging sapi, kambing atau ayam. “Keluarga saya sudah berlangganan ke salah satu pedagang yang saya tahu kredibilitas pedagang itu.”
Saat bersantap di rumah makan, umat hendaknya tahu pemilik dan kepribadiannya. Selain itu juga dipastikan tidak menjual menu haram.
Zainal mengatakan label halal dapat disematkan ke tempat usaha makanan yang pemiliknya bersedia merekrut banyak karyawan dari kalangan muslim yang kredibel dan memahami tata cara penyajian makanan dan minuman secara halal.
“Saat ini belum ada peralatan yang mendeteksi protein atau lemak babi dan sapi. Belum ada alat yang bisa mengetahui campuran haram ke makanan halal, belum bisa dideteksi daging yang dicampur dengan bangkai,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif