Umum
Jumat, 11 Januari 2013 - 10:00 WIB

Penjaga Benteng Mazhab Syafi’i

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Tanah Minangkabau banyak melahirkan ulama-ulama besar yang memberi sumbangsih bagi bangsa Indonesia. Salah satu putra Minangkabau terbaik yakni Muhammad Sa’ad Mungka yang hidup sezaman dengan Khatib Minangkabawi, Mahfud Tarmisi.

Sa’ad Mungka lahir pada 860 di daerah Mungka, Payakumbuh, Sumatra Barat. Ayahnya, Tanta, adalah tokoh masyarakat Mungka. Sejak kanak-kanak ia mendapat pendidikan ilmu-ilmu keislaman yang cukup baik, kemudian mengaji kepada ulama-ulama pengasuh pesantren di kawasan Minangkabau.

Advertisement

Sebagai seorang hamba ilmu, Sa’ad Mungka tidak puas dengan ilmu keislaman yang diperolehnya dari pesantren. Ia ingin belajar terus dan berusaha memperdalam ilmu agama dengan bermukim di Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu, di kota kelahiran Nabi Muhammad, hidup ulama-ulama Jawi (Melayu) yang terkenal dan menjadi kebanggaan santri asal Nusantara yang belajar di sana, seperti Muhtar Tharid, Khatib Minangkabawi, Mahfud Tarmisi dan lainnya.

Niat Sa’ad Mungka baru tercapai saat usianya 35 tahun. Ia bermukim di Mekkah selama enam tahun (1894-1900) lalu sempat kembali ke Indonesia. Pada 1912, ia berangkat kembali ke Mekkah selama tiga tahun. Selama di sana, ia memperdalam ilmu keislaman di berbagai bidang, baik tafsir, ushuluddin, fikih, hadis maupun tasawuf, khususnya tarekat Naqsyabandiyah.

Sepulang dari memperdalam ilmu, ia kembali ke Minangkabau dan mendirikan pondok pesantren pada 1915.

Advertisement

Ilmu fikih Sa’ad Mungka dengan Khatib Minangkabawi tidak banyak perbedaan karena keduanya pengikut Syafi’i.

Perbedaan keduanya pada masalah tarekat Naqsyabandiyah. Ahmad Khatib tidak menyetujui praktik tarekat sebagaimana yang diamalkan orang Minangkabau. Sebaliknya, Sa’ad Mungka dengan gigih membela tarekat itu sebagaimana ulama lain asal Minangkabau seperti Khatib Ali.

Ketidaksetujuan Khatib Minangkabawi terhadap tarekat dituangkan dalam karya. Sanggahan Sa’ad Mungka juga disampaikan dalam karya kitabnya. Keduanya beradu argumen dan sama-sama kukuh dengan pendapat masing-masing tentu saja karena menggunakan sudut pandang yang berbeda. Keduanya memang menguasai bidang atau disiplin ilmu masing-masing tetapi kurang memahami dan tidak mampu menghargai perbedaan perspektif  yang pada dasarnya memang sulit dipadukan.

Advertisement

Sa’ad Mungka mewakili kelompok ulama tradisional mazhab Syafi’i yang mengikuti tarekat tersebut dibantu ulama lain Khatib Ali. Keduamnya mewakili ulama Kaum Tuo yang sering beda pendapat secara umum dengan kelompok Kaum Mudoseperti Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah dan Jamil Jambek.

Sa’ad Mungka merupakan toko benteng mazhab Syafi’i di kampung halaman sendiri. Apabila Ahmad Khatib tinggal di Tanah Suci hingga akhir hayat dan memberi kelonggaran pada murid-muridnya untuk belajar kepada kelompok pembaharu, sebaliknya bagi Sa’ad Mungka. Ia kembali ke tanah kelahiran untuk mempertahankan mazhab itu secara gigih dan berusaha membendung berkembangnya ajaran kelompok pembaru yang banyak diwarnai oleh Muhammad Abduh. Ia mempertahankan mazhab Syafi’i dan tarekat Naqsyabandiyah sebagaimana ulama sebelumnya.

Ulama besar ini juga dikenal sebagai seorang ahli falak dan hisab. Terutama dalam peribadatan menyangkut awal puasa Ramadan ataupun hari raya, ia selalu menggunakan rukyah. Sebagai seorang falak, ulama ini juga memberikan pelajaran tentang ilmu falak kepada murid-muridnya agar mengetahui secara jelas seluk-beluk perhitungan perjalanan bintang dan planet serta tata surya umumnya dihubungkan dengan persoalan ibadah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif