Soloraya
Senin, 13 Februari 2012 - 10:41 WIB

GIGOLO SOLO: Di Tengah Kota Mereka Menjajakan Diri

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kekasih (JIBI/Bisnis Indonesia/dok)

Ilustrasi (JIBI/Bisnis Indonesia/dok)

Asap dari rokok kretek berbaur di udara. Agus menghisap lagi rokoknya dalam-dalam. Tak seperti hari-hari kemarin, hari ini (pekan lalu-red) sepi katanya. Sepintas lalu, kelihatannya Agus memang sekedar nongkrong di salah satu sudut Sriwedari, Solo.
Advertisement

Namun ternyata laki-laki berusia 24 tahun itu tengah bekerja. Berstatus gigolo, pekerjaan Agus adalah menjual dirinya sendiri. Tak hanya kepada kaum perempuan namun juga laki-laki. Sebagai pria pekerja seks (PPS) Agus memang bukan konsumsi kaum high class. Dia termasuk PPS jalanan yang upah Rp 10.000 pun diterima. “Ya memang kadang dibayar murah sekali. Tapi pernah beberapa kali dibayar mahal, Rp 800.000 lebih. Itupun masih ditambah liburan ke Bali serta hadiah-hadiah lain,” ujarnya.

Lantas siapakah wanita pelanggannya? Agus mengaku mereka berasal dari kalangan menengah. “Yang namanya pelanggan ya tidak semuanya kaya. Ada juga yang kondisi ekonominya biasa-biasa saja. Soal usia ada yang muda dan ada juga yang tua. Yang memanjakan saya habis-habisan itu contohnya, usianya relatif muda, masih 34 tahun. Sudah menikah atau belum saya tak tahu. Mungkin simpanan ya,” ujarnya lagi.

Seperti halnya rekannya yang lain, Agus mengaku dirinya juga selalu siap ketika harus melayani tamu laki-laki. “Memang tamu saya ada yang laki-laki. Tapi kalau saya sedang tidak ingin ya tak akan saya layani. Tidak harus selalu uang. Kalau pengen istirahat ya tidak kerja. Tidak ngoyo,” tandasnya seraya membuang batang rokok yang telah pendek dan menginjaknya dengan sepatu Crocs abu-abu miliknya. Sepatu yang tak murah untuk kalangan ekonomi menengah.

Advertisement

Sejenak Agus terdiam. Beberapa kali kepala ia gelengkan tanda gelisah. Takutkah ia melanggar jam kerja di Sriwedari? Padahal saat itu siang baru saja datang. “Tidak tidak takut. Di sini kerjanya bebas, mau jam berapun boleh. Pagi boleh, siang boleh, malam boleh,” bantahnya. Disinggung soal rekan-rekannya yang juga mangkal di Sriwedari, Agus enggan menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala saat ditanya adakah PPS yang bekerja di tempat itu mencapai 20 orang. “Lebih,” jawabnya singkat. Kepalanya kembali menggeleng saat mendengar angka 50, 80 hingga 100. “Ya mungkin 100-an. Banyak yang kerja di sini,” tambahnya singkat.

Kalau aktivis penanggulangan HIV/AIDS, Argyo Demantoto mengatakan dompet gigolo bisa tebal ketika musim arisan ibu-ibu datang karena hasil arisan akan tercurah semua untuk sang gigolo, Agus lagi-lagi membantahnya. “Silahkan kalau ada yang mau dijadikan hasil arisan. Tapi saya tak mau. Saya lebih suka bekerja sendiri. Kalau memang ada yang mau main dengan saya silahkan datang. Tinggal telepon, ketemuan, jadi,” tandasnya.

Metode menjual diri dengan cara beriklan menurut Agus sampai saat ini masih relatif berisiko. Baginya mengandalkan jaringan rekan-rekannya sesama gigolo maupun menjaga hubungan baik dengan sejumlah germo sudah cukup. Dengan cara itu saja Agus mengaku dering ponsel miliknya tak pernah berhenti.

Advertisement

Sikap Agus yang sangat tertutup dari dunia luar inilah menurut Pengelola Program dan Monev Komisi Penanggulangan AIDS, Tomi Prawoto sangat menyulitkan. “Dibandingkan wanita pekerja seks (WPS) atau kucing keberadaan gigolo khususnya yang heteroseksual atau yang melayani perempuan jauh lebih tertutup. Akibatnya sampai sekarang kami belum bisa menjangkau mereka,” ujarnya.

Kondisi tersebut sangat memprihatinkan, sambung dia, lantaran para gigolo juga termasuk kelompok berisiko yang menularkan virus HIV/AIDS. Meski belum ada pemetaan namun menurut Argyo Demantoto pemerintah tidak seharusnya berhenti. Menurutnya sikap tertutup gigolo harus dipahami. Pasalnya, pelanggan gigolo yang kebanyakan wanita biasanya menggunakan jasa gigolo secara sembunyi-sembunyi atau tanpa sepengetahuan suami. Akhirnya para wanita ini rawan menjadi korban pemerasan maupun kriminalitas dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Kucing maupun WPS sebaliknya relatif terbuka karena pelanggannya laki-laki dengan karakterlebih terbuka kepada isteri serta agresif.

JIBI/SOLOPOS/Ayu Prawitasari

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif