News
Jumat, 31 Agustus 2012 - 16:16 WIB

PENEMBAKAN POLISI: Pengamat Yakin Pelaku Orang yang Terlatih

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Seorang personel Brimob bersenjata api laras panjang berjaga di dekat Pos Polisi Singosaren di Plasa Singosaren, Solo, Jumat (31/8/2012), yang menjadi lokasi penembakan seorang personel Polsek Serengan, Bripka Dwi Data Subekti, yang tengah bertugas, Kamis (30/8/2012) malam. (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

Seorang personel Brimob bersenjata api laras panjang berjaga di dekat Pos Polisi Singosaren di Plasa Singosaren, Solo, Jumat (31/8/2012), yang menjadi lokasi penembakan seorang personel Polsek Serengan, Bripka Dwi Data Subekti, yang tengah bertugas, Kamis (30/8/2012) malam. (JIBI/SOLOPOS/Dwi Prasetya)

SEMARANG – Pengamat terorisme Noor Huda Ismail menilai penembakan di Pos Polisi Plasa Singosaren Solo yang menewaskan Bripka Dwi Data Subekti pada Kamis (30/8/2012) malam dilakukan oleh orang yang terlatih melakukan aksi teror.
Advertisement

“Pelaku itu jelas orang yang terlatih menggunakan senjata api, karena dari beberapa saksi yang melihat, pelaku tenang saat menembak dari jarak dekat, kemudian meninggalkan lokasi penembakan tanpa kerepotan,” katanya di Semarang, Jumat (31/8/2012). Menurut dia, di Indonesia ada dua kelompok yang mampu melaksanakan aksi kekerasan secara profesional.

“Yang pertama adalah kelompok yang sebelumnya berasal dari militer atau kepolisian, baik yang masih aktif maupun tidak, yang melakukan teror dengan motif tertentu karena kecewa dengan institusinya,” katanya. Kelompok kedua adalah kelompok sipil yang pernah mendapat pelatihan militer di luar negeri, ujar Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian itu.

Ia meminta kepada semua pihak agar tidak terburu-buru menuduh kelompok aktivis Islam garis keras yang melakukan aksi penembakan polisi di Solo itu. “Kita harus sama-sama menghormati investigasi yang dilakukan kepolisian karena untuk menyudutkan suatu kelompok tertentu perlu bukti yang kuat dan jika analisa kita salah maka harus ada pertanggungjawaban publik,” katanya.

Advertisement

Noor Huda berpendapat, ada tiga hal mengapa di Kota Solo selalu terjadi aksi teror dan bergejolak dibandingkan dengan di daerah lain. Tiga hal tersebut, kata dia, di Solo tidak ada organisasi mainstream yang kuat seperti NU dan Muhammadiyah, sehingga banyak muncul kelompok-kelompok yang kemudian mengadvokasikan cara pandang keagamaan yang tidak mainstream. “Yang kedua dan ketiga adalah raja di Solo tidak kuat sehingga masyarakatnya mencari budaya lain serta di Solo biasanya menjadi ‘dapur’ gerakan tapi presentasinya tidak di kota setempat,” katanya.

Terkait dengan adanya beberapa analisa pengamat yang menyebutkan bahwa aksi teror di Solo itu ada hubungannya dengan pencalonan Wali Kota Solo Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta, Noor Huda menganggap pendapat itu lemah. “Argumen itu lemah karena pada saat terjadi pengebomam Hotel JW Marriot, Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Fauzi Bowo,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif