Lifestyle
Selasa, 21 Februari 2012 - 12:38 WIB

CAGAR BUDAYA: Anak Muda Pelihara Cagar Budaya

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - MELESTARIKAN CAGAR BUDAYA-- Pelajar SMA di Solo menggelar

MELESTARIKAN CAGAR BUDAYA-- Pelajar SMA di Solo menggelar acara musikalisasi puisi di depan Pasar Gede Solo beberapa waktu lalu. Pergelaran seni menjadi salah satu kampanye pelesarian budaya (JIBI/SOLOPOS/Dok)

Belasan sepeda tua yang berjajar di depan gerbang Balaikota Solo tiap Sabtu malam itu belum seberapa banyak. Sekilas, para pemiliknya hanya bersantai di samping sepeda-sepedanya layaknya ratusan anak muda lain di sekitar mereka. Namun di balik itu, ada yang jauh lebih berarti bagi mereka di balik sepeda tua itu.
Sepeda tua bukan seperti sepeda fixie atau sepeda angin biasa. Bagi mereka, sepeda tua itu telah menjadi alat gerakan pelestarian sejumlah kawasan dan bangunan bersejarah yang terhampar di Kota Solo. Dengan sepeda tua, mereka mengajak orang untuk mengenal dan peduli bahwa kota ini punya ratusan jejak sejarah yang terlupakan.
“Selain bersenang-senang dengan sepeda tua, kita ingin mempromosikan kota. Kota ini punya banyak sekali tempat bersejarah, tapi banyak dari kita yang tidak kenal,” kata Dian Ariffianto Budi Susilo, arsitek yang selama ini dikenal sebagai Ketua Onthelis Solo, Sabtu (18/2/2012) malam.
Berawal dari kegemaran berjalan-jalan dengan sepeda, tercetuslah ide untuk ikut serta dalam pelestarian bangunan dan kawasan cagar budaya. Dengan sepeda tua, mereka menelusuri kota dan blusukan ke kawasan-kawasan tua. Di Solo, ada banyak objek yang biasa mereka kunjungi, mulai dari bangunan tua, museum, pasar-pasar tua, kampung batik, kampung-kampung perajin blangkon, sandal kulit hingga tak lupa mengunjungi kawasan bantaran sungai.
Saat berkunjung inilah mereka menemukan banyak hal. Berbincang dengan para penduduk setempat dan berbagai literatur membuat mereka bukan hanya tahu tentang sejarah, tapi juga masalah perkotaan yang kini mengancam. Misalnya bangunan-bangunan yang terancam rusak dimakan usia, kampung yang terdesak modernisasi dan terhimpitnya sepeda atau becak oleh kendaraan bermotor.
“Dalam pelestarian heritage, arahnya adalah sejarah, budaya dan transportasi,” ujar Dian. “Sepeda tua itu merekam sejarah. Mereka datang ke sini dibawa oleh orang kolonial dan mengenal teknologi sepeda jauh sebelum kita.”
Begitulah mimpi tentang kota tua dan sepeda itu berasal. Bukannya ingin mengembalikan kenangan lama, namun sepeda itu menjadi simbol pelestarian cagar budaya. Berbagai ritual pun dilakukan seperti bersepeda ke tempat-tempat tua, Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti dan bahkan makam Bonoloyo. Untuk melestarikan tradisi Jawa, mereka pun menggabungkannya dengan tradisi sepeda. Setiap tahun menjelang Suro, mereka melakukan ritual jamasan sepeda tua di depan Balaikota. Bukan bermaksud macam-macam, mereka hanya menunjukkan penghargaan pada sepeda tua yang bersejarah.
Aktivitas itu pelan-pelan dikenal luas oleh masyarakat di luar Solo. Melalui berbagai forum online, banyak pecinta jejak sejarah yang tertarik dengan aktivitas ini dan menyempatkan diri datang ke Solo. Salah satunya adalah tiga orang Belanda yang belum lama ini datang ke Solo. Para onthelis ini memang sudah menyiapkan “paket perjalanan” bagi orang Belanda tersebut berkeliling kota. Dengan naik sepeda, mereka diantar bersama ke berbagai pusat kesenian, kampung batik Laweyan, Kauman dan sebagainya.
“Jadi kita tunjukkan bahwa memelihara heritage itu simpel dan enggak berat.”

Advertisement

Kampanye online
Selama ini kepedulian terhadap benda dan kawasan cagar budaya memang masih banyak ditunjukkan oleh kalangan muda. Di Solo memang ada komunitas heritage, tapi kebanyakan bukan dimotori oleh orang-orang muda. Kenyataannya belum banyak anak muda yang mau terlibat aktif dalam pelestarian ini.
Hal inilah yang dirasakan oleh Asep Kambali selama setahun berada di Solo. Sejak 2008 hingga 2009, pemuda asal Jakarta ini memang tinggal di Solo karena tuntutan pekerjaannya sebagai General Manajer Roemahkoe. Di sela-sela menjalani pekerjaannya, Asep mencoba menggerakkan komunitas Historia Indonesia di wilayah Solo.
“Sebenarnya saat itu saya sudah mau membentuk Korwil Solo, ada sekitar tujuh orang yang siap dan ada yang mau menyediakan tempat. Tapi setelah itu saya sudah tidak tahu lagi kabarnya karena saya juga sudah kembali ke Jakarta,” terang Asep, Sabtu (18/2) lalu.
Historia Indonesia sebenarnya bukan komunitas baru, namun di Solo komunitas ini belum banyak di kenal. Dideklarasikan di Jakarta pada 22 Maret 2003, komunitas ini konsen dalam isu-isu pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah. Mereka aktif dalam kampanye pelestarian kota-kota tua di Indonesia, termasuk Solo.
“Waktu itu dibentuk oleh anak-anak sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ), tapi ada juga anak-anak UI yang ikut bergabung,” ungkapnya.
Komunitas itu terus berkembang dengan keberadaan media online seperti blog dan jejaring sosial. Di berbagai forum online, mereka banyak berdiskusi tentang sejarah dan kondisi sejumlah bangunan cagar budaya yang terancam. Di berbagai kota, termasuk Jakarta, beberapa situs bersejarah memang terancam oleh penggusuran.
Salah satunya adalah pembongkaran Rumah Cantik Menteng yang selama ini dikenal sebagai salah satu bangunan kuno di Jakarta. Di dunia maya, berbagai dukungan digalang untuk memprotes pembongkaran bangunan tersebut oleh pengembang.
“Di Jakarta, kami sering mendukung gerakan-gerakan di dunia maya. Misalnya saat kasus di Menteng, kami terus kampanyekan sehingga masyarakat mulai peduli.”
Tak hanya di Jakarta, Asep dan kawan-kawan juga terus berkampanye menolak perusakan kawasan cagar budaya di berbagai kota, seperti Pangkal Pinang dan Salatiga. Meskipun lebih banyak melalui dunia maya, gerakan ini cukup ampuh untuk penyadaran masyarakat.
Komunitas ini memang sangat menyayangkan beberapa pemerintah kota yang acuh tak acuh terhadap cagar budaya. Karena itulah Asep menaruh harapan besar terhadap Kota Solo yang memiliki banyak cagar budaya fisik. Selama di Solo, Asep banyak berhubungan dengan komunitas-komunitas yang terkait dengan isu pelestarian cagar budaya, seperti Onthelis Solo dan Solo Youth Heritage.

JIBI/SOLOPOS/Adib Muttaqin Asfar

Adib Muttaqin Asfar

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif