Kolom
Rabu, 18 April 2012 - 09:40 WIB

Potret Buram Pemilu 2014

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - FOTO/Dok

FOTO/Dok

Thontowi Jauhari

Advertisement

Anggota DPRD Boyolali
Alumnus Magister
Ilmu Politik
Universitas Diponegoro

DPR telah mengesahkan  RUU Perubahan  atas UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD melalui voting dalam  rapat paripurna pada 12 April lalu. Ada empat masalah yang dipandang para legislator penting dan krusia, dan kemudian diambil keputusan melalui voting.
Empat masalah itu yakni ambang batas parlemen (parliamentary threshold), alokasi kursi di setiap daerah pemilihan (dapil), sistem pemilu dan metode penghitungan atau konversi suara menjadi kursi parlemen.
Melihat hasil voting, yakni menangnya alternatif parliamentary threshold 3,5% yang berlaku secara nasional, alokasi kursi  DPR sebanyak 3–10 per dapil dan DPRD 3–12 kursi per dapil, sistem pemilu proporsional terbuka dan metode penghitungan suara menjadi kursi dengan sistem kuota murni, itu berarti tidak ada perubahan signifikan jika dibandingkan dengan pemilu 2009, kecuali hanya satu perubahan yakni masalah parliamentary threshold.
Padahal, Pansus RUU Pemilu dibentuk 4 Oktober 2011. Hingga pengesahan RRU menjadi UU berarti sebuah kerja pansus yang relatif lama, yakni  butuh waktu enam bulan lebih, dan tentu butuh dana yang besar, namun tidak menghasilkan output perubahan yang signifikan.Nyaris tidak terdengar perdebatan  bermutu yang disampaikan anggota DPR.
Perdebatan yang ada hanyalah persoalan teknis penyelenggaraan pemilu yang sepi dari subtansi. Para legislator tersebut lebih berkonsentrasi bagaimana dengan UU pemilu partainya memperoleh ”keuntungan”, memperoleh kursi sebanyak-banyaknya, atau minimal lolos parliamentary threshold.
Empat hal tersebut  seolah-olah menjadi persoalan yang amat penting, hingga butuh negosiasi yang alot dan melelahkan, kemudian tidak bisa dikompromikan, hingga akhirnya divoting. Padahal, sebenarnya empat masalah tersebut sama sekali tidak ada hubungan dengan persoalan bangsa dan rakyat. Peristiwa ini semakin memberikan konfirmasi bahwa partai politik lebih peduli terhadap kepentingan dirinya sendiri dan abai terhadap masalah bangsa.

Pintu Masuk
Seharusnya pembahasan perubahan UU Pemilu diposisikan sebagai pintu masuk untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan negara sehingga produknya juga lebih berkualitas. Pemilu adalah  instrumen perekrutan pejabat publik. Dalam konteks pemilu legislatif,  UU Pemilu harus bisa dijadikan instrumen untuk merekrut orang terbaik dalam suatu komunitas daerah atau daerah pemilihan untuk mewakili rakyat di daerah itu dalam lembaga parlemen.
Orang yang terpilih haruslah orang yang terbaik. Ketika  bukan orang terbaik yang terpilih, seperti hasil Pemilu 2009, itu pasti karena ada sesuatu yang salah dengan instrumen UU.  Adagiumnya jelas, fox populi fox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Artinya, nurani rakyat selalu berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
Setidak-tidaknya ada dua persoalan mendasar dalam Pemilu 2009 yang mestinya diantisipasi dengan UU untuk menghadapi Pemilu 2014. Pertama, kualitas calon terpilih yang buruk, baik dari  aspek pengetahuan pemerintahan, integritas dan komitmen politiknya untuk membela rakyat.
Tingkat pendidikan formal anggota parlemen saat ini memang lebih tinggi dan banyak anak muda yang lolos menjadi legislator.  Namun, ternyata tingkat pendidikan dan usia tidak mempunyai korelasi positif terhadap pengetahuan pemerintahan, integritas dan komitmen politik.
Perdebatan para legislator  di media massa atau rapat-rapat parlemen tidak menunjukkan mereka mempunyai pengetahuan pemerintahan yang baik. Berbagai kasus korupsi, mafia anggaran, dan permainan proyek yang melibatkan legislator, jelas menujukkan nihilnya  komitmen politik yang ideal dari mereka.
Kedua, merebaknya politik uang telah dikeluhkan semua pihak. Tampaknya semua sepakat bahwa Pemilu 2009 identik dengan pemilu ”pesta uang” bagi rakyat. Rakyat lebih nikmat ”menjual” kedaulatannya dengan  uang, baik yang diberikan kepada kelompok masyarakat atau idividu sehingga biaya politik menjadi tinggi.
Padahal, tradisi biaya politik  proses demokrasi di Tanah Air ini lebih banyak dibebankan kepada calon. Belum muncul tradisi calon pejabat publik dibiayai oleh publik, seperti hal yang semestinya dalam tradisi demokrasi. Dengan demikian, ketika calon telah terpilih yang dipikirkan adalah mengembalikan modal, menghitung margin dan mencari bekal untuk ”membeli” suara lagi dalam pemilu berikutnya.
Namun, mengapa dua hal tersebut tidak menjadi bahan perdebatan yang sengit di parlemen ketika mambahas RUU Pemilu? Bahkan, tidak ada perubahan sama sekali terkait dengan syarat calon dan hukum politik uang. Padahal dua hal tersebut telah menjadikan bangsa ini  tertatih-tatih jalannya.
Namun,  UU Pemilu yang baru saja disahkan hanya ada sedikit perubahan yang sifatnya teknis, bukan subtansi.  Empat hal yang dijadikan perdebatan sengit tidak ada kaitannya dengan desain besar pemilu yang berkualitas dan hilangnya politik uang.

Advertisement

Lebih Buruk
Lantas, apa implikasi UU Pemilu yang disahkan tersebut terhadap Pemilu 2014? Menurut saya,  kualitas penyelenggaraan pemilu dan legislator terpilih tidak akan lebih baik daripada yang ada sekarang, bahkan bisa lebih buruk.
Pertama, tidak ada syarat mempersulit orang untuk menjadi calon legislator, bahkan syarat-syaratnya  diperlonggar dengan alasan demi ”menghargai” hak asasi manusia (HAM). Seorang tersangka, terdakwa atau koruptor yang masih dalam proses hukum oleh UU dipersilahkan mencalonkan diri.
Bahkan, mantan terpidana lima tahun pun diperbolehkan menjadi calon sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang kemudian diakomodasi dalam UU, meskipun dengan syarat minta maaf dan sebagainya.
Akhirnya, filter calon diserahkan kepada partai politik. Padahal, sistem perekrutan politik di partai juga sudah rusak. Ketika partai telah dibajak oleh para pemburu rente ekonomi, proses politik di partai juga lebih bersifat transaksional.
Orang yang mempunyai sikap politik yang cenderung ideologis tidak akan memperoleh tempat di partai. Dengan demikian, partai hanya akan mencari calon yang punya duit.
Kedua, praktik politik uang diperkirakan akan semakin ganas. UU Pemilu tidak mengatur secara tegas bahwa calon dilarang melakukan politik uang. Di tengah situasi mistrust society, sulit tampaknya mendorong pemilih agar lebih bersikap rasional dengan mempertimbangkan kualitas calon.
Sementara itu, pemilih berpendidikan dan ideologis, cenderung menjadi golongan putih (golput). Dengan demikian, bilik-bilik suara lebih banyak dipenuhi oleh para pemilih karena dorongan uang. Kualitas pilihannya juga rendah. Potret buram inilah barangkali yang akan terjadi dalam Pemilu 2014.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif