Kolom
Rabu, 21 Maret 2012 - 16:48 WIB

PILKADA DKI: Menakar Jokowi di Ibu Kota

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Achmad Syukri Prihanto, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan STPMD Jogja (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Achmad Syukri Prihanto, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan STPMD Jogja (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Joko Widodo (Jokowi) sudah jelas maju ke pemilihan gubernur DKI Jakarta bersama Basuki Tjahja Purnama ( Ahok ). Keduanya telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta dan menyerahkan dokumen untuk diverifikasi. Berita ini sekaligus mengakhiri beragam kabar mengenai jadi atau tidaknya pencalonan Jokowi dengan menyisakan keberatan sejumlah warga Solo atas keputusan Jokowi tersebut.
Advertisement

Bukan Jokowi kalau tidak membuat fenomena. Sebagai warga Solo, kita tinggal mendukung saja apa yang sedang diperjuangkan Jokowi tersebut. Sekarang sudah tidak relevan lagi menyesalkan atau nggondheli Jokowi. Jika kita mengakui Jokowi memang pantas melenggang ke pentas nasional, kita bisa meyakini ini jalan bagi Jokowi untuk ”memperbaiki kelasnya” sebagai tokoh nasional. Kita tinggalkan sisa–sisa pemikiran agar Jokowi tetap di Solo. Tulisan ini mencoba menggagas secara realistis sejauh mana Jokowi dan pasangannya bisa menggapai harapan memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta

Fakto Penentu
Ibarat pertandingan sepak bola, pertarungan Jokowi-Ahok kali ini adalah pertandingan away melawan incumbent Foke dan sejumlah pasangan lainnya yang lebih dulu bercokol di Ibu Kota. Ini akan menjadi hal yang menarik.

Advertisement

Fakto Penentu
Ibarat pertandingan sepak bola, pertarungan Jokowi-Ahok kali ini adalah pertandingan away melawan incumbent Foke dan sejumlah pasangan lainnya yang lebih dulu bercokol di Ibu Kota. Ini akan menjadi hal yang menarik.

Secara mental, Jokowi akan bertanding tanpa beban. Apalagi dengan dukungan penuh dari partainya, direstui langsung Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan digadang-gadang Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto.

Banyak teori mengenai faktor penentu kemenangan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Salah satunya adalah studi yang mengaitkan antara posisi geografis suatu kawasan dengan kekuatan dan kekuasaan yang dikenal sebagai geopolitik.
Faktor letak wilayah sangat penting dalam menyusun kekuatan dan untuk mempertahankan kekuasaan. Analisis geografis terutama dikaitkan dengan peta etnografis suatu kawasan, seperti suku, adat istiadat, budaya dan bahasa serta agama. Studi ini diperkenalkan oleh Karl Haushofer (1869-1946).

Advertisement

Tentu ini juga layak menjadi bahan perhitungan sebab kita tidak bisa menyangkal begitu saja faktor kedekatan emosional ini. Belum lagi pendukung dari Ahok. Jakarta adalah kota metropolitan yang plural. Mengusung isu putra daerah tentu kurang populer di mata warga Jakarta. Dalam konteks inilah Jokowi-Ahok akan mampu menarik perhatian pemilih.

Roth Dieter (2010) mengungkapkan model-model penjelasan teoretis mengenai perilaku pemilih. Menurutnya terdapat tiga macam pendekatan yang dapat menerangkan perilaku pemilih. Pertama, pendekatan sosiologis. Setiap manusia terikat alam lingkaran sosialnya, semisal keluarga, rekan-rekan, tempat kerja dan lain sebagainya. Teori pertama ini sagat berkaitan dengan teori geopolitik yang menguntungkan Jokowi-Ahok.

Kedua, pendekatan sosial psikologis berkaitan dengan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan memilih dalam jangka pendek atau keputusan yang diambil dalam waktu singkat namun mampu mengubah psikologi massa, misalnya karena identifikasi partai, orientasi kandidat dan orientasi isu politik.

Advertisement

Seperti yang kita ketahui, munculnya pasangan Jokowi-Ahok adalah kreasi Prabowo dan Megawati, dua tokoh nasional yang tentunya akan dipatuhi oleh kader–kader mereka. Alhasil nama besar mereka akan sangat memengaruhi bagaimana kelak pemilih menjatuhkan pilihannya pada Jokowi-Ahok.

Pasangan ini mempunyai ciri pembeda yang jelas dibanding pasangan lainnya, yakni muncul sebagai representasi pemimpin muda. Chris Fill (1999) menyatakan differentiation product and service dibutuhkan dalam pemasaran yang akan membedakan produk yang ditawarkan dari produk saingan agar pelanggan mudah mengingatnya, tertarik lalu memilihnya. Dengan membuat perbedaan yang jelas, akan mempermudah pemasaran pasangan Jokowi–Ahok.

Ketiga, pendekatan pilihan rasional. Menurut model ini, yang menentukan dalam sebuah pemilihan bukanlah adanya ketergantungan dalam ikatan sosial tertentu, melainkan hasil penilaian secara cerdas dan rasional dari pemilih. Kekuatan politik PDIP dan Partai Gerindra di legislatif memang tidak sekuat kekuatan partai lainnya. Namun, sekarang faktanya sudah semakin banyak pemilih cerdas yang muncul tanpa ada ikatan apa pun dengan eksistensi partai.

Advertisement

Mereka mampu menilai bagaimana kiprah sosok kandidat maupun incumbent dari berbagai referensi atau yang mereka rasakan sendiri. Misalnya, masalah banjir dan kemacetan di Jakarta yang belum berhasil ditangani. Mereka akan membandingkan program yang ditawarkan kandidat dan incumbent.

Dalam siaran sebuah televisi seusai mendaftar di KPU DKI Jakarta, Jokowi mencuri start untuk menarik perhatian dengan menyatakan sebagai pasangan muda yang siap memberi perubahan pada Jakarta. Pemilih pemula atau pemilih muda inilah yang kelak memberi banyak suara dibanding ke kandidat lainnya. Pemilih berusia muda dalam Pilkada DKI Jakarta 2007 mencapai 20%.

Media dan Citra
Dari ketiga hal di atas, masih ada lagi faktor penakar kemenangan Jokowi–Ahok, yaitu pemanfaatan media massa untuk pencitraan dalam memengaruhi perilaku pemilih. Media dalam konteks memengaruhi perilaku pemilih meliputi dua hal, yakni converting (mengubah pandangan awal pemilih menjadi pilihan lain) atau reinforcing (memperkuat pilihan awal yang sudah diyakini sebelumnya).

Data Pilkada DKI 2007 menyatakan sekitar 34,59% pemilih memilih menjadi golongan putih (golput) alias tidak memilih. Bisa jadi angka tersebut akan mengecil karena terjadi perubahan iklim politik di DKI Jakarta dan semakin banyaknya pilihan dan kemampuan Jokowi–Ahok memainkan pemasaran lewat media.

Walaupun belum ada media resmi pasangan Jokowi–Ahok, masyarakat sudah bisa mengenal keduanya lewat media sosial atau menelusuri di internet. Hebatnya, pemberitaan kedua pasangan ini jauh dari citra negatif. McNair (1995) menyebut politik di zaman sekarang dengan politik di era mediasi. Artinya, dewasa ini jika seseorang akan berpolitik mau tak mau harus menggunakan media.

Hal ini terjadi karena jumlah manusia bertambah banyak dan pada dasarnya tersebar luas baik secara geografis, demografis maupun psikografis sehingga bukan hal yang mudah untuk menemui mereka. Teori ini bisa jadi mematahkan teori geopolitik di atas.

Namun, untuk urusan ini, kita tidak perlu meragukan kiprah Jokowi dalam pencitraannya. Suwarmin (SOLOPOS, 19/3) menuliskan dalam Logika Politik Opera van Java, betapa piawainya Jokowi berteman akrab dengan media. Sejak awal menjabat sebagai Walikota Solo Jokowi memang sarat prestasi, tapi baru pada awal tahun ini wajah Jokowi sering muncul di televisi. Entah sebagai narasumber, bintang tamu acara televisi bahkan sebagai news maker dengan mobil Esemka beberapa waktu lalu.

Jadi, Jokowi bukan ”orang bodoh” seperti yang pernah kita dengar dari seseorang yang kebijakannya ditentang Jokowi. Dengan perhitungan yang matang serta banyaknya faktor pendukung, tidak heran Jokowi terlihat sumringah dan mantap saat mendaftarkan diri maju dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini. Bagaimana perhitungan anda?

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif