News
Jumat, 20 April 2012 - 06:42 WIB

"DPR Jangan Obral Penggunaan Hak Interpelasi!"

Redaksi Solopos.com  /  Mulyanto Utomo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

ilustrasi: google image

Advertisement

JAKARTA — DPR diminta tidak mengobral dalam menggunakan hak interpelasi. DPR harus lebih bertanggung jawab dalam menggunakan wewenangnya ini.

“Hak interpelasi, dan hak-hak yang lain yang dimiliki dewan itu harus digunakan secara selektif, tidak boleh terlalu diobral. Pasalnya, DPR dan Presiden itu menjalankan tugas dan kewenangannya berdasarkan undang-undang. Dalam sistem presidensial DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, dan Presiden juga tidak bisa membubarkan DPR. Keduanya tidak lebih tinggi atau lebih rendah satu sama lain, dan hanya bisa dibedakan dari perspektif fungsi dan kewenangannya,” kata Wakil Ketua DPR, Hadjrianto Tohari, kepada detikcom, Jumat (20/4/2012).

Menurut Hadjrianto, hubungan antara DPR dan pemerintah dalam hal ini Presiden atau menteri pembantunya, tidak didesain dalam pola koalisi atau oposisi. Melainkan lebih dalam relasi checks and balances. Dalam hal legislasi, DPR tidak boleh apriori menerima atau menolak RUU yang diajukan Presiden; dalam fungsi anggaran DPR tidak dibenarkan menyetujui atau menolak secara arbitrer RAPBN yang diajukan Presiden.

Advertisement

“Dan dalam bidang pengawasan DPR tidak boleh secara apriori menutup mata terhadap apa yang dilakukan Presiden/pemerintah. Kriterium penerimaan atau penolakan DPR hanyalah satu: berpihak kepada kepentingan rakyat ataukah tidak! Disini tidak ada kriterium koalisi atau oposisi!,” tegasnya.

Dalam menjalankan fungsi pengawasan itulah, lanjut Hadjri, DPR diberi instrumen “gigi” berupa hak bertanya, hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Bahkan juga hak imunitas, hak untuk tidak dapat diseret ke pengadilan karena pernyataan-pernyataannya di dalam dan di luar ruang sidang. Hak-hak tersebut diberikan oleh konstitusi kepada DPR dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan. Hak interpelasi, dan hak-hak yang lain yang dimiliki Dewan itu harus digunakan secara selektif, tidak boleh terlalu diobral,” ingat Hadjrianto.

Maka dalam UU No 27 Tahun 2008 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ditegaskan bahwa hak-hak tersebut hanya boleh digunakan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdampak luar biasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jadi kata kuncinya adalah “kebijakan yang berdampak luar biasa”.

Advertisement

“Apalagi Hak Menyatakan Pendapat (HMP) yang terdiri dari dua macam: pertama, HMP terhadap kebijakan pemerintah yang mengakibatkan dampak luar biasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan kedua, hak menyatakan pendapat DPR mengenai pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden atas Pasal 7A UUD 1945. Pendapat DPR yang terakhir ini karena seriusnya harus diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena bisa mengakibatkan terjadinya pemakzulan atau impeachment. Tetapi -ini yang jarang disadari oleh anggota DPR, ibarat senjata maka hak-hak tersebut harus digunakan secara tepat dan terukur agar efektif dan efisien. Jangan sampai DPR mau membunuh nyamuk dengan meriam,” imbuh Hadjrianto.

Selanjutnya juga, sebagai sebuah senjata pamungkas, hak-hak itu tidak boleh digunakan secara sembarangan. Jangan sampai terjadi “sindrom Kunto Wijoyondanu”. Dalam cerita Mahabharata, Kunto Wojoyondanu itu senjatanya Adipati Karno yang hanya bisa digunakan sekali saja dalam sepanjang hidupnya. Pada waktu Perang Bharatayudha, senjata Kunto sudah terlanjur digunakan untuk membunuh Gatutkaca. Maka ketika Karno harus berhadapan dengan Harjuna dia sudah tidak lagi mempunyai senjata pamungkas. Dan akhirnya dia kalah, bahkan tewas.

“Hak-hak Dewan itu tak ubahnya seperti senjata Kunto Wijoyondanu itu. Senjata yg sangat sakti itu tidak boleh diobral dan terlalu sering digunakan. Jika terlalu diobral maka kesaktian dan “tuah”-nya akan hilang muspro dan akhirnya menjadi tidak efektif lagi. Kewibawaan hak-hak Dewan itu akan hilang makna sehingga fungsinya sebagai instrumen pengawasan akan malfungsional dan disfungsional. Bahkan bisa menjadi bahan olok-olokan. Walhasil, penggunaan hak-hak DPR harus dilakukan secara ekstra selektif dan tidak boleh dilakukan secara sembarangan, apalagi diobral secara murahan,”tandasnya. JIBI/SOLOPOS/Detikcom

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif