Kolom
Senin, 10 Desember 2012 - 15:47 WIB

Renungan Hari HAM Sedunia: Mewujudkan “Kemanusiaan yang Beradab”

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ignas Triyono, Pegiat HAM. Mantan Staf Anggota Komnas HAM (FOTO/Istimewa)

Ignas Triyono, Pegiat HAM. Mantan Staf Anggota Komnas HAM (FOTO/Istimewa)

Hari ini, 10 Desember 2012, genap 64 tahun dunia internasional memperingati kelahiran Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Sekalipun usia DUHAM sudah melebihi setengah abad, namun penghormatan terhadap nilai-nilai universal hak asasi manusia masih jauh dari ekspektasi. Jerit tangis orang-orang di belahan dunia yang teraniaya hak-haknya yang inheren, menyisakan kegelisahan dan kegalauan semua pihak. Hak asasi manusia (HAM) yang semestinya dihormati dan dijunjung tinggi yang bersifat universal belum mampu menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Advertisement

Dalam konteks Indonesia, peringatan Hari HAM Sedunia memiliki arti penting dalam meneguhkan komitmen Indonesia dalam melindungi, menghormati dan memajukan hak asasi manusia sebagai nilai-nilai fundamental berbangsa dan bernegara.

Salah satu isu HAM yang patut menjadi bahan refleksi yakni polemik praktik hukuman mati di Indonesia yang hingga kini masih menjadi perdebatan yang belum tuntas. Polemik mereka yang menghendaki dihapuskannya hukuman mati (abolitionist) dan yang menghendaki hukuman mati dipertahankan (retentionist) masih terus berlangsung. Kaca mata hukum positif dan hak asasi manusia nyaris tidak pernah berdamai. Negeri ini seperti tidak pernah lelah pula memperdebatkan hukuman mati tanpa membuahkan hasil yang konkret. Bahkan selama satu dekade ini, hukuman mati hanya melahirkan kepentingan berganda dan kegaduhan politik tanpa ujung.

Advertisement

Salah satu isu HAM yang patut menjadi bahan refleksi yakni polemik praktik hukuman mati di Indonesia yang hingga kini masih menjadi perdebatan yang belum tuntas. Polemik mereka yang menghendaki dihapuskannya hukuman mati (abolitionist) dan yang menghendaki hukuman mati dipertahankan (retentionist) masih terus berlangsung. Kaca mata hukum positif dan hak asasi manusia nyaris tidak pernah berdamai. Negeri ini seperti tidak pernah lelah pula memperdebatkan hukuman mati tanpa membuahkan hasil yang konkret. Bahkan selama satu dekade ini, hukuman mati hanya melahirkan kepentingan berganda dan kegaduhan politik tanpa ujung.

Yang patut disadari, tidak ada seorang pun di negeri ini yang bersedia dihukum mati. Barangkali ini pula yang dirasakan oleh 100 orang yang saat ini menunggu proses eksekusi mati berdasarkan putusan pengadilan. Mereka terus berjuang agar bisa lolos dari hukuman mati melalui berbagai upaya hukum, entah Peninjauan Kembali (PK) maupun grasi. Mayoritas mereka adalah pelaku kejahatan narkotika, 80 persen dari mereka adalah warga negara asing.

Di sisi yang lain, hukuman mati juga mengancam saudara-saudara kita yang menjadi buruh migran di luar negeri yang jumlahnya sungguh fantastis. Sepanjang 1999-2012 tercatat 417 buruh migran Indonesia menghadapi ancaman hukuman mati di berbagai Negara dan 31 di antaranya telah dijatuhi vonis tetap hukuman mati.

Advertisement

Dari perspektif hukum positif, dalam beberapa kasus eksekusi hukuman mati seringkali terungkap “kepuasan” sebagian orang jika pelaku kejahatan sukses dieksekusi mati. Menurut Emmanuel Kant ungkapan “kepuasan” ini dikenal sebagai vergeldings-theorie (teori hukuman pembalasan). Sedangkan teori Feurbach menyebut hukuman mati ditujukan sebagai tindakan efek jera agar orang tidak berbuat jahat (afchrikkings-theorie). Kedua teori ini tampaknya sudah tidak kontekstual. Persoalannya, tidak ada pembuktian ilmiah bahwa hukuman mati menjadi faktor determinan mengurangi tindak pidana tertentu dan menimbulkan efek jera.

 

Perspektif HAM

Advertisement

Dalam konteks hak asasi manusia, hukuman mati merupakan perlakuan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Dengan demikian, hukuman mati mengandung anasir pelanggaran atas hak hidup. Hak untuk hidup merupakan hak yang paling fundamental dari hak asasi manusia. Jika hak untuk hidup tidak dapat dilindungi maka hak asasi yang lainnya akan kehilangan relevansinya. Dengan kata lain, hak hidup (the rights to life) tergolong sebagai hak kodrati yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights). Itu sebabnya hukuman mati dapat digolongkan sebagai melanggar hak asasi manusia.

Jika dikaji lebih mendalam sesuai dengan ketentuan DUHAM, terdapat beberapa pasal didalam DUHAM yang tidak memperbolehkan hukuman mati. Pasal 3 DUHAM menyatakan ”Setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi”. Bentuk yang paling ekstrem dari pelanggaran hak untuk hidup ini ialah pembunuhan atau melukai jasmani atau rohani dari seseorang ataupun dari kelompok. Hukuman mati jelas telah melanggar pasal ini, di mana orang yang dijatuhi hukuman mati telah dirampas kehidupannya, kemerdekaannya, keamanan pribadinya. Bagaimanapun hukuman mati adalah hukuman yang sangat melanggar hak untuk hidup bagi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Konstitusi Indonesia mengatur ketentuan tentang hak hidup. Pasal 28 A Konstitusi Indonesia melindungi hak hidup dan menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dengan demikian, hak hidup merupakan hak konstitusional. Hak hidup juga sebagai supreme human rights, yaitu bahwa tanpa pemenuhan hak hidup, hak-hak asasi manusia lain tidak akan mempunyai arti apa-apa. Yang penting disadari, dalam konteks instrumen internasional Indonesia juga telah mengesahkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik melalui UU No 12/2005. Saat mengesahkan kovenan tersebut, pemerintah Indonesia sama sekali tidak melakukan reservasi sehingga seluruh ketentuan dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik terikat secara hukum. Secara terang benderang Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik mengamanatkan kepada negara pihak untuk melakukan penghapusan hukuman mati.

Advertisement

Oleh karena itu, setidaknya ada beberapa langkah konkret yang bisa ditempuh pemerintah Indonesia terkait hukuman mati. Pertama, secara bertahap membatasi jumlah tindak kejahatan yang diancam hukuman mati. Kedua, menetapkan adanya moratorium bagi eksekusi, dengan tetap mempertimbangkan penghapusan total hukuman mati. Ketiga, memungkinkan tersedianya informasi publik berkaitan dengan penjatuhan hukuman mati, dan menyediakan informasi berkaitan dengan penggunaan hukuman mati dan ketaatan perlindungan yang menjamin perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi ancaman hukuman mati.

Hapus Hukuman Mati

Pemerintah Indonesia tampaknya terus diuji komitmennya terhadap upaya penghapusan hukuman mati ini. Belum lama ini setidaknya komitmen terhadap penghapusan hukuman mati pernah ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa bahwa Pemerintah Indonesia akan segera menghapus hukuman mati. Secara faktual, harus diakui kenyataan di tataran internasional terdapat tren global terhadap penghapusan hukuman mati. Data Hands Off Cain Info menyebutkan 155 negara telah menghapus kebijakan hukuman mati dalam sistem hukum maupun praktiknya. Sementara itu 99 negara telah menghapus total hukuman mati untuk semua kategori kejahatan. Sedangkan 44 negara dalam praktiknya menghapus kebijakan hukuman mati, tujuh negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa dan lima negara melakukan moratorium hukuman mati.

Yang perlu disadari, hukuman mati tidak membawa pengaruh apa pun terhadap penghentian tindak pidana pembunuhan atau tindak pidana lainnya. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme atau kejahatan kriminal lainnya, tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem lainnya seperti problem struktural kemiskinan, pendidikan rendah dan aparat hukum atau aparat negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme, hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan.

Melihat fakta empiris di atas, pemerintah Indonesia sudah saatnya meninggalkan cara pandang feodalistik tentang hukuman mati. Tidak ada cara yang lebih indah dalam praktik “cabut nyawa” ini selain penghapusan total hukuman mati. Arus global terhadap upaya penghapusan hukuman mati begitu deras. Tentu negeri ini tidak ingin tersingkir dalam arus percaturan global, kecuali tetap bersikeras menyembah hukum positif yang masih mengagungkan hukuman mati.

Hukuman mati sebagai produk hukum kolonial Belanda sesungguhnya tidak relevan lagi dengan semangat zaman. Konkretnya, penghapusan total hukuman mati merupakan harga mati yang harus segera diwujudnyatakan. Sudah saatnya, Indonesia meneguhkan jati diri bangsa sebagai negara yang bermartabat dan menjunjung tinggi keadaban.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif