Kolom
Jumat, 30 November 2012 - 10:52 WIB

GAGASAN: Agama Telah “Mati”

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Masduri, Peneliti di Lingkaran Metalogi Yogyakarta (FOTO/Istimewa)

Masduri, Peneliti di Lingkaran Metalogi Yogyakarta (FOTO/Istimewa)

Problem kebangsaan yang tak berujung di Indonesia, menjadi pertanda jika agama telah mati dalam diri bangsa Indonesia. Agama yang mengajarkan konsep luhur tentang hidup dengan Tuhan dan sesama manusia, tidak lagi menjadi acuan dasar dalam menjalani aktivitas keseharian. Buktinya kekerasan sering terjadi, bahkan atas nama agama. Agama seolah-olah menjadi pembenar tindakan kekerasan, bahkan pembunuhan. Seperti bahasa Fahmi Huwaydi, yang dikutip Zuhairi Misrawi dalam tulisannya “Menggagas Teologi Perdamaian”, bahwa warisan pemikiran yang diilhami sejak beberapa abad yang lalu membentuk sebuah paradigma, bahwa agama adalah pisau. Agama senantiasa diidentikkan dengan potong tangan, perang, neraka dan makna lainnya yang menyeramkan (JIL, 26/05/2012 )

Advertisement

Selain peristiwa kekerasan, persoalan korupsi juga telah menjadi pengacau kehidupan bangsa Indonesia. Dari hari ke hari, kasusnya bukan semakin sedikit, malahan semakin menunpuk. Baru-baru ini misalnya Menteri BUMN, Dahlan Iskan, menyampaikan ke BK DPR beberapa nama anggota DPR yang memeras BUMN, dan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, yang melaporkan ke KPK tiga Kementerian yang terlibat dalam kasus korupsi, yakni Kementeran Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertahanan. Belum lagi banyak kasus-kasus korupsi yang belum terselesaikan secara tuntas. Sehingga negara ini mengalami banyak kerugian akibat tindakan korupsi para elite pemerintah. Tentu yang sangat dirugikan dalam hal ini adalah rakyat. Rakyat menjadi korban permainan politik para penguasa. Mereka semakin menumpuk kekayaan, baik untuk kekayaan pribadi dan keluarga, atau modal politik untuk pemilu 2014.

Yang sangat disesalkan, pelaku tindakan korupsi tersebut orang beragama, bahkan mayoritas beragama Islam, yang notabene agama yang paling banyak penganutnya di Indonesia. Dalam dasar negara, Pancasila, kita juga mengakui kebenaran agama, bisa dilihat dari sila I, Ketuhanan yang Maha Esa. Tetapi mengapa banyak elite pemerintah yang melakukan tindakan korupsi? Ini pertanda jika agama telah “mati” dalam diri mereka. Bagi koruptor, ajaran agama tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, yang setiap perintah-Nya mestinya dijalankan dan setiap larangan-Nya mestinya ditinggalkan. Tetapi bagi koruptor, agama tidak lebih dari seperangkat ajaran, yang menjadi menarik ketika bisa menghasilkan banyak uang. Jika tidak, agama tidak lebih dari sampah yang sedikitpun tidak diacuhkan. Baginya, agama hanya pertanda jika ia orang Indonesia, yang mengakui kebenaran agama, tetapi dalam praktiknya, agama telah mati dalam dirinya.

Advertisement

Yang sangat disesalkan, pelaku tindakan korupsi tersebut orang beragama, bahkan mayoritas beragama Islam, yang notabene agama yang paling banyak penganutnya di Indonesia. Dalam dasar negara, Pancasila, kita juga mengakui kebenaran agama, bisa dilihat dari sila I, Ketuhanan yang Maha Esa. Tetapi mengapa banyak elite pemerintah yang melakukan tindakan korupsi? Ini pertanda jika agama telah “mati” dalam diri mereka. Bagi koruptor, ajaran agama tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, yang setiap perintah-Nya mestinya dijalankan dan setiap larangan-Nya mestinya ditinggalkan. Tetapi bagi koruptor, agama tidak lebih dari seperangkat ajaran, yang menjadi menarik ketika bisa menghasilkan banyak uang. Jika tidak, agama tidak lebih dari sampah yang sedikitpun tidak diacuhkan. Baginya, agama hanya pertanda jika ia orang Indonesia, yang mengakui kebenaran agama, tetapi dalam praktiknya, agama telah mati dalam dirinya.

 

Problem Moralitas

Advertisement

Agama hanya menjadi perbincangan dari forum ke forum. Tidak ada realisasi konkret dari hasil diskusi, seminar ataupun workshop yang dilakukan. Bahkan produk pesantren atau madrasah sekalipun, yang notabene sebagai pendidikan agama Islam, juga ikut-ikutan terlibat memproduksi kekerasan, korupsi, ketidakadilan, diskriminasi ataupun pemerkosaan. Jadi sekarang ini sudah tidak ada bedanya antara lulusan pendidikan umum dengan pendidikan agama, paling-paling yang membedakan hanya gelar dibelakangnya.

 

Menghidupkan Agama

Advertisement

Seperti pandangan Friedrich Nietzsche, Gott ist tot (Tuhan telah mati), pemaknaan terhadap teks tersebut jangan dimaknai secara harfiah. Kematian Tuhan menurut Nietzsche bukan berarti Tuhan secara fisik mati, melainkan manusia telah membunuh nilai-nilai ketuhanan yang diajarkan dalam agama. Nilai-nilai moral dan teologis dalam agama tidak lagi menjadi acuan dasar dalam kehidupan sehari-hari umat beragama. Sehingga nalar spiritualitas manusia menjadi kering, ia telah membunuh nilai-nilai ketuhanan yang diajarkan agama dalam dirinya. Lebih lanjut Nietzsche menegaskan, bahwa “kematian Tuhan” bukan hanya membawa manusia pada penolakan terhadap keyakinan kosmis dan fisik, tetapi juga penolakan terhadap moral yang objektif dan universal, yang mengikat semua individu.

Maka tidak usah heran, bila banyak umat beragama yang melakukan kekerasan, korupsi, ketidakadilan, diskriminasi ataupun pemerkosaan. Karena mereka telah membunuh Tuhan dalam dirinya, atau dengan bahasa yang lebih jelas, mereka telah membunuh nilai-nilai ketuhanan yang diajarkan agama dalam diri mereka. Sehingga mereka tidak peduli terhadap nilai-nilai moral agama, bahkan menolaknya mentah-mentah. Keberagamaan masyarakat Indonesia tidak lebih hanya dalam makna formal, bahwa mereka mengaku beragama meski hanya sebatas dalam KTP. Tetapi sikap, ucapan dan perilaku mereka tidak menggambarkan orang beragama, atau dengan bahasa ekstremnya, mereka telah membunuh atau mematikan agama dalam diri mereka sendiri.

Umat beragama di Indonesia sering ke masjid, gereja, wihara, pura dan kelenteng, tetapi jiwa dan spiritualitas mereka tidak hadir dalam diri mereka. Hanya fisik mereka yang beribadah, jiwa dan nalar spiritualitasnya tumpul. Keberagamaan masyarakat Indonesia hanya simbol di balik keyakinan teologisnya, mereka percaya Tuhan Maha Mengetahaui, tetapi pada saat yang sama mereka mengingkarinya, dengan melakukan tindakan kekerasan, korupsi, ketidakadilan, diskriminasi, pemerkosaan dan beragam bentuk tindakan yang jelas-jelas dilarang agama dan merugikan kemanusiaan. Sehingga agama menjadi “mati” dalam diri bangsa Indonesia. Mati bukan berati agama telah tiada, melainkan bangsa Indonesia telah mengingkari nilai-nilai moral keagamaan yang menjadi keyakinan teologisnya. Agama sudah tidak lagi seksi untuk dipraktikkan secara substantif, ia tidak lebih dari sekadar ajaran ritual, yang setiap waktu dipajang di banyak masjid, gereja, wihara, pura dan kelenteng. Namun nilai moral yang ada di balik ritual itu hampa dalam realitas sosial.

Advertisement

Semestinya nalar spritualitas orang beragama itu selalu hidup kapan dan di mana pun, bukan hanya di masjid, gereja, wihara, pura dan kelenteng. Tetapi di semua waktu dan tempat, umat beragama harus selalu menghadirkan “Tuhan” dalam diri mereka agar setiap tindakannya mencerminkan nilai-nilai moral dan teologis yang ada dalam agama yang dianutnya. Bila semua umat beragama di Indonesia seperti itu, niscaya tidak akan ada lagi

kekerasan, korupsi, ketidakadilan, diskriminasi, pemerkosaan dan semua tindakan yang tidak dibenarkan dalam agama. Dan kita menjadi bangsa yang agamis dan berjaya. Semoga!

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif