Kolom
Senin, 6 Mei 2024 - 12:55 WIB

Perang Sesama Perempuan

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Chelin Indra S (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ungkapan women support women masih sebatas omong kosong. Dalam kehidupan sehari-hari para perempuan justru saling mengkritik, saling menjatuhkan satu sama lain.

Sesama perempuan justru membentuk ”kebiasaan” tersirat menjatuhkan sesamanya. Ini terjadi di lingkungan kerja, lingkungan sosial, lingkungan keluarga.

Advertisement

Dari sudut pandang psikologi evolusi yang dipopulerkan David Buss, ada istilah kompetisi intraseksual, yaitu kompetisi di antara sesama kelompok; laki-laki maupun perempuan.

Pada perempuan, awet muda dan daya tarik fisik menjadi bahan kompetisi utama. Banyak perempuan mencibir sesamanya dalam urusan fisik. Berkulit hitam disebut gosong. Gemuk disebut rakus. Kurus dikatakan kurang gizi.

Kompetisi intraseksual terlihat jelas di antara perempuan. Dari sudut pandang teori perkembangan, pengalaman seorang anak perempuan dibesarkan akan memengaruhi insting mereka dalam kompetisi intraseksual.

Advertisement

Apabila sejak masa kanak-kanak mengalami penerimaan yang baik terhadap dirinya, ia akan tampil sebagai pribadi yang berdamai dengan sekitarnya. Ketika ia selalu dikritik, disalahkan, kecenderungan tampil penuh kompetisi dengan orang lain menjadi lebih tinggi.

Kecenderungan perempuan saling menyerang terjadi akibat keterbatasan ruang berekspresi akibat dominasi pihak tertentu, khususnya laki-laki. Para perempuan sering khawatir, cemas, takut tidak bisa mencukupi diri sendiri.

Sebuah studi yang dipublikasikan jurnal Development and Learning in Organizations menjelaskan 70% pekerja perempuan merasa dirundung oleh perempuan lain di kantor mereka. Karier mereka jalan di tempat.

Laki-laki dipromosikan karena dipandang berpotensi, perempuan hanya berdasarkan performa yang dibuktikan. Pembuktikan potensi perempuan seolah-olah tidak ada habisnya. Terkadang seorang perempuan merasa tidak memiliki potensi apa pun karena cibiran orang sekitar yang bertubi-tubi.

Advertisement

Perempuan yang berkarier di dunia profesional dan mengenyam pendidikan tinggi mestinya cemerlang dan membanggakan. Banyak perempuan lain yang tidak sampai pada level tersebut berpandangan perempuan berkarier dan berpendidikan adalah kelompok egois dan pembangkang.

Mereka dicibir sulit mendapat jodoh, sulit mendapat keturunan, dan tidak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik. Semua cibiran itu datang dari mulut para perempuan.

Perempuan memang selalu dihadapkan pada pilihan menjadi ibu rumah tangga atau bekerja, seolah-olah tidak bisa mengambil dua peran itu sekaligus. Ini memicu perseteruan antarperempuan.

Ibu yang bekerja menganggap dirinya berdaya, independen, berdikari, tidak bergantung pada laki-laki kerap berpandangan perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga belum berdaya dan bergantung pada suami.

Advertisement

Ibu rumah tangga menganggap dirinya paling berkorban dan berdedikasi untuk keluarga serta paling paham cara mendidik anak. Mereka sering menghujat ibu yang bekerja sebagai lupa keluarga dan hanya berorientasi kesejahteraan sendiri.

Perseteruan sesama perempuan bukan hanya terjadi pada ibu bekerja dengan ibu rumah tangga, melainkan juga aspek lainnya. Dalam kasus perselingkuhan, misalnya, perempuan kerap menghujat perempuan yang terlibat hubungan cinta rumit itu.

Pada kasus kekerasan seksual, ketika perempuan menjadi korban justru dihakimi oleh sesamanya dengan berbagai cibiran. Rivalitas antarperempuan terjadi tidak lain didasari paparan internalized misogyny.

Sosiolog di Amerika Serikat, Allan G. Johnson, menjelaskan internalized misogyny adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan. Tindakan saling menyerang, saling menjatuhkan, bersaing sesama perempuan adalah contoh internalized misogyny.

Advertisement

Agaknya susah membuat sesama perempuan tidak saling menyikut karena telah mengakar menjadi budaya. Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa disadari, membentuk kebiasaan menjatuhkan sesama perempuan.

Bergunjing tentang perempuan yang tidak dikenal, ejekan terselubung lewat candaan, menghakimi tanpa mengetahui masalah, hingga pandangan sinis pada seseorang yang dirasa tidak dalam status yang sama.

Terkadang yang dibicarakan adalah seseorang yang dikenal, bahkan bisa jadi sangat akrab atau malah sahabat. Persahabatan dan pertemanan di kalangan perempuan cenderung unik. Bisa jadi awet, namun bisa juga tiba-tiba terasa jauh.

Pada akhirnya, perempuan justru bisa menjadi musuh terbesar bagi sesama perempuan. Sesama perempuan semestinya saling menguatkan, bukan malah menjatuhkan.

Perempuan seharusnya saling bergandengan tangan, menunjukkan empati dan kemurahan hati, bukan memperuncing kecemburuan dan memperparah rasa bersalah yang kerap mendera perempuan.

Mewujudkan makna women support women bukan perkara mudah. Ini bisa terwujud dengan usaha dan kerja keras bersama. Sudah saatnya membangun kesadaran bahwa perempuan memiliki potensi diri dan bebas menentukan arah hidup secara mandiri.

Advertisement

Perempuan jangan hanya berpegang pada standar-standar menjadi warisan budaya lama tanpa melihat perkembangan zaman. Mendukung sesama perempuan mestinya bukan sekadar dengan memberikan cibiran, tetapi kritik membangun, apresiasi, dan dukungan saling menguatkan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Mei 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif