Redaksi Solopos.com / R. Bambang Aris Sasangka | SOLOPOS.com
Salah seorang warga Dusun Jrakah, Marwoto, menyebut bambu penyangga jembatan sudah banyak yang lapuk. “Memang masih bisa dilewati sepeda motor. Tapi harus hati-hati, apalagi kalau bawa barang berat, biasanya pengendaranya harus turun dan menuntun sampai ke seberang jembatan,” ungkap Marwoto yang juga seorang relawan Gunung Merapi, saat ditemui wartawan di Boyolali, Rabu (21/11/2012).
Marwoto menambahkan warga setempat rutin melakukan tambal sulam dengan bambu agar jembatan itu tetap dapat digunakan. Jalur lain yang bisa digunakan adalah melewati jembatan gantung. Namun untuk mencapai jembatan itu, warga harus memutar melalui Dukuh Bakalan dan Dukuh Sepi yang jaraknya mencapai lima kilometer.
Kepala Desa (Kades) Jrakah, Tumar mengungkapkan sebelum terjadi erupsi Gunung Merapi tahun 2010, di lokasi tersebut terdapat sebuah jembatan permanen. Namun jembatan tersebut hancur akibat diterjang banjir lahar dingin. Kondisi tersebut menyebabkan sekitar 400 jiwa di Dukuh Bangunsari sempat terisolasi. “Akhirnya dibuatlah jembatan darurat dari bambu. Saat terjadi banjir lahar dingin, beberapa kali jembatan itu hanyut. Setelah banjir lahar reda, warga kembali membangun jembatan darurat,” tutur Kades.
Ditambahkan Kades, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boyolali pernah berencana membuat jembatan gantung yang menghubungkan dua dusun tersebut. “Tapi belum bisa terealisasi karena persoalan ganti rugi,” ungkapnya.
Ditemui terpisah, Bupati Boyolali, Seno Samodro mengakui belum terealisasinya rencana pembangunan jembatan itu. “Ya nanti kami coba negosiasi lagi dengan masyarakat setempat terkait ganti rugi tanah yang akan digunakan untuk membangun jembatan penghubung tersebut. Kalau warga mau, segera diupayakan untuk dibangun,” kata Bupati.